Empat.

294 62 5
                                    

Malam itu, aku baru tertidur setelah lewat pukul dua pagi.

Mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Sooyoung unnie membuatku memikirkan banyak hal. Kenangan tentang terakhir kali bertemu dengan eommaku. Aku sedikit mengingatnya. Waktu itu eomma berjanji padaku untuk liburan menaiki kapal laut bersama pada hari aku berulang tahun. Tapi hari itu aku tidak jadi menaiki kapal. Eomma menghilang, sejak itu aku tak pernah lagi melihat wajahnya.

Semalam aku berpikir bahwa mungkin ingatanku salah. Eomma tidak menghilang, tapi aku yang menghilang. Tapi, bukankah bila aku yang menghilang dia bisa mencariku dan melapor pada polisi? Aku memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi selama sembilan tahun ini. Mengapa dia tidak mencariku? Atau dia memang sengaja tidak pernah mencariku?

"Yah, Kim Yerim! Buka kunci pintunya!" teriakan Sooyoung unnie akhirnya membangunkanku dari mimpi burukku.

Pukul sembilan pagi, aku kesiangan.

Aku membuka pintu kamar pelan, menampakan wajah Sooyoung unnie yang sudah merah padam. Sepertinya dia akan mengusirku dari apartement miliknya.

"Anak nakal! Kamu terlambat dan kamu memakai kamarku sendirian! Membiarkan unniemu ini tidur bersama dia di sofa?!" seruan menyeruak dalam nada minor. 

Betul sekali, Sooyoung unnie marah besar. Ia terus mengomeliku seraya menunjuk-nunjuk Wendy unnie yang masih berbaring nyaman di sofa ruang tamu.

"Menyebalkan sekali! Seminggu ke depan kamu harus tidur di sofa, aku tidak mau tahu!" lanjutnya lantas mendengus kesal. Wajahnya masih merah padam.

Aku menunduk merasa bersalah, menatap kalung yang akhir-akhir ini setia aku genggam kemanapun aku pergi. 

"A-aku minta maaf, unnie" Aku mencicit pelan, menahan badanku yang mulai bergetar ketakutan. Bukan karena trauma atau apapun itu. Sejak kecil aku tidak pernah dimarahi dan diteriaki seperti itu, mungkin itu yang membuat mentalku sedikit lebih lemah. Rasanya aku ingin menciut menjadi tikus got lalu kabur melewati saluran pipa kamar mandi Sooyoung unnie.

Sooyoung unnie menghela napas panjang. Sepertinya aku gagal menahan seluruh badanku untuk tidak bergetar ketakutan. Kini semburat merah di wajahnya perlahan menghilang, menatapku tanpa ekspresi.

"Kemarikan" ucapnya ketus, menjulurkan tangannya di hadapanku.

Aku mendongak pelan, menatap matanya yang sedang melihat ke arah kalung yang sedang ku genggam. Membuatku reflek mengeratkan genggamanku pada kalung tersebut.

Sooyoung unnie mendengus. "Cepat kemarikan sebelum aku mengusirmu ke luar"

"Eii.. Tidak perlu mengancam seperti itu pada anak kecil!" sambar Wendy unnie sebelum menguap dan lanjut menutup matanya.

"Diam, unnie! Tidak usah ikut campur!" bentak Sooyoung unnie, mengirimkan tatapan tajamnya kepada Wendy unnie yang sepertinya sudah kembali tertidur, tak peduli.

"Cepat kemarikan, aku tidak akan membuangnya!" lanjutnya dengan intonasi yang lebih rendah daripada sebelumnya, membuatku akhirnya memberikan kalung itu padanya.

Sooyoung unnie menerima kalung tersebut dan langsung membuka bagian gantungannya, menatap kembali fotoku bersama eomma itu. Ia berjalan menuju sofa lantas melemparkan bantal tepat di wajah Wendy unnie.

"Unnie, bangun! Kamu harus mengantarku untuk memulangkan anak nakal ini pada eommanya!" teriaknya.

Aku membulatkan mata, bingung antara senang atau sedih. Senang karena eonnie mau membantuku mencari eomma dan sedih karena sepertinya Sooyoung unnie benar-benar ingin mengusirku dari apartement miliknya. Jika eomma tak mau menemuiku bagaimana? Apakah aku harus hidup sendiri di jalanan mulai hari ini?

BIRTHDAY : JOYERENETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang