1. Dekapan Laut

270 16 0
                                    

    Napas Rosse seakan tercekat, seluruh tubuhnya terasa lunglai tak bertenaga, matanya menerawang menatap luasnya hamparan laut menyatu dengan birunya langit, cerahnya mentari nyatanya tak mampu menyinari kegelapan yang mendadak menjerat Rosse.

Senyap sejenak, sampai pundak Rosse tanpa ia sadari mulai bergetar, napas yang semula tercekat kini berubah menjadi segukan yang cukup hebat. Tubuh ringkih itu pun kehilangan tenaganya, ia terduduk lemas dengan air matanya yang sudah menetes deras. Rosse tak menyangka bila liburannya yang ia kira akan menjadi awal mula kebahagiaan justru berubah menjadi akhir dari harapannya.

    Sementara itu, ponsel berlatar kupu-kupu merah yang masih ia genggam erat terus berdering tanpa henti untuk menerima panggilan dari mereka yang bahkan selama ini tidak pernah menghubunginya. Rosse mengabaikannya, ia sudah tahu arti dari puluhan panggilan yang mendadak tersebut, bahkan saat semua orang yang ada di sana membicarakannya dari belakang dengan pandangan risih, Rosse masih tetap acuh pada dering ponselnya itu. Hati dan pikiran Rosse terlalu sibuk untuk memikirkan pendapat orang lain, sampai Rosse akhirnya mendapat panggilan langsung dari nomor ponsel ayahnya.

    "Ayah!" Rosse mengangkat telepon itu sigap saat mengetahui panggilan tersebut dari ponsel ayahnya.

    "Tuh, kan benar! Ayah meneleponku!" Rosse terkekeh kecil, "Buktinya sekarang Ayah sedang meneleponku!"

    "Kadang emang orang suka banget langsung menyimpulkan sesuatu dan menyebarkannya tanpa memeriksa kebenarannya. Aku yakin ayah baik-baik saja!" Rosse masih mencoba menyangkal kenyataan dengan segala pikiran positifnya.

    Sayangnya, tak ada suara dari balik telepon meski Rosse telah berbicara cukup panjang. Perasaan Rosse kembali tidak tenang, napasnya sekali lagi tercekat, bibirnya mendadak kering, dan Rosse pun mulai murka atas keheningan yang menyesakkan tersebut.

    "Ayah!!" bentak Rosse keras dengan napas yang kemudian terengah-engah akibat emosi.

    Beberapa saat yang lalu, Rosse mendapatkan sebuah pesan dari nomor tak dikenal yang mengatakan bahwa sang ayah telah meninggal dunia akibat kecelakaan, Rosse tidak percaya, ia menyangkal kabar tersebut, meski begitu hati serta pikirannya tidak bisa berbohong bahwa ia mencemaskan sang ayah. Rosse telah menelepon ayahnya, tetapi tak ada satu pun panggilannya yang diangkat. Kala itu perasaan Rosse benar-benar kalut, hingga tubuhnya pun tak bisa bertahan lagi, membuatnya terduduk tak berdaya di atas geladak kapal, menangis putus asa. Sampai panggilan telepon dari sang ayah kembali menuai harapannya, ia belum bisa percaya atas kepergian sang ayah.

    "A-ayah jawab aku, benar kan, kalau pesan itu cuma omong kosong doang?"

    "Pesan tadi aja bukan dari ayah!"

    "Ayah pasti baik-baik aja, kan?"

    Perasaan Rosse semakin kacau saat sebuah isak tangis yang samar terdengar dari balik telepon justru menjadi jawaban dari cecaran pertanyaannya, apa lagi isakan itu bukan milik sang ayah.

    "Maaf Rosse! Tapi, ayahmu, dia ...," suara wanita itu tercekat, ia mengatur napasnya, lalu kembali berkata, "dia mengalami kecelakaan dan tewas saat dibawa ke rumah sakit!"

    "Nggak, tante, itu bohong, kan!"

    "Ayah, nggak mungkin ninggalin aku. Ayah udah janji sepulang liburanku nanti, dia akan memasak banyak makanan untukku, nggak mungkin ayah mengingkari janjinya padaku."

    "Tente tahu kan, ayah nggak pernah ingkar janji?"

    "Tente, aku mohon, jawab aku dengan jujur!"

    "Kalian pasti bercanda biar aku cepat pulang, kan?"

    Sayangnya, hanya isakan yang menjadi jawaban. Jujur, panggilan bertubi-tubi dari kelanannya saja sudah membuat Rosse paham bahwa pesan itu bukanlah sekadar kabar burung semata, hanya saja Rosse masih tak mampu menerima satu-satunya keluarga yang ia miliki tewas seperti ini.

Hai, Pembenciku! (Apa kabarmu pemb*lly?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang