Pergi?

3.3K 280 10
                                    

Happy reading...

Ini cerita amburadul....
Kek pengen up aja gitu. Untuk bacaan kalian sementara, antara dihapus atau engga, masih aku pertimbangkan.

Komen yang rajin ya!:)

*****


"Lo yakin bakal cabut ke Amerika bulan depan?" Pertanyaan yang dilontarkan Satria sontak membuat pemuda yang ditanya menolehkan kepalanya. Membenarkan posisi duduk untuk bisa menatap Satria sepenuhnya.

"Jeffrie, pasti bakal marah banget sama lo."

Pemuda itu tersenyum miris dengan ucapak Satria barusan. Hembusan nafas berat keluar begitu saja, "Gue udah putusin buat pergi."

"Tapi lo nggak seharusnya pergi, Gus. Lo bisa bertahan di Indo, bareng kita kita." Satria mencoba memberi penjelasan, selembut mungkin ia menyampaikan agar tak membangunkan si kucing nakal, Jeffrie. Tangan pemuda itu masih setia mengusap lembut punggung si bocah, kini ia duduk di atas brankar dengan Jeffrie yang masih enggan turun dari pelukan.

"Rebahin dulu si Jeffrie, kita ngomong di tempat lain. Gue nggak mau dia denger."

Lontaran itu mampu membuat Satria menurut, ia hendak merebahkan tubuh kecil itu, namun ternyata sang empu sudah bangun beberapa menit lalu.

Dari tadi ia sudah menahan tangis, bagaimana ia akan hidup jika Agus tidak ada, selama ini Agus yang paling mengerti dirinya. Bibir pemuda itu bergetar, dengan susah payah ia membuka suara, "Abang pergi aja, Ijep gapapa."

Ucapan itu membuat mereka kaget, bahkan Satria tak jadi merebahkan tubuh kecil itu di atas brankar.

Jeffrie mengangkat kepalanya, melihat wajah Satria dengan raut sedih, untuk menandakan bahwa suasana hatinya sedang tidak baik.

"Abang minta maaf." Agus berdiri, tangannya terulur meraih tubuh ringkih itu, namun Jeffrie menolak.

"Abang, Ijep nggak mau sama bang Agus." Adunya pada Satria. Satria yang mendengar itu sontak melihat ke arah Agus, dapat ia lihat bagaimana raut kecewa seorang Agus.

Tak pernah sekalipun Jeffrie menolak kasih sayangnya. Bahkan rasanya, tak sedikitpun ia pernah berpikir untuk menolak, begitu pula dengan Agus, pemuda itu tak pernah berpikir akan ditolak dan memutuskan kasih sayangnya untuk sang adik gadungan.

Are yang sedari tadi melihat perbedaan singkat itu pun mendekat, mengambil alih Jeffrie untuk dibawa dalam gendongannya.

"Sama abang dulu ya." Jeffrie mengangguk mengiyakan, mencari sisi nyaman dalam dekapan itu.

"Lu berdua kalo mau ngomong di luar, nggak usah ganggu ketenangan." Putus Are dengan pedas. Jangan heran, Are memang begitu, mulutnya pedas. Dia adalah salah satu pemuda paling diam diantara mereka berempat. Paling irit ngomong, ntalah itu irit atau pelit.

Are tak melihat gerak-gerik kedua sahabatnya itu hendak beranjak dari duduknya, ia malah melihat wajah cengoh dengan tatapan bodoh milik mereka.

"Gue bilang keluar, bangsat!" Are mengumpat, jika sudah begini, tak ada pilihan lain untuk mereka tak keluar.

"Jagain adek gue." Pesan Agus

Are tak membalas perkataan Agus, hanya melempar tatapan bengis tanda emosinya mulai naik, bahkan ia mulai muak melihat mereka tak kunjung keluar.

Are, pemuda yang juga sangat peduli dengan si kecil. Bukan hanya Agus ataupun Satria saja, Are juga begitu. Pedulinya tak terlihat, namun terasa. Bagai angin yang menghembus kulit. Siapapun akan dilenyapkan olehnya jika menganggu si kucing kecil.

JeffrieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang