Pagi hari yang cerah. Namun gerbang SMA Internasional Eden sudah seperti garis finish. Orang-orang terburu berlari melewati satpam yang tampak siaga dengan wajah garangnya. Tangannya terus menggenggam pagar yang siap ditarik saat bel masuk berdentang. Nafasnya yang berat selepas menghisap rokok membuat dadanya naik turun bertempo.
Seorang siswa tampak berdiri santai di belakang gedung kantor. Dari tempatnya berdiri, dia melihat banyak siswa berlarian masuk, takut bel lekas berbunyi. Di tangan siswa itu, sebatang rokok tergenggam dengan santai. Mulutnya berulang kali mengepulkan asap.
Di belakangnya ada siswa lain yang juga ikut merokok. Bedanya mereka memilih duduk sambil menikmati segelas kopi hangat dari kantin sekolah. Mereka tampak memantau sesuatu dari sana.
"Seriusan Lu, Nyet?" Ucap Siswa yang berdiri itu.
"Ye, elah. Ini, tuh. Inpo Palid A 1." Ucap kawannya dengan menekan kata 'Inpo Palid A1.'
"Ye, cuma anak baru, doang. Lu-nya aja yang udah jomblo akut dari sononya." Sahut yang lain.
Mereka adalah sekelompok cowo elit SMA Internasional Eden. Selain terkenal karena mereka semua adalah pemain inti tim futsal SMA Eden, mereka juga para monster SMA Eden yang bahkan tak dapat disentuh oleh OSIS sekalipun.
Hanzel Pramudya, pewaris tunggal perusahaan produser beras terbesar di negri ini. David Laksono, anak pemilik konstruksi terbesar di jawa. Erza Elliot, Ayahnya adalah petinggi perusahaan multinasional. Bima 'Tan' Priston, putra pemilik perusahaan pengiriman barang antar negara terbesar di dunia. Dan terakhir, Reyzan Pranata.
Teeeenggg-Teeeengg-Tenggg
Lonceng sekolah berdentang keras. Membuat mereka berlima bangkit dan menyudahi acara rokok paginya. Sementara Hanzel yang menanti wujud cewe baru itu harus mengurungkan niatnya. Mereka melangkah masuk ke dalam kelas.
"Eh, anjir. Lu udah kelar PR Fisika?" Tanya Bima teringat sesuatu. Bima, Hanzel, dan Reyzan berada dalam satu kelas. 12 IPA 3.
Sementara Erza dan David berada di kelas 12 IPS 4.
Hanzel yang duduk sebangku dengan Bima hanya mengedikkan bahunya. Mereka berdua menoleh ke arah Reyzan yang duduk sendirian di belakang mereka. Reyzan yang menyadari tatapan mengemis dari kawan-kawannya pun menyerahkan buku catatannya.
"BERI SALAM!" Seru Dion, sang ketua kelas. Hanzel dan Bima memasang wajah pasrah, meliha Bu Kartika yang cantik nan gemulai telah berdiri di depan kelas.
"SELAMAT PAGI, BU!!" Seru anak-anak serempak.
"Selamat pagi, silahkan duduk. Saya ada pemberitahuan penting. Ayo, masuk." Bu Kartika menyuruh seorang cewe yang berdiri di depan pintu kelas.
Siswi baru itu melangkah masuk dengan ragu. Tangannya mencengkram erat tali tasnya, menunjukkan ke gugupan.
Bu Kartika menyuruhnya untuk mengenalkan diri.
"Nama saya Nadya Faradina, salam kenal semuanya." Ucapnya malu-malu.
"Baik, Nadya. Kamu bisa duduk di...." Bu Kartika tampak mencari bangku kosong sampai matanya jatuh pada bangku sebelah Reyzan.
"Itu, sebelah Reyzan. Jangan di jahatin, ya. Reyzan." Pesan Bu Kartika. Yang dipesani malah tak peduli sambil melanjutkan acara membaca komiknya.
"Jangan, Bu. Mending si Eca yang di sana, biar Nadya duduk di sini." Ucap Dion sambil menunjuk kursi yang di duduki Eca. Namun tindakan Dion dibalas dengan tatapan tajam Bu Kartika.
Kelas dimulai. Hanzel dan Bima bisa sedikit bernafas lega karen Bu Kartika tidak menyinggung PR mereka sedikitpun. Sampai di akhir pelajaran.
"Bu, PR kita kemarin gimana?" Dion berdiri sambil menoleh ke arah Nadya, namun bukan Nadya yang melihat ke arahnya. Hanzel dan Bima menatapnya penuh emosi. Sementara Reyzan menatapnya remeh.
Tengg-tengg
Lonceng tanda istirahat berdentang, bergema di sudut-sudut sekolah. Membuat mereka yang terlelap di kelas langsung terjaga, yang lemas tak berdaya langsung penuh tenaga.
"Eh, Nadya. Kenalin, Hanzel." Lelaki itu langsung berbalik badan setelah guru itu menghilang di balik pintu.
"Kenalin, Dion. Ketua kelas." Belum sampai Nadya meraih tangan Hanzel, Dion sudah menghadang tangannya. Nadya reflek menarik kembali tangannya.
"Iya, salam kenal." Ucapnya sambil tersenyum.
"Hoam. Ayo nyet beli kopi, ngantuk banget gua." Reyzan meregangkan otot-ototnya tak peduli dengan dua lelaki yang berebut perhatian Nadya di sebelahnya.
Bima menatap heran ke arah Dion dan Hanzel, kemudian bangkit dari duduknya. Reyzan juga bangkit dan melangkah bersama Bima keluar kelas. Sementara Nadya yang merasa terancam pun ikut bangkit, mengekor pada mereka berdua.
Hanzel tersenyum puas karena bisa semeja dengan Nadya di kantin. Dia menjulurkan lidahnya pada Dion sebelum berlari mengejar dua sohibnya itu.
Saat memesan makanan di kantin, Reyzan yang tampak masih memilih makanan terganggu dengan kehadiran Dion dan Hanzel. Dia menoleh ke belakang. Eh? Dia mendapati Nadya, kemudian Reyzan memandang ke belakang Nadya. Di sanalah dua orang tolol itu meributkan sesuatu. Namun mereka berdua terdiam saat mendapatkan tatapan tajam dari Reyzan.
"Nasi ayamnya satu, ama nasi telur satu. Minumnya es jeruk dua." Ucap Reyzan.
"Okey, bos." Dari balik meja, Mang Atang mengacungkan jempolnya. Nadya juga memesan cepat dan berlari kecil, menuju meja Reyzan dan Bima.
"Maaf, Boleh gabung, ga?" Nadya meminta ijin pada Reyzan. Melihat dua orang itu tak berani pada Reyzan membuatnya merasa aman.
"Oh, silahkan." Sambut Bima sambil menggeser posisi duduknya. Sementara Reyzan tak peduli, dia fokus pada hp-nya.
Nadya memilih duduk di sebelah Reyzan. Bagaimanapun juga dua orang itu juga berada di kantin.
"Tu, si Erza ama David kaga nongol?" Ucap Reyzan yang masih fokus pada hp-nya.
"Kaga tau, tuh. Biasanya tu dua bocah paling gercep kalo soal makan." Balas Bima sambil mengedarkan pandangannya.
Baru saja makanan pesanan mereka datang, Hanzel dan Dion bergabung ke meja mereka. Reyzan sudah memberikan tatapan peringatan terlebih dahulu, tandanya mereka ga boleh berisik. Namun baru beberapa saat.
"Uhukk..." Nadya tersedak. Si Dion reflek menyerahkan teh hangatnya, namun entah tangannya yang licin atau apalah, teh itu menumpahi seragam Nadya dan Reyzan. Dion terbelalak, menatap panik ke arah seragam Reyzan dan Nadya.
Mungkin untuk Reyzan ini hanya tumpahan teh biasa, namun bagi Nadya ini gawat. Seragamnya yang basah membuat bra hitamnya tampak dari luar seragam. Reyzan sendiri reflek melepas seragamnya dan menutup bagian depan Nadya.
"Lu ke WC, keringin dulu." Ucap Reyzan yang dibalas dengan anggukan dari Nadya. Dia berlari sambil terus menutup bagian depan tubuhnya dengan seragam Reyzan.
Sementara Reyzan. Untunglah hari ini dia mengenakan kaos dibalik seragamnya.
Reyzan bangkit dari duduknya, menatap tajam ke arah Dion yang gemetar ketakutan. Gerakan Reyzan cepat, bahkan sebelum Hanzel dan Bima sadar, kepala Dion sudah menghantam meja kantin. Mangkuk bakso, gelas-gelas, piring bekas makan, semuanya melayang.
"Oi-oi-oi, kalem nyet." Erza dan David muncul, menahan Reyzan yang tampak masih mengamuk. Mereka baru benar-benar tenang saat Reyzan menarik nafas dalam.
"Beliin seragam, dong. Nyet. 2, ya. 1 XL cowo, satu M cewe." Ucap Reyzan pada Erza, yang Ibunya adalah anggota yayasan yang menaungi sekolah. Selain itu dia memiliki orang dalam di koprasi sekolah. Erza segera menghubungi orang itu.
Sementara di kamar mandi, Nadya masih menanti seragamnya kering. Di tangannya, tergenggam seragam milik Reyzan. Aroma maskulinnya menguar. Aroma khas lelaki.
Nadya tersenyum sendiri
KAMU SEDANG MEMBACA
MONSTER inside Me
Teen FictionWanita itu hanya bisa terkulai pasrah, saat jemari-jemari kasar itu menyapu kulitnya. warning, Adult Story