Bab 1

52 3 1
                                    


"Iya Ibu. Bulan depan aku pasti akan pulang ke Indonesia." Adam pindahkan ponsel dari telinga kiri ke telinga kanannya. Ia berjalan di sepanjang trotoar di sepanjang sungai Thames yang terlihat mendung hari ini.


"Iya, aku janji. Bulan ini ada beberapa pameran yang harus aku ikuti." Tangan kanannya mendorong pintu kayu di sebuah Café. Bel pintu berdenting menyambutnya. Langkah kakinya lebar menuju ke meja favoritnya –yang hari ini kebetulan kosong—dan duduk di sana.


"Iya Ibu. Iya, aku tahu. Aku akan segera membawa gadis untuk kuperkenalkan..." tangan kanannya terangkat, mengusap pelipisnya. Terlihat sekali keresahannya saat ini.


"Aku sudah dua puluh delapan tahun, Ibu. Aku bisa memilih isteriku sendiri," hening sejenak, keningnya berkerut mendengar ibunya berbicara di ujung sana. "Oke baiklah, bulan depan aku akan pulang. Aku akan mengikuti semua keinginanmu," ia mendengus "ya, termasuk yang satu itu."


Perhatiannya teralihkan pada waiters yang sedang berdiri di sampingnya. Sejak kapan dia berdiri di sana?


"White coffee, please." Pelayan itu menuliskan pesanannya dan langsung beranjak pergi meninggalkannya.


"Aku sedang di Café. Iya, aku juga merindukanmu, Ibu." Nafasnya berhembus keras seiring dengan salam penutup dari ibunya.


Sudah seminggu ini ibunya merecokinya dengan pertanyaan yang sama. Tentang pernikahan. Ayolah, dia seorang pria yang baru berumur dua puluh delapan tahun. Tak terlalu tua, bukan? Sejak pernikahan sepupunya kalau tidak salah, ibunya selalu menggunakan alasan umur yang tak lagi muda ditambah dengan keinginannya menggendong cucu untuk memaksanya segera menyusul. Adam menghela nafas keras, kegiatan rutinnya sejak seminggu ini.


Ponselnya kembali berdering. Leonel Brunnswick.


"Iya, Le?" hening sejenak. Perhatiannya terpusat pada lawan bicaranya di ujung sana.


"Tentu aku akan datang di pernikahan sahabatku." Kembali hening. Pandangannya terarah pada jendela kaca di samping kanannya yang mulai dipenuhi titik-titik air. Hujan mulai turun.


"Ya, besok aku akan mengambil penerbangan pertama. Aku tahu, Luccymu pasti akan mendiamkanku jika aku tak datang di pesta kalian." Dia terkekeh pelan. Suara sama terdengar samar di ujung sana. "Pasti sobat. Aku pasti akan datang." Panggilannya berakhir. Pelayan juga datang membawakan pesanannya tadi.


Leonel Brunnswick adalah teman seprofesinya. Sama-sama fotografer hanya berbeda objek foto saja. Jika Adam lebih menyukai alam, maka Leonel lebih menyukai manusia sebagai objek bidikan kameranya. Dua hari lagi adalah hari pernikahannya dengan Luccy White. Seorang gadis dari Irlandia. Siapa sangka seorang pencinta wanita seperti Leo akan jatuh cinta pada seorang gadis yang begitu sederhana. Siapa saja yang mengenal Leo akan memiliki pendapat sama seperti yang Adam pikirkan.


"Bolehkah saya duduk di sini?" seorang gadis dengan rambut dan mantel basah sedang berdiri di depannya. Wajahnya menunjukkan bahwa dia adalah keturunan Asia, hanya saja ada yang unik dengan matanya. Berwarna biru gelap. Gadis ini....

Gadis KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang