Rencana Awal

47 2 0
                                    

"Kamu pernah ke sini?"

Dia Sangkuala. Matanya menatap lurus ke arahku dengan yakin dan menawarkan sesuatu yang sudah aku damba sejak lama. Yaitu pergi bersama-berdua hingga larut menjelang.

Malam ini entah kepalanya yang kecil terbentur apa, ia mengajakku keluar. Setelah lima tahun menyimpan harapan, baru kali ini Sangkuala berbicara sopan secara empat mata di hadapanku.

"Belum, kenapa?"

Sangkuala tersenyum. Matanya yang kecil untuk sesaat membentuk bulan sabit. Seolah tenggelam, aku berucap berkali-kali dalam hati dan baru saja menyadari bagaimana bisa selucu ini?

"Malam jam delapan aku jemput, gas gak? Kita ke sana bareng-bareng."

"Cuma berdua? Atau ada teman-teman yang lain?" Jantungku berdegup gugup, ku besarkan gendang telinga berharap apa yang aku dengar setelah ini adalah kabar baik. Tanpa ada gangguan dari orang lain.

Baru membayangkan saja aku ingin sekali bersikap congkak, menceritakan semuanya dengan detail kepada teman-teman. Mungkin aku harus menyimpannya terlebih dahulu sebelum ku tumpahkan semua tanpa ada yang tersisa.

"Berdua dong. Emang kamu mau ajak siapa?"

Aku reflek menggeleng cepat, "Ngga ada, kok."

Setelah menjawab pertanyaan itu, Sangkuala mengantarku pulang. Menantang sengit sinar matahari yang membakar kulitku hingga kemerahan.

Hari ini kami selesai ujian, maka dari itu jam pulang tidak se sore biasanya. Berisik kepala tidak semenyebalkan hari-hari kemarin. Mungkin Sangkuala memiliki inisiatif untuk mengajakku pergi. Semata karena menyejukkan pikirannya yang mendidih.

Selama di perjalanan, aku tidak banyak bicara. Aku terlalu bingung. Aku bukan tipikal orang yang pintar bercakap, bukan pula tipikal orang yang gemar sok kenal sok dekat, karena aku dan Sangkuala memang tidak pernah dekat, (Hanya sebatas di media sosial).
Berbicara empat mata saja terdengar seperti mimpi. Lantas apa tujuannya? Lantas apa artinya boncengan ini?

"Kamu.. Udah ada gambaran mau lanjut ke mana, Rin?"

Benar, namaku Rinai. Aku terkejut bukan kepalang ketika Sangkuala memanggilku dengan sebutan Rin. Karena biasanya orang-orang akan memanggilku dengan sebutan "Nai". Kata mereka, Nai terdengar lebih bagus. Tidak terlalu kaku seperti sikapku. Maksudnya aku saja sudah kaku. Jangan sampai panggilanku juga seperti itu.

"Belum, sih. Cuma.. mau ambil psikologi. Kalo kamu?"

Sangkuala tersenyum di balik helm yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Senyum yang hangat, sungguh. Aku selalu suka alis tebalnya yang reflek naik sedikit ketika bibirnya tertarik ke atas.

Sederhana yang menakjubkan.

Pertanyaanku seolah mengambang di udara. Ia tidak menjawab pertanyaanku, membiarkan semuanya terjebak dalam bingung, aku pun menjawab teka-teki sendiri di kepala. Berusaha menerka-nerka apa hobi yang gemar ia lakukan pada akhir pekan? Barangkali hobi itulah langkah besar yang Sangkuala ambil selanjutnya.

Aku tau betul jika Sangkuala selalu tertarik dalam dunia theater. Ia tidak pernah bosan mengikuti audisi atau bahkan acara-acara seperti itu. Aku pernah melihatnya melakukan sebar brosur acara theater yang kerap sekali dilakukan pada akhir bulan Desember. Rautnya secerah harapan tak terlihat.

Peluh itu seolah membakar jiwa semangatnya, mengobarkan api-api yang tak pernah padam.

Sangkuala selalu membuatku takjub.

2021 dan Sepenggal Lagu W.H.U.TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang