The Truth Is..

19 2 0
                                    

Dinginnya pendingin mobil terasa mantap berhenti ketika roda itu memilih untuk tak berjalan kembali di depan Kafe The Vinyl Chick. Tempat yang baru saja direkomendasikan Sangkuala nampak asing sekali bagiku. Aku tidak pernah menemukan kafe dengan fasilitas piringan hitam sebagai teman minum serta bersantai untuk lebih memaknai sekitar.

Saat memasuki ruangan dengan denting bel otomatis yang berada di samping pintu, lagu Robbers dari album lama The 1975 berdentum indah menyundul setiap gendang telingaku. Aku reflek mengeratkan genggaman yang membuat Sangkuala menoleh, ia mungkin terkejut karena aksiku yang terlalu tiba-tiba.

"Kenapa? Kedinginan?"

Aku menggeleng dan memberi kode kepadanya agar tetap jalan lurus sampai dapat tempat duduk ternyaman.

Ia memesan segelas besar americano yang nanti akan kita nikmati berdua. Entah sengaja atau tidak, punya niat atau sengaja dimodif agar segala rencana terlaksana tanpa kendala, aku tetap meluncurkan raut keberatan yang berhasil membuatnya gelagapan.

"Kenapa satu gelas berdua?"

"Disediain dua sedotan, kok."

Menyandarkan punggung berniat pasrah, aku lebih memilih mengedarkan pandang bermaksud mengalah. Menikmati setiap interior klasik yang terpampang sejauh mata memandang. Di samping kiriku, persis terdapat rak khusus piringan hitam yang nampak bersih. Seperti rutin dirawat hingga diputar setiap hari.

Kedua netraku menyapu bersih berusaha mengabsen apa saja yang ada di sana. Mulai dari Cigarettes After Sex, The 1975, Artic Monkeys lalu The Neighborhood hingga Blues dengan binar mata yang menyelundupkan arti antusias. Sontak dengan percaya dirinya aku berdiri dan mengusap setiap piringan hitam cantik yang masih terbungkus rapi oleh pakaiannya.

"Apakah di sini menerima masukan lagu dari pengunjung?" Tepat ketika pelayan menghantarkan pesanan kami, aku bertanya secara gamblang dan penuh semangat. Peringai sumringah dari lawan bicara adalah jawaban. Ia berjalan ke arahku dan bertanya,

"Mau lagu apa? Yang paling banyak diterima oleh kami adalah ini, It's Not Living If It's Not With You dari The 1975."

"Aku mau ini. When We Are Together dari artis yang sama."

Pelayan itu tersenyum ramah lalu berjalan kembali ke tempat semula. Hingga lagu yang aku minta mengalun menggugah, untuk sesaat kupejamkan mata menikmati setiap petikan gitar pada bagian pertama, perpaduan alat musik serta merdunya suara. Semua beruntun sempurna.

The only time I might get better is when we are together.

Dengan perasaan yang berbunga-bunga, aku kembali. Tidak lagi memperdulikan Sangkuala yang tersenyum simpul melihat aksiku barusan.

Sejujurnya aku juga malu. Semua lagak ku berada jauh dari luar dugaan. Aku sendiri tidak menyangka akan bersenandung sembari memejamkan netra dalam keadaan berdiri ketika lagu ini mengalun mengetuk.

"I found out who your favorite singer and songs are when I'm here." Sangkuala menggeser segelas americano tersebut ke depan, "And it makes me happy."

Aku menyambut americano itu dengan kedua tangan, dengan sukacita tanpa diliputi rasa kesal yang memenuhi seluruh kepala. Menyeruput setengah bagian lalu kembali menaruh fokus lebih ke arah Sangkuala.

"You already know what I like, now it's your turn."

"Want You So Bad dari The Vaccines." Sangkuala mengambil alih americano yang lumpuh dari pengawasan. Ia meminumnya hingga kandas lalu mengusap perut ratanya. Cupu sekali. Baru meminum setengah gelas ia sudah kekenyangan.

"Cool, I like your taste." Kucondongkan badanku ke depan, menyelami lautan hitam legam miliknya dengan saksama. "What about Arabella? Artic Monkeys."

"Lagu yang aku denger setiap pagi," Ia mengerling nakal lalu menopang dagunya dengan sebelah tangan. Hidung kami hampir saja bersentuhan sebelum ia menahan belakang kepalaku dengan sebelah tangannya lagi. Menyuruhku diam di tempat, tidak berkutik dan tidak berpindah. "Kiss It Better, Rihanna?"

"Aku bilangnya, sih, lagu ganteng. Padahal nggak ada sambung menyambungnya." Jujurku berusaha untuk berlagak biasa saja. Jangan terlihat gugup, jangan mengalihkan pandang atau kau akan kalah karena merasa terintimidasi oleh lawan bicara.

"Cool, I like your taste." Sangkuala bergerak mundur menirukan gaya bicaraku. Ia barusan meledek.

Oh! Aku hampir kelupaan. Maksud dari kami ke sini untuk mengetahui maksud perlakuan mencurigakan Sangkuala. Bukan malah saling bertukar selera musik lalu meledek satu sama lain.

"You haven't told me about your feelings."

Pandangan Sangkuala meredup. Untuk sesaat aku dapat melihat senyum dibibirnya turun selama sepersekian detik. Seolah tertimbun dilahap habis oleh angin malam yang menusuk setiap celah-celah rongga kulit kami.

Apakah aku barusan membuatnya skakmat?

"I got a college scholarship in Switzerland," Ia memainkan setiap jemarinya di atas meja. "I'm afraid to give you my answer."

Seolah tak puas dengan jawabannya, aku menggeleng kuat. "To be honest, I don't need your answer," Berusaha menekan ego dan rasa penasaran yang mengetuk relung hati, ku sandarkan punggung pada sandaran kayu yang berada di belakang. "But if you want to explain why you can't tell me, I'll listen."

"I'm lucky to be doing this before January 1st," Sangkuala tersenyum. Senyum yang belum pernah aku lihat sebelumnya, senyum merekah yang paling tampak bahagia selama aku mengaguminya, selama aku melihatnya dari jarak yang tak terlihat, sesingkat itu pula pertemuan kami tercipta sebelum aku terkejut dipenuhi rasa sesak akan kalimat yang ia ucapkan berikutnya.

"You don't feel love alone, Rin."

2021 dan Sepenggal Lagu W.H.U.TTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang