"Sebentar lagi salju."
Sakura menoleh, menatap Alana yang berdiri memunggungi sembari menyentuhkan telapak tangan ke jendela. Wanita itu mendesah, bibirnya mengeluarkan asap yang berembun.
"Aku teringat sesuatu di bulan itu," lirihnya lagi.
Malam ini dirinya tidak akan kembali ke rumah. Ayahnya tidak menjawab panggilan pasca dia mengirimkan pesan bahwa tidak akan pulang dan menginap di hotel. Sakura hanya tidak mau pria malang itu menonton dirinya kacau.
"Tidak ada kenangan bagus di saat salju turun," tandas Sakura dingin. "Kau saja. Aku tidak memilikinya."
"Kau yakin? Kurasa kau hanya berusaha melupakan kenangan buruk."
Sakura menipiskan bibir, bungkam dan tidak lagi mau bersuara. "Yah, mungkin saja."
"Jika Sara hamil, apa Yahiko pelakunya? Ayah dari bayi yang dikandung wanita itu?"
Alana berbalik, mendengus kasar dengan celaan. "Kau memikirkannya? Untuk apa mengurus masalah orang lain?"
"Aku hanya bertanya," keluhnya.
Wanita itu memutar mata bosan. "Kau masih peduli. Percuma saja reputasi itu terbangun dari dirimu yang luar biasa karena kau masih tidak bisa berpaling. Apa artinya? Gagal move on."
"Susah senang bersama?" Sakura mendesis, mencengkeram gelas alkohol lebih keras. "Omong kosong macam apa itu? Aku sudah muak."
Memahami perasaan yang dideritanya tak lantas membuat Alana mendukung Sakura untuk terus berlarut-larut dalam kesedihan. Perasaannya terlanjur besar pada Yahiko dan seolah tidak ada lagi yang mampu menelusup masuk ke dalam relung hatinya.
"Kencan buta?"
Kepala itu dengan cepat menggeleng. "Tidak, terima kasih. Mereka akan melepasku karena sakit hati."
"Kau benar." Alana tertawa kaku.
"Kita berdua sama-sama tahu bahwa Yahiko pria yang jahat," sambung Alana datar. "Dia merasa tidak percaya diri bersamamu itu karena latar belakang keluargamu. Lantas, apa bedanya dengan Sara? Perempuan itu juga terobsesi memiliki bintang."
Sakura mendesah, menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa tanpa ekspresi. Bayangan masa lalu hadir, memberi kenangan baik dan buruk ketika mereka bersama. Andai saja dia tidak mengenal pria itu, masa depannya tidak akan lagi sama.
"Dia bukan orang jahat," tukas Sakura lirih dan Alana bungkam. "Yahiko memiliki alasan tersendiri melepasku. Kau tahu, dia selalu memilikinya."
"Kau masih percaya?" ulang Alana getir.
"Kau mencintai Sasori sedalam itu, apa bedanya?" tanya Sakura kembali. "Di saat Sasori tidak bersamamu, menjalani hubungan dengan perempuan lain dan kau berusaha untuk terlihat ada di sana."
Alana yang kali ini terpaku, menatap mata basah Sakura dengan pahit. "Kau benar," bisiknya.
"Yahiko berhasil meraih mimpinya berkat dirimu dan bukan Sara," lanjut Alana mengalihkan topik. Sakura tidak lagi kuasa menatap matanya lebih lama. "Ini semua karenamu dan perjuanganmu. Yahiko tidak akan bisa melupakan itu selamanya."
Sakura bangun dari sofa, mengusap wajahnya dengan tangan gemetar setelah dia melihat Alana menyesali ucapannya. "Dia tidak akan pernah lupa."
Kemudian berlalu masuk ke kamar mandi untuk menyendiri. Mengunci pintu terlalu rapat, menatap kosong pada langit yang hampa dan terdiam. Ini saatnya untuk merenung, waktu yang tepat.
Kedua matanya sudah berair sedari tadi dan Sakura masih mampu menahannya. Alana menggali ingatan itu terlalu jauh, hal-hal kecil yang seharusnya sudah Sakura lupakan sejak dulu. Kini yang tersisa hanya kenangan, tidak ada lagi. Sosoknya telah pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vigilante Shit
FanfictionSemula, ini karena ide konyol sahabatnya yang meminta agar dirinya menjadi pacar sewaan dengan nominal murah, tetapi bisa ditawar. Alasan klasik; karena dia sedang BU alias butuh uang. Sayangnya, partner yang menjadi si penyewa sama sekali tidak se...