03

7 1 0
                                    

Setelah itu tidak ada yang istimewa, semua berjalan seperti biasa, dari lolongan kucing tiap malam atau bahkan eongan anjing. Entahlah, aku enggan memikirkannya. Sudah sebulan semenjak banyak hal terjadi. Aku berbaring di atas kasurku yang empuk, didalam flat kecil lantai tiga yang letaknya hampir diujung. Kalau dilihat-lihat koridornya memang agak redup, sering ada bau anyir atau busuk. Tapi selama ini, tidak ada apa-apa.


 
Entah sudah berapa lama aku tinggal disini, beberapa tahun yang sudah tidak pernah aku hitung. Agak berantakan tapi tidak seberantakan Elvis yang meletakkan selimutnya di kamar mandi. Tidak ada sampah, hanya barang yang belum aku tata. Nanti saja aku menatanya. Anggota badanku masih enggan bergerak. Ku tatap langit-langit yang sama setiap hari, lampunya perlu aku ganti, tapi syukurnya tidak ada sarang laba-laba disana.


 
Hidupku kembali monoton, hampa. Tidak ada perasaan apapun. Sampai aku mempertanyakan eksistensiku sendiri. Kenapa aku ada disini ? dan lagi, aku menggenggam liontin biru yang mereka berikan di bawah sorot lampu, dimana bisa terlihat banyak pantulan cahaya di dalamnya. Atas dasar apa mereka memberiku ini ? Penampilan ? Kepintaran ? Kekuatan ? Kelicikan ?  Hah ? aku tidak paham. Aku tidak punya semuanya. Berbeda dengan orang-orang yang bercita-cita tinggi atau bekerja menjadi karyawan bahkan bos. Aku hanya menjajakan diriku di rumah bordil untuk makan. Aku tidak punya keistimewaan. Tidak ada satupun. Aku hanya sampah masyarakat. Tidak lebih. Benda ini seharusnya bukan menjadi milikku. Justru seharusnya, Elvis yang memilikinya.



 
Ku pejamkan mataku, dan ku biarkan liontin itu jatuh di atas tubuhku. Nafasku berat. Tenggorokanku sakit. Dadaku sesak. Lebih baik kalau aku mendaftakan diriku sebagai tumbal tahun ini. Aku tidak akan merasaan penderitaan aneh ini lagi.













Burung kenari kecil bertengger dihidungku. Menyadarkanku dari mimpi yang membuatku tak bergerak dari posisi semalam. Tubuhku sakit saat ku gerakkan perlahan, serapuh ranting yang terinjak di musim gugur. Semilir angin sepoi-sepoi nan sejuk menggelitik wajahku. Dari balik jendela, mataku dipertontonkan dengan goyangan dedaunan hijau yang tak jarang rontok dan berceceran di dalam kamarku. Bahkan jendela saja lupa ku tutup. Astaga. Dengan malas, aku mencari jam wekerku. Hatiku sudah berniat memakinya karena tak membangunkanku dengan benar.


 

"oh.." mungkin makian itu bisa di tunda, aku lebih telat dari rekor keterlambatanku selama aku hidup. Enam jam sekolah sudah terlewat. Haruskah menyusul jam-jam terakhir ? Bodoh,  lebih baik aku bolos. Toh sebentar lagi waktu makan siang. Jam weker sialan, kau gagal membangunkanku !

 
Terserahlah aku memilih keluar saja. Jalan-jalan di luar mungkin bisa menguapkan bau badanku. Sekaligus meningkatkan mood ku.




Dingin. Aku rasa tak lama lagi musim gugur akan datang. Aku melangkah gontai menuruni tangga. Angin dingin yang mencekam menyelinap masuk kedalam pakaianku. Padahal, tak terhitung berapa lapis yang ku kenakan hari ini. Tak ada pengaruhnya. Sialan.
Baru satu langkah aku menginjak batu-batu paving di luar pintu. Sepertinya, beberapa waktu yang lalu terjadi banjir kecil disini. Mungkin salah satu penyebab hari ini sedingin ini juga ? langkahku tetap bergerak ke depan dengan sepasang bot hitam kulitku yang basah karena genangan air tak berujung. Ku peluk tubuhku erat. Menggagalkan embusan angin dingin yang mencoba menyentuh tubuhku. Kalau sedingin ini, nanti aku coba pinjam jaket musim dinginnya Elvis. Enggan sekali aku kalau harus mati kedinginan di sini.

 



Benar, beberapa waktu lagi musim gugur. Senyumku tersungging tanpa sadar, memerhatikan dedaunan hijau yang mulai berubah warna dan meranggas. Aku suka. Jalanku masih santai ke mana pun kakiku akan membawa. Bersyukurnya, tempat ini luas. Seolah kakiku berjalan tanpa ujung, tanpa batas, sejauh yang aku bisa.

CreviceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang