Satu.

552 58 4
                                    

Sooyoung unnie menahan bahuku sebelum kami berdua masuk ke dalam ruangan bernuansa putih yang dingin itu.

"Eomma memberikan ini padaku kemarin. Ini milikmu" ucapnya dengan suara bergetar, memberikan sebuah kalung yang memiliki gantungan berbentuk hati dengan tulisan 'Yerim' di atasnya.

Aku membuang muka enggan menatap lama benda tersebut, memilih untuk meremasnya kuat-kuat, berharap agar kekuatan tersebut juga dapat berhasil menekan perasaan perih yang terus menguar di dadaku pada detik ini.

Sooyoung unnie kembali melangkahkan kakinya ke dalam ruangan menyebalkan itu, membuatku mau-tak-mau harus mengikutinya perlahan.

Tak ada orang lain di sana selain kami bertiga. 

Aku, Sooyoung unnie, dan tentu saja eomma.

Aku menatap wajah pucat eomma yang akhirnya terlihat dengan jelas setelah Sooyoung unnie membuka sehelai kain putih yang sebelumnya menutupi wajah eomma itu dengan tatapan nanar. Grafik pada elektrokardiogram—alat perekam jantung di sebelah kasur eomma telah bergerak lurus.

Eomma sudah pergi.

"Eomma... Maaf Yerim datang terlambat" bisikku pelan, berharap tak ada yang mendengarnya.

Aku memeluk Sooyoung Unnie yang kini menangis tertahan sembari terduduk di lantai. Menggigit bibirku keras-keras agar air mata yang telah menumpuk di pelupuk mataku tak ikut jatuh keluar. Sebab aku tahu, sejarang apapun Sooyoung unnie menghabiskan waktu bersama dengan eomma dan sesering apapun aku menghabiskan waktu bersama eomma, tetap saja, Sooyoung unnie-lah yang paling tertusuk hatinya. Kini dia tak punya satupun keluarga yang tersisa di dunia ini.




"Yerim-ah. Sudah siap?" 

Aku menatap matanya yang masih sembab.

"Sudah, Unnie" jawabku singkat, memperlihatkan satu buah koper dan dua buah tas jinjing yang berdiri rapi di belakang tubuhku.

Sooyoung unnie mengangguk, "Kita mampir dulu bertemu eomma. Setelah itu kita pergi" ucapnya pelan, dapat kulihat matanya mulai kembali berkaca-kaca.

Aku melangkah pelan, memeluknya serta mengelus punggungnya lembut.

"Unnie minta maaf, Yerim" ucapnya parau, jemari tangannya kini meremas kemejaku erat.

"Harusnya unnie selalu bersama kalian. Harusnya unnie ada saat eomma pertama kali masuk ke rumah sakit. Harusnya unnie ada untuk membantumu mengurusi eomma. Maaf... Kamu harus melalui ini sendirian" lanjutnya dengan suara lirih, membuatku menelan ludah dengan susah payah lantas memeluknya semakin erat.

Aku tidak pernah dekat dengannya, tapi kuharap kehangatan dari pelukanku bisa tersalur padanya dan membuatnya lebih tenang.

"Tidak apa-apa, Unnie. Eomma sudah pergi dengan tenang" ucapku pada akhirnya setelah berhasil menahan air mata yang lagi-lagi ingin tumpah.

Aku sudah berjanji pada eomma untuk tidak pernah menangis lagi.




Langit mulai hilang ditelan gelap dan kematian.

Setelah menjenguk dan menaburkan bunga melati pada tumpukan tanah merah dengan nisan bertuliskan Kim Taeyeon itu, Sooyoung unnie langsung membawaku pergi menuju Seoul.

Percik-percik laut masih terlihat kejauhan, semakin lampau, semakin tertinggal. Ini terakhir kalinya aku menatap bibir pantai Kota Busan.

Sooyoung unnie membangunkanku sesaat setelah ia berhasil memarkirkan mobil mewahnya di basement sebuah apartement. Aku melenguh panjang, badanku terasa amat remuk setelah melewati empat jam perjalan yang melelahkan.

BIRTHDAY : JOYERENETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang