01

8 1 0
                                    

well.. enjoy this tinny pitty part wkwk

Hanya cahaya obor dan lilin yang menerangi rumah ibadah ini. Gedung tinggi nan megah dimana dinding nya disusun dari perak dan obsidian terbaik. Mozaik kaca monokrom indah beraneka cerita disusun dalam jendela berbingkai perak disepanjang dinding.

Di pusat paling depan, terdapat undakan yang dihiasi jejeran pot bunga lili. Diatasnya berdiri megah altar besar dan beberapa pilar tipis dari emas putih yang dihias buket-buket mawar merah harum nan cantik di setiap pilarnya.

Diruangan yang mampu menampung ribuan orang itu pula terjajar bangku perak dengan rapi dan simetris, masing-masing dibalut sutra hitam diatasnya. Lantainya dari kaca jernih nan tebal. Dingin saat dipijak, bahkan bayangan dengan cantiknya akan memantul sempurna. Beberapa pot kaca buket bunga besar diletakkan di tiap sudut lantai. Sampai di pintu utama enam meter menjulang ke atas. Emas putih yang dipoles dan diukir berbentuk sulur tumbuhan dan berbagai dongeng yang sering kami dengar.

Bagian luar pintu itu, terpampang kepala Baphemot besar ditengahnya, juga dari emas putih dan dihiasi bunga dan lili dan dandelion di sisi bingkai pintunya. Gereja ini memiliki empat tiang utama dan enam tiang penopang. Sedang menara menjulang yang berdiri menyebar di sekelilingnya juga ada enam dengan obor dan anyaman pita perak di setiap sisinya.



Didalamnya hanya ada aku. Berdoa penuh harap dengan doa yang sama dari tahun ketahun sampai jiwaku menjadi imbalannya. Kedua tanganku tergenggam rapat di depan dada. Kepalaku menunduk, mulutku terkatup rapat. Lihatlah aku. Seorang lelaki kecil yang berada di ambang antara hidup dan mati. Selang beberapa menit, aku menghembuskan nafas. Pertanda doaku sudah berakhir, ku benarkan kerah kemeja putihku dan lencana bulat berwarna berlian dengan bingkai perak tersemat di bawahnya. Tepat pada pangkal dasi hitamku yang memanjang hingga dibawah sabuk. Lencana ini, amat bahagia mengingatnya.

Diantara ribuan orang-orang disini. Hanya beberapa puluh orang yang paling unggul dari penampilan, akal, dan kemampuan. Faktanya, siapapun yang memilikinya memang memiliki daya tarik tersendiri. Dan juga, uang akan datang dengan sendirinya.

Disinilah aku, berdoa untuk apapun itu termasuk uang itu. Selain kegiatanku yang lain seperti membersikan gereja—terutama altar, bekas-bekas acara besar. Berjalan seperti anak anjing yang kehilangan tuannya. Dan lain sebagainya.

Suara jejak kaki dari sepatu kulit perlahan mendekat kearahku. Langkahnya ringan. Nada berjalannya sangat khas. Semakin lama semakin cepat, sampai akhirnya menghujam tubuhku dan membuatnya oleng.

"lepaskan aku." Pintaku malas. Orang ini, tingginya lebih dariku. Beratnya juga lebih, tapi ia menumpukan beratnya padaku tentu membuat kakiku oleng. Rambut perak panjangnya menggelitik leherku. Dengan senang hati, dia menidurkan kepalanya di pundakku. Meskipun rambutnya hanya sebatas ujung lehernya, tetap saja itu termasuk panjang. Poninya pun menyebalkan. Tangannya merengkuhku mesra dari belakang. Menjijikkan "lepaskan aku!!" pintaku lebih kuat.

Lelaki ini tersenyum. Wajahnya mendekat, "memangnya apa motivasiku untuk melepaskanmu, hmm ?"

"memangnya kau butuh motivasi untuk itu !?" hatiku mulai kesal. Sebenarnya, aku senang-senang saja dipeluk. Asal bukan disini. Belum lagi, dia berat.

Tengannya mengendur, kemudian melepaskanku begitu saja. "kita lanjutkan saja dilain waktu. Karena kau sudah selesai dengan acara ini, mau menemaniku berjalan-jalan ?"

"tanpa tujuan ?"

Dia mengangguk ringan dan tersenyum.



Benar kata orang, wajahnya luar biasa. Belum lagi saat ditambah senyum seperti ini. Aku mendongak. Hanya terlihat dari bawah. Tapi masih cukup mendapatkan nilai luar biasa. Wajahnya memiliki wibawa sendiri. Simetris. Garis wajahnya tegas. Namun, tidak kaku. Kulitnya terlihat putih dan halus. Ia juga memiliki warna bibir yang senada dengan rona pipinya. Lelaki ini tampan, sangking tampannya sampai bisa dibilang cantik. Tipe wajah yang seperti itu

"apa ?" tanyanya tiba-tiba.

"apanya yang apa?" tanyaku balik meminta penjelasan.

"kau yang dari tadi memerhatikan wajahku, kukira ingin berbicara sesuatu." Pandangannya kembali kedepan dengan entengnya. Baru kusadari juga itu. memalukan.

"tidak." Jawabku seadanya, tapi mungkin terdengar ketus baginya.

"atau, ada sesuatu di wajahku sampai kau memerhatikannya begitu ?" matanya kembali menatapku, sembari sibuk mengusap wajahnya dengan lengan baju.

"tidak ada apapun kok."

"lalu kenapa ?"

"tidak ada." Aku mengendikkan bahu, berjalan lebih sedikit cepat darinya supaya ocehannya berhenti. Semoga saja berhasil.



Tidak. Tetap saja lelaki ini berjalan menyusulku dan melanjutkan cerita apapun itu yang tidak pernah bisa aku pahami. Langkahnya beriringan disampingku. Tubuhnya terlihat sangat jankung. Penampilannya sepertiku, kemeja putih—walaupun miliknya agak menguning—dan celana panjang hitam. Tak lupa ia balut lagi dengan jaket parasut tebal walaupun aku tahu ini musim panas. Mungkin untuk menutupi bajunya atau tubuhnya yang terlihat kurang gizi. Begitu penampilan kesehariannya. Selalu ia tutup tubuhnya itu bagaimana pun caranya.

"kau, tidak punya impian kah ?" lelaki itu, menoleh ke arahku lembut. Tentu agak menunduk karena telingaku berada di bawah pundaknya.

"impian macam apa yang kau maksud ?"

"apapun itu, pokoknya yang kau inginkan sedari dulu atau baru saja."

Kepalaku menunduk, tanganku mengetuk dagu. Selama ini memangnya terpikirkan suatu impian atau omong kosong sejenisnya ? tidak, kepalaku selalu luput dari hal itu.

"aku..." tidak yakin rasanya dengan apa yang akan ku katakan.

"kalau saja kau tidak punya impian, tidak mungkin kau berada di depan altar seharian."

"ah, benar juga. Perlu aku sebutkan satu persatu ?"









To be continued :)

14/12/2022

CreviceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang