2. Kamu selamat!?

138 14 0
                                    

"Ka-kamu selamat!"

"Syukurlah kamu berhasil diselamatkan!"

Pria itu berlari menghampiri wanita yang berdiri di tengah kerumunan tim penyelamat. Rambut panjang terurai dengan poni yang tertiup angin, mata sendu beralis tipis, bibir mungil lembab, pipi tirus dengan dagu lancip. Sosok wanita yang ada di hadapan pria itu sama persis dengan wanita yang sempat ia raih pergelangan tangannya sebelum terjatuh ke laut.

Pria itu menelisik tubuh wanita yang ada di hadapannya, ia bahkan tanpa ragu memegang bahu wanita itu dan memutar tubuh mungilnya, hanya untuk memastikan wanita itu baik-baik saja tanpa kekurangan apa pun. Meringankan rasa bersalahnya yang terlambat meraih tubuh ringkih wanita itu.

Senyum pria itu merekah setelah memastikan kondisi wanita tersebut, tapi senyumnya dalam sekejap lenyap, begitu wanita itu membuka suaranya.

"Apakah dia tersenyum?"

"Huh?"

"Apakah sebelum adikku tenggelam di laut dia tersenyum?"

Pupil pria itu bergetar, bola matanya mendadak berkaca-kaca, debaran jantungnya tiba-tiba berpacu dengan cepat, pria itu terdiam sembari menatap sosok wanita di hadapannya, tangan pria itu bahkan sudah gemetar, sedangkan wanita itu tampak tak goyah sedikit pun.

"Katanya kamu sempat meraih tangannya sebelum ia terjatuh ke laut?"

"Seperti apa wajahnya saat itu?"

Wanita itu memiringkan kepalanya, mendekatkan wajahnya pada pria yang sedari tadi sudah membelalakkan kedua matanya.

Tanpa perlu penjelasan, kini pria itu mengeti maksud dari wanita yang ada di hadapannya saat ini, ia pun menarik napas dalam, menyayat keheningan dengan suara paraunya yang ketir.

"Kedua matanya berbentuk bulan sabit berkilau seperti berlian, sudut bibirnya naik memperlihat gigi kelincinya, terlihat lesung di pipinya, ia tersenyum tulus sambil meminta maaf karena aku telah menyaksikan tindakannya!"

Pria itu menjabarkan dengan rinci apa yang ia lihat terakhir kali tentang sosok Rosse. Wanita itu pun mendadak terisak, mata itu tak mengeluarkan air mata, hanya napas yang terengah-engah.

"Dia bahagia atas keputusannya?"

"Setidaknya dia tersenyum di akhir hayatnya!"

Air mata yang telah dibendung sedari tadi akhirnya pecah, kali ini pria itu tak terlambat mengulurkan tangannya, ia merangkul tubuh gemetar wanita tersebut, mendekapnya erat, ikut menangis bersama dengan gejolak perasaan yang mereka pendam.

Penyesalan adalah satu-satunya penjabaran yang tepat untuk keduanya, pria itu menyesal telah gagal menyelamatkan Rosse begitu pula dengan wanita itu, ia terlambat mengabari bahwa sebenarnya Rosse masih memiliki ibu kandung dan saudara kembar.

Adalah Risse sudara kembar Rosse yang terpisah akibat perceraian orangtua mereka. Jujur saja, Risse pun tak tahu akan keberadaan Rosse selama ini, ia baru tahu tentang Rosse justru baru hari ini, hari yang sama saat ia mendapati kabar duka dari ayah kandungnya dan juga saudara kembarnya.

Takdir seakan memepermainkan Risse, ia tak lagi sanggup untuk berkata-kata, mulutnya seketika membisu, menyisakan suara napas kasar, tanpa tetesan air mata lagi. Kemalangan hadir betubi-tubi, menguras seluruh air mata yang telah Risse miliki. Bukan hanya membalikkan dunianya, takdir justru seakan membuat lelucon dengan meledakkan dunia yang semula ia rasa berjalan lancar.

Sungguh, Risse tidak menyangka bahkan kehidupannya bisa kacau dalam satu hari, semua hadir bagaikan terjangan gelombang besar, menghantam tanpa permisi, dan menyeret segalanya dengan arusnya yang kuat.

Jangan terlalu bergembira nanti akan muncul kemalangan, begitulah kata orang kebanyakan. Sejak mentari menjemput, pagi itu memang berlangsung sangat damai, semua hal berjalan dengan mulus, keadaan melaju semestinya, bahkan ada beberapa hal yang menggelitik hati untuk menuai kebahagiaan.

***

Gemericik aliran sungai, burung yang berkicau, cahaya mentari yang bersinar indah, hingga menu sarapan yang sesuai selera, bahkan Risse bahagia saat ia mendapatkan cita rasa kopi sempurnanya, bertepatan dengan kabar baik yang ia dapat atas kelulusannya di universitas impiannya. Pagi Risse benar-benar menjadi awal sebuah gerbang kebahagiaan, demikianlah pikiran Risse tanpa tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

"Sempurna, aku jadi semakin dekat dengan cita-citaku!" kekeh Risse saat itu sembari menatap lembaran surel tentang kelulusannya tanpa merasakan satu firasat buruk pun. 

"Oh, jelas dong! Siapa dulu Ibunya!" sombong sang ibu yang tiba-tiba saja ikut dalam jejak kebahagiaan Risse pagi itu.

"Idih, kenapa pula malah Ibu yang bangga dengan prestasi anaknya yang gemilang ini?"

"Hei, biar bagaimana pun, kamu seperti ini juga berkat Ibu melahirkanmu, kan! Jadi, wajar aja kalau Ibu ikut bangga!" dengus sang ibu sembari bertolak pinggang.

Senda gurau pun terjadi di antara mereka, sang ibu terus saja menggoda anaknya yang tengah berbahagia. Apa lagi, keberuntungan seakan datang bertubi-tubi pada Risse, selain kabar kelulusannya di universitas, ia juga mendapatkan pengumuman kemenangannya perihal lomba melukis di hari yang sama, bahkan bersamaan dengan itu Risse juga mendapatkan info bahwa naskah novelnya akan diterbitkan oleh penerbit ternama. Semua kabar baik itu datang bertubi-tubi, membuat kebahagiaan terus saja berlipat ganda, tanpa ada sedikit pun perasaan ketir. Sampai sang ibu tiba-tiba berkata, "Udah ah, bercandanya. Kata orang nggak baik!"

Tanpa menanggapi serius pernyataan ibu yang tiba-tiba itu, Risse langsung menyipitkan matanya, mendekatkan wajahnya pada ibunya sambil cemberut. "Lah, Bu, yang mulai becanda duluan siapa, toh?"

"Kan, Ibu yang ngajak aku bercanda!" Risse terus menatap lekat sang ibu.

Seharusnya disudahi saja saat itu, tetapi Risse yang tak bisa menahan perasaan senangnya masih saja menggoda sang ibu. Risse mulai kelewatan, ia menggelitiki sang ibu sampai tertawa terbahak-bahak, keduanya begitu riang dan melupakan mitos yang baru saja mereka bahas. Meski sempat tersirat sebuah perasaan aneh yang tak dapat dimengerti, Risse masih tetap saja bercanda pada sang ibu, mengacuhkan kegetiran yang menancap bak kerikil kecil itu.

Akan tetapi, perasaan aneh yang mengganjal itu masih terus Risse rasakan tak peduli seberapa besar ia menyangkalnya. Jujur saja, Risse tidak percaya pada yang namanya mitos, tapi hatinya entah bagaimana tidak bisa tenang.

Benar saja, tiba-tiba kening sang ibu berkerut saat mendapatkan sebuah panggilan di ponselnya. Tangannya gemetar, tatapan matanya terlihat suram, bahkan suara ibu terbata-bata saat mengangkat panggilan tersebut.

"Ha-halo!"

Suara dari balik ponsel itu terdengar samar, ibu hanya mendengar dengan baik apa yang disampaikan seseorang dibalik ponsel tersebut. Risse tak mampu mendengar jelas apa percakapan mereka, hanya saja dari ekspresi sang ibu terlihat bukanlah hal yang baik. Wajah tegang ibu dengan air mata yang berlinang serta napas yang mulai tersenggal-senggal. Menunjukkan bahwa mungkin memang benar bila mitos itu tidak bisa diremehkan, terlalu berbahagia itu tetap saja tidak baik, seakan menyatakan mendung itu awal dari sebuah badai besar. Perasaan mengganjal itu pun kini sudah menjadi sebuah firasat buruk.

Tepat, saat panggilan telepon itu terputus, ibu langsung kehilangan keseimbangannya. Risse yang sedari tadi masih berada di sisi sang ibu, secepat kilat menopang tubuh ibu, mendekapnya, seraya bertanya, "ada apa, Bu?"

"Itu telepon dari siapa?"

"Kenapa Ibu sampai seperti ini?"

Pertanyaan Risse sama sekali tidak terjawab, ibu mendadak menangis tersedu-sedu, butuh beberapa saat sampai sang ibu bisa mengatur napasnya kembali.

"Risse, gimana ini?"

"Iya, kenapa Bu?" Risse sudah tidak sabar untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hai, Pembenciku! (Apa kabarmu pemb*lly?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang