Let You Break My Heart Again

22 4 3
                                    

Semenjak pengakuan dari Sangkuala kemarin malam, aku terjaga hingga pagi menjelang. Tidak bisa kukatupkan kedua mata tak peduli seberapa keras usahaku agar segera menyambut ramai bunga tidur dengan nyaman. Pengakuan singkatnya sukses penuh menganggu setiap sel otakku hingga berpengaruh hebat pada hal beserta aktivitas yang aku lakukan.

Seperti pagi ini, pagi yang seharusnya aku sambut dengan ramah berakhir tragis karena pecahan gelas berserakan di bawah. Aku tak sengaja menjatuhkannya karena melamun hingga ujung jari kelingkingku menatap meja. Bunyinya keras sekali, rintihanku juga tak kalah nyaring. Nyaris membuat tetangga terkejut, mungkin.

Karena terburu-buru aku jadi tidak sempat sarapan. Berpenampilan seadanya, aku tergopoh berlari menuju taksi mobil yang sudah menunggu lumayan lama. Ku perintahkan dengan nada naik satu oktaf karena sibuk mengatur nafas yang tersengal.

Diam-diam berharap semoga keberangkatan pesawat Sangkuala belum mencapai waktunya dan menyumpah serapahi akal sehatku yang sudah di luar batas wajar karena beragam kecerobohan.

Tidak butuh waktu lama untuk menembus jalan yang lengang, aku sampai pada pukul sepuluh. Setelah memberi dua lembar uang seratus ribu, aku terbirit mencari rute penerbangan Switzerland yang berangkat sebentar lagi.

Di sana dapat kulihat punggung tegap Sangkuala membelakangi, meski bagian tubuh dari atas sampai bawah semi formal dan tertutup, aku dapat mengenalinya dengan baik.

"Sangkualaa!"

Sangkuala menoleh menuju sumber suara dan berjalan cepat ke arahku, air mukanya menunjukkan kekhawatiran seolah bertanya kenapa baru datang? Ke mana saja? Apakah diperjalanan sedang padat merayap hingga membuatmu terlambat?

"Aku kira kamu nggak dateng," Ia tersenyum puas mengeratkan jaket denim di tubuhnya, lalu melepas topi putihnya dan ia labuhkan di atas kepalaku. "Nanti biar nggak panas, aku lihat di prediksi cuaca kayanya mendung lagi ngambek. Nggak muncul."

Hatiku menghangat. Sangkuala selalu seperti ini. Tidak hanya kepadaku saja, kepada semua orang yang ditemuinya, ia selalu berusaha untuk menyambut sang lawan bicaradengan apik.

Lama sekali kami hanya diam bersitatatap. Kedua netraku tidak beralih, sibuk menyapu setiap inci dari wajahnya. Bagaimana tajam rahang itu ketika berbicara, bagaimana mata sipitnya yang makin mengecil ketika tersenyum, dan hidungnya yang bangir nampak sedikit memerah karena nekat menerobos hujan.

"Sa.. Kamu sampai kapan di sana?"

"Belum tahu juga. Mungkin menetap? Bisa jadi aku kembali ke sini cuma sebentar."

"Terus keluargamu gimana?" Aku tau ini adalah pertanyaan yang sebaiknya ku emban sendiri saja. Tanpa harus diutarakan. Tapi aku terlampau penasaran karena dari intonasi bicara Sangkuala, ia terdengar wegah untuk kembali ke Indonesia.

"Nggak tahu, kan aku tadi udah bilang bisa pulang sebentar."

Setelahnya terdapat pengumuman jika penerbangan rute Sangkuala akan berangkat. Ia diharapkan segera beranjak untuk bersiap.

Dengan berat hati aku mengangguk singkat, mempersilahkan Sangkuala untuk menempuh mimpi-mimpinya. Menemukan tujuannya dan kepingan rasa bahagia yang mungkin tidak ia rasakan selama di Indonesia.

Sangkuala berjalan mendekat, memangkas jarak di antara kami. Persis seperti apa yang ia lakukan ketika kita menikmati kembang api pada malam tahun baru.

Namun kali ini tidak hanya mendekat, tangannya terulur untuk merangkum badan pendekku. Ia selundupkan kepalanya di ceruk leherku hingga menimbulkan sensasi geli yang membuatku bergidik hingga tergelitik. Deru Sangkuala tenang sekali, seperti penyampaian selamat tinggal yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari.

"Sorry, Rin."

Sejauh kami mengenal dan berinteraksi singkat lewat whatsapp atau Twitter, baru kali ini Sangkuala mengutarakan maafnya secara langsung. Dengan jarak sedekat dan seerat tali sepatu.

Aku membalas pelukannya tak kalah erat. Mengusap punggung tegap yang mulai meluruh tak karuan. Mungkin permintaan maaf dari Sangkuala terdapat banyak makna yang sampai sekarang belum aku ketahui semuanya. Hanya beberapa. Belum juga terurai sepenuhnya hingga terkadang, aku masih bertanya-tanya.

Ketika pelukan kami terurai, ia langsung memberiku sebuah buku. Buku sedang yang tipis alias tidak banyak isinya.

Tanpa mengatakan apa-apa, tubuhnya berbalik dan berlalu pergi. Sangkuala melambai pendek lalu berlari sekuat tenaga menjauh dari jarak pandangku.

"Kala, hati-hati di jalan!"

Langkah Sangkuala terhenti sempurna. Dari kejauhan ia menatapku dengan senyum sempurna, lagi-lagi ketika ia melambai mengangkat tangan, dapat kurasakan pelupuk air mataku basah.

Ia memang tidak mengatakan apa-apa selain mendekap dan memberiku buku berukuran sedang. Tetapi dapat kulihat dari sorot matanya, Sangkuala banyak menyimpan sesuatu yang belum bisa aku susun satu persatu. Lewat gerak-gerik tubuhnya, aku tau ia sedang dilanda gelisah.

Hingga di penghujung kegiatannya, ia berteriak. Itu adalah suara terakhir Sangkuala yang dapat ku dengar sebelum dirinya benar-benar lenyap.

Dan kami belum bertemu sampai sekarang.

"Hati-hati di jalan, Rin!"

2021 dan Sepenggal Lagu W.H.U.TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang