Nafasku berembus kencang. Selama ini, hidupku hanya sekedar hidup. Tanpa makna, tanpa arti. Intinya berjalan. Sampai di suatu hari doa-doaku terkabul dan iblis menagih jiwaku. Begitu.
Tapi, kalau boleh jujur. Sepertinya ada satu hal yang selama ini bersarang dalam hatiku. Tanpa aku sadari.
Aku mendongak. Menatap netranya secara intens. Ku sampingkan perkara dia mengerti atau tidak yang pasti, “aku ingin menjadi kunang-kunang. Mereka bebas, bahkan memiliki cahaya sendiri. Bukankah itu luar biasa ?”
“Memangnya di sini kau tidak merasa bebas ?” Lelaki itu meletakkan lengan dan sikunya di pundakku, menganggap tubuhku seperti pegangan sofa. Hal biasa.
“Memang aku bebas di sini, termasuk semua jenis alkohol pun bisa aku beli. Cocktail pun bisa aku nikmati setiap hari tanpa batas. Bahkan aku bisa menyewa semua orang. Tapi, aku tidak punya cahaya sendiri, Elvy.”
Kedua alisnya terangkat. Nampaknya dia tertarik dengan itu, “maksudmu ?”
Aku tersenyum tipis. Mungkin dia pun tidak bisa melihatnya, “aku merasa belum bahagia disini. Maksudku kebahagiaan yang benar-benar nyata dan alami. Bukan yang dipaksakan.” Alisku juga terangkat, merutuki tiap kata yang ku lontarkan. Apa-apaan itu. Kalimat macam apa itu, otakku rasanya berkedut untuk memahaminya ulang.
“jadi, kebahagiaan yang kau inginkan itu.. seperti apa ?” lelaki jangkung yang sering ku panggil Elvy—panggilan khususku untuknya— itu melipat tangannya di depan dada.
“entahlah, kebahagiaan dimana aku merasa dihargai, mungkin ?” orang ini, otak mulusku sering dibuat berkedut olehnya.
“Kenapa kau malah balas bertanya ? Bahkan, kau sudah dihargai masyarakat bukan.” Dia menunjuk lencana biru mengilatku. Kemudian menariknya, untung saja kemejaku tidak sobek dibuatnya. “hanya makhluk unggulan yang memakai ini, kau tahu ? Kau dihargai mahal oleh mereka.”
“aku tahu,” tanganku menggenggam tangannya yang masih menarik lencanaku. “aku tahu, tapi bukan penghargaan seperti itu yang aku inginkan, Elvy.” Selama ini, hidupku tetap berjalan biasa saja. Jadi harapanku pun tidak yang berat-berat.
Intinya, asal hidupku tidak bermasalah. Itu saja, selain itu selama ini aku tidak mendapatkan masalah apa pun. Karena aku tahu, masalah itu datang karena ekspetasi berlebihan. Begitulah. Jadi aku tidak mau menuntut atau berharap untuk mendapatkan penghargaan lebih.
Dia agak mendongak, tapi tetap menatapku dengan mata tajamnya itu, “oh.” Jawabnya singkat dan datar.
“Apa apaan kau malah menjadi ketus begitu.” Alisku berkerut tidak terima. Tanganku pun merebut liontin itu dari tarikannya. Menyebalkan sekali.
Elvis masih mendongak, wajahnya terlihat berpikir. Aku menatapnya bingung. Aku sendiri, tidak terlalu yakin dengan jawabanku tadi. Sekedar menjawab saja dengan apa yang ada dihatiku. Jangan bilang lelaki ini menjadikannya sebagai sesuatu yang serius.
“Hei, jangan membuat kepalamu berat soal itu.”
“tidak kok,” dia menarik tanganku menuju kafetaria terdekat. “setelah ini makan malam, sekalian saja kita ke sana.”
Aku masih tidak habis pikir, dikepalanya ada apa sih ? Tangannya merengkuhku. Wajah menyebalkannya kembali. Lelaki ini kembali berbahagia. Orang aneh. Aku juga heran, dengan wajah seperti ini. Kenapa dia tidak diberi lencana juga ya ? Menurutku dia layak untuk itu. Wajahnya bisa membuat semua orang terpesona. Mungkin karena pemerintah tidak tahu kalau dia hidup di dunia ini atau karena kapasitas otaknya yang minim ? Entahlah.
Ku rogoh dompetku, saku, kemeja, pakaian dalam, kaus kaki, berharap menemukan uang yang lebih dari ini.
“Ada ?” Tanya Elvis sebelum kami membuka pintu kaca yang di dalamnya terlihat banyak orang makan dengan bahagia.
Aku menggeleng yang dibalas tatapan kecewa olehnya. Minggu ini belum ada uang yang datang padaku. Hanya koin kembalian yang aku punya. Elvis pun begitu. Kami meringis melihatnya.
Pagi ini, aku hanya sanggup membeli ikan kering dan nasi. Ada uang yang aku temukan dibalik bantal tadi malam. Walaupun tidak seberapa. Menyedihkan sekali.
Tidak masalah. Ku bawa sepiring ikan kering beserta semangkuk nasi itu menuju meja yang masih kosong. Di pojok, dekat jendela.
Baguslah, tidak akan ada yang menggangguku di sini. Masih ada uap putih yang mengepul di atas nasi. Sedikit demi sedikit. Ku suapkan nasi panas dan potongan ikan kering ke dalam mulutku. Baru menyentuh lidah saja sudah terasa enak. Mungkin, sangking laparnya aku ?
“Elvis dan Eri serasi sekali yaa...” teriakan dan cekikikan gadis-gadis membuatku hampir tersedak. Untung saja makanan berharga ini tidak tersembur keluar. Sialnya aku tidak memesan air tadi. Jadi ku telan saja walau terbatuk-batuk.
Ku ikuti arah pandangan gadis-gadis itu. Ke arah Elvis dan gadis semampai jauh disana yang matanya bulat dan katanya manis. Bulu matanya lentik. Bibirnya kecil sewarna buah persik. Seluruh tubuhnya terawat dengan baik. Rambutnya jatuh di atas siku. Tidak terlalu panjang ataupun pendek. Lihatlah, mantanku.
Orang-orang ini membuatku kaget saja. Elvis dan mantanku sudah berpacaran sejak bulan lalu. Meskipun lelaki itu selalu merasa tidak enak padaku, tapi aku tidak peduli. Aku tidak pernah peduli lagi dengan gadis itu. Entah apa yang akan Elvis perbuat juga tidak akan aku pedulikan. Sedih ? Tidak. Sudah kubilang aku tidak peduli.
Setidaknya lelaki seperti Elvis, yang aku pun tidak yakin dia bisa mendapatkan pacar bisa berhubungan baik dengan gadis berlencana itu. Gadis yang tergolong tercantik dengan penggemar yang tersebar dimana-mana, meskipun agak brengsek aku tahu.
Sebenarnya aku enggan melihatnya lagi.
Pagi ini, kami berdoa bersama di dalam katedral luas nan megah ini. Tidak ada yang istimewa. Puji-pujian kami panjatkan. Suara kami senada membuatnya terdengar lebih mengalir. Tempat dudukku di tengah, dekat jalan utama yang di lapisi karpet merah.
Terasa tenang dari sebelumnya. Memang tempat ini adalah yang terbaik.
“auch!” bisikku sembari meringis.
Siapa manusia jahil yang melempar-lempar pesawat kertas di saat seperti ini ? Aku menunduk, mengambil kertas putih kusut itu dan membukanya. Aku tidak mengerti, hanya gambar seekor burung dan satu paragraf tulisan tangan yang tidak bisa aku baca. Sepertinya ini bahasa yang berbeda. Bahasa asing.
“Raven ! Tetap fokus !” lelaki tua di depan menyalak keras. Membuat beberapa orang memerhatikanku.
“ah, maafkan aku pak.” Kepalaku kembali menunduk. Sialan orang ini.
Soal kertas ini, entahlah. Ku simpan dulu di kantung. Nanti kalau ada tempat sampah akan ku buang disana.
To be continued :)
20/12/22
Padahal dibuku rancangannya cuma satu halaman. pening rasanya harus manjangin cerita gini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crevice
Mystery / ThrillerHidupku hanya hitam putih. Tapi percayakah ? Orang orang yang menjadi musuhku akan mewarnainya ? Termasuk, bagaimana cara orang yang paling ku benci mengajarkanku apa arti cinta dan kasih sayang. Dan bagaimana orang asing yang membuatku penuh denda...