3. Awal dari bencana

25 5 3
                                    

Sebelum keributan di kamar ketiga gadis itu, 5 jam lalu.

Datangnya si anak baru bersamaan dengan munculnya masalah lain. (Nama) melirik sekilas seorang pria tua jangkung dengan pakaian seperti petugas kota. Sekedar menebak, mungkin detektif? Atau polisi? yang jelas pria tua tersebut selalu menuduh para murid NEVERMORE tanpa bukti. Sejujurnya bila (Nama) bukan siswi dari sekolah ajaib ini, dirinya pun akan menuduh tanpa perlu menunjukkan bukti. Kenapa? Pasti manusia normal akan tahu maksudnya.

"Membunuh itu merepotkan dan konyol" Gerutu (Nama) sembari melayang-layang dikamarnya. Raga (Nama) berada di kasur, sedangkan roh nya memutari setiap sudut kamar. Beberapa menit lalu (Nama) mengelilingi sekolah dengan wujud rohnya, dan tanpa sengaja mendengar percakapan antara pria itu dan kepala sekolah. Bila mengingat lagi sudah cukup menambah emosi (Nama), karena itulah gadis roh tersebut berakhir dikamarnya.

"Memangnya hanya sekolah ini saja yang patut dicurigai? Dia berpikiran sempit, arkhhhh!" (Nama) melampiaskan amarahnya dengan menembus beberapa tembok hingga tanpa sengaja masuk ke dalam salah satu kamar. Ruangan cukup aneh; berbagai buku dan bahasa klasik yang bahkan (Nama) tidak mengerti. Merasa bingung dan enggan mencari tahu, ia pun kembali keluar tanpa mengetahui bahwa ruangan itu memiliki banyak hal rahasia.

Meanwhile, Wednesday Addam

Gadis itu menatap datar wanita yang disebut sebagai ibu. Wednesday ingin segera pergi dari hadapan si ibu. Drama pagi sudah membuat perutnya kenyang, jika ditambah lagi mungkin gadis hitam putih ini memuntahkan semua isi perutnya.

Setelah Wednesday menghela nafas pelan, ibunya mulai berbicara-tepatnya mengancam "apapun yang kau rencana, lupakan sekarang. Pelarian mu akan sia-sia" Ucap wanita itu dengan nada lembut walau tahu apa maknanya.

Tanpa perlu mendengar, Wednesday sudah menebak dan tebakannya tidak meleset. Sang ibu telah meminta semua kerabat bila anak gadisnya melakukan pelarian di rumah mereka. Seketika wajah datar Wednesday sedikit mengkerut dan mengumpat dalam hati. Kedua tangan Wednesday terlipat dan dagunya sedikit terangkat; menantang si ibu layaknya musuh bebuyutan.

"Seperti biasa, ibu meremehkanku. Aku akan tetap kabur dari kurungan berkedok sekolah ini dan tentu saja menghilang selamanya" Seperti biasa, nada Wednesday selalu tajam dan menantang. Tidak ada kata durhaka di kamus Wednesday. Dia tidak peduli. Demi kebebasannya, melawan wanita yang melahirkan nya pun sanggup ia lawan.

Tidak seperti ibu pada umumnya, dia hanya tersenyum kecil sembari menggelengkan kepala. Dia cukup senang dengan kecerdasan anak sulungnya, tapi terkadang kekerasan kepala Wednesday cukup menambah kepala sang ibu sakit.

Dengan senyum, sang ibu mengatakan penuh keyakinan bila Wednesday akan menyukai sekolah itu. Layaknya sebuah harapan dan di masa depan mungkin saja akan terjadi. Tangannya menunjukkan sesuatu; kalung dengan lambang huruf W. Entah dari mana sang ibu mendapatkan kalung berinisial kan nama Wednesday. Terlihat tidak mungkin bila wanita itu memesan di toko perhiasan, karena liontin itu tampak sudah tua juga usang.

Tapi bila kalung tersebut dibalik, maka menjadi huruf M. Artinya berinisial dari nama sang ibu, Morticia. Morticia mengatakan bila kalung itu terbuat dari obsidian: asal muasal dari seorang pendeta Aztek memakainya untuk menerawang. Terdengar aneh tapi itulah kemampuan Wednesday yang baru terpakai beberapa hari lalu.

"Ini simbol ikatan kita" Sembari tersenyum, Morticia memberikan kalung itu. Wajah datar Wednesday hanyalah kedok, tapi dalam hatinya dia penasaran dengan kalung jelek itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 29, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Be friend? (Wednesday Addam and you)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang