Langkah kakinya pelan, sedangkan matanya menatap kosong ke depan. Dan kedua tangannya memeluk erat sebuah tote bag warna hitam di dada. Dari kejauhan ia dapat melihat pak Sadi, satpam perusahaan membukakan pintu lobi untuk seorang laki-laki.
Laki-laki itu terlihat terburu-buru dan berlari ke arah Laras. Tak hati-hati sehingga pundaknya yang lebar dan keras menabrak Larasati. Seketika itu juga tas yang ada di pelukan Laras terjatuh dan menghamburkan isinya. Sedangkan si Laki-laki yang menabraknya, merasa tak perlu repot-repot membantu Laras, jangankan membantu atau meminta maaf, bahkan menoleh ke belakang pun tidak.
Mengembuskan napas kasar, Laras berjongkok dan memunguti kertas yang berisikan rancangan desainnya. Kemudian ia mendongak saat menemukan tangan lain membantunya. Ternyata Pak Sadi. Senyumnya cerah berbanding terbalik dengan cuaca hari ini, Pak Sadi menyerahkan tumpukan kertas yang berada di tangannya.
"Maaf ya mbak Laras. Pak Daniel memang begitu orangnya. Kaku nggak tahu adat," gerutu Pak Sadi membicarakan atasannya.
Laras tersenyum, membayangkan wajah kaku Daniel saat mendengar ucapan pak Sadi yang secara tidak langsung menghinanya. Daniel adalah Creative Director di Il Agnelli. "Terima kasih ya pak," ucap Laras pelan.
"Iya mbak sama-sama. Pulang malam lagi hari ini? Bawa payung nggak mbak? Hujan deres tuh," pak Sadi membalas ucapan terima kasih Laras dengan berondongan pertanyaan.
Laras mengerutkan keningnya kemudian menggeleng. Ia berniat menunggu hujan reda saat pak Sadi mengangsurkan sebuah payung berwarna hitam dengan logo Il Agnelli di satu sisinya.
"Bawa saja mbak Laras, nggak apa-apa dikembaliin besok," ujar pak Sadi yang sepertinya dapat melihat keengganan Laras. Sedikit rasa khawatir membuat pak Sadi dengan sukarela meminjamkan satu-satunya payung yang biasa ia gunakan saat hujan.
Laras mengangguk lalu berlalu setelah mengucapkan terima kasih kepada pak Sadi. Melangkah pelan melewati pintu lobi yang ditahan agar terbuka. Aroma hujan langsung menyeruak dan menginvasi indera penciuman Laras. Juga sesekali air hujan melenting mengenai wajahnya.
Menghela napas panjang, Laras mengabaikan rasa dingin yang menusuk tulang. Dengan langkah pelan ia membelah rinai hujan dan berjalan di bawah naungan payung hitam berlogo Il Agnelli.
***
Daniel memukul-mukul kecil kemudi dengan tak sabar. Berkali-kali pula ia mendengus gusar. Dalam hati ia merutuki letak Il Agnelli yang terbilang strategis namun menguras emosi karena berada dalam jalur macet.
Seperti malam ini contohnya. Baru saja keluar dari pelataran parkir ia sudah dihadapkan dengan lampu merah yang detiknya sangat panjang. Membuat Daniel yang sedang dalam keadaan terburu-buru harus ekstra sabar menghadapi gilanya jalanan ibukota.
Detik ke delapan puluh sembilan Daniel memilih pasrah. Setelah mengembuskan napas panjang, Daniel merebahkan punggungnya di sandaran kursi. Mata biru bersemburat hijaunya menatap kaca mobil yang berembun.
Dapat dirasa oleh Daniel hujan yang seakan tak mau berhenti dan justru makin menjadi. Stereo mobilnya yang tengah mengalunkan lagu rancak bertema cinta namun tak memiliki satupun kata cinta tak juga dapat menghalau rasa bosan yang dirasakan Daniel.
Dialihkannya pandangan mata yang tadi menatap lurus ke depan menjadi ke arah kiri. Di sudut setelah lampu merah, sebuah rumah makan spesial nasi goreng mengundang Daniel untuk mampir barang sebentar.
Sepiring nasi goreng sapi lada hitam ditambah dengan segelas air jeruk hangat sepertinya sangat memanjakan lidah dan perut apabila dinikmati di kala hujan. Namun saat melihat antrian yang mengular, seketika itu juga perut Daniel berubah menjadi kenyang. Persetan dengan nasi goreng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Larasati
RomanceDisaat Larasati mulai menerima, ia memaksa dirinya untuk mengikhlaskan. Kemudian sebuah takdir menuntutnya untuk kembali mengikhlaskan. Lalu... mungkinkah ia bisa kembali menerima? Ini tentang Larasati... Tentang mengikhlaskan dan menerima.... © S...