3 - Damn

1 0 0
                                    

🦋🦋🦋🦋

7.30

Drrttt.... Drrttt....

Handphone Zeta terus bergetar di atas nakas tempat tidur saat yang empunya baru saja bangun dari tidurnya. Ia mengucek kedua matanya lalu mengambil benda yang berisik itu.

Kedua mata Zeta langsung membelalak begitu ia membaca nama yang tertera di layar handphone nya. Pak Vino. Ia merupakan kepala divisi Zeta yang terkenal tegas dan perfeksionis dalam kerjaan. Semua karyawan dibawah perintahnya pasti pernah merasakan bagaimana pekerjaannya harus melalui beberapa kali revisi untuk memenuhi kriteria perfect dari Pak Vino.

Dan yang paling menyebalkan bagi Zeta dan karyawan yang lainnya adalah ia harus siap kapanpun itu kalau ada telpon dari beliau. Tidak peduli malam-siang, jam kerja atau bukan, sedang santai atau tidak, yang jelas pasti kalau ada kerjaan yang menurutnya kurang sempurna walaupun dirasa sudah cukup Zeta harus siap mendengarkan ocehannya.

Sama seperti kali ini, belum masuk jam kerja namun Zeta harus bersabar mendengarkan ocehan Pak Vino yang tidak ada hentinya.

"Baik pak akan saya revisi setibanya saya di kantor nanti" Zeta berusaha tersenyum ramah walaupun sebenarnya tidak terlihat dari sebrang telpon, tapi itu refleks saja.

"Tidak bisa! Saya minta perbaiki sekarang juga.... ---"

"Tapi pak.....?"

Belum sempat Zeta membantah dan membujuknya lagi, Pak Vino sudah mematikan telponnya. Tidak ada yang bisa dibantah lagi. Zeta menghela napas panjang. Ia melihat ke arah cermin nampak wajah kusut dan rambutnya masih berantakan, ia keburu kesal.

Situasi seperti ini sangat menyebalkan bagi Zeta tapi apa boleh buat, ini bukan pertama kalinya tapi tetap saja ini membuat Zeta menggerutu tak henti-hentinya.

"Habis ini langsung resign" katanya sesaat setelah membereskan pekerjaannya, hal itu sering keluar dari mulutnya namun tak pernah ia lakukan. Karena saat sadar itu hanyalah gertakan semata, siapa juga yang mau resign kalau keadaan ekonomi dunia yang lagi kalut dan mencari pekerjaan itu ga semudah yang dibayangkan.

Zeta hanya tersenyum kecut.

🦋🦋🦋🦋

Langit senja sudah terlihat menampakan dirinya diantara gedung-gedung pencakar langit tengah kota, jam dinding sudah menunjukkan pukul 17.10, Zeta merapikan meja kerja nya yang cukup berantakan itu dan bergegas meninggalkannya.

Saatnya pulang.

Angin berhembus cukup kencang begitu Zeta keluar dari gedung kantornya, ia berjalan kaki menuju kedai jajanan langganan yang rasanya akan cukup untuk menahan perutnya yang sudah lapar. Jarak ke apartemennya cukup jauh jadi ia tidak mau jika di jalan nanti ia pingsan.

Sepuluh menit berjalan kaki, Zeta masuk ke kedai bakmi kesukaannya. Disana ia bertemu dengan sahabatnya yang sudah janjian sebelumnya. Wilo.

"Wilooo~ cakep amat buset" Zeta berlari kecil menghampiri sahabatnya itu dan langsung memeluknya tanpa ragu. Ya walaupun mereka sahabat bukan berarti mereka bisa bertemu setiap hari, Zeta dan Wilo sama-sama sibuk dengan kegiatannya namun mereka selalu meluangkan waktu untuk bertemu. Entah itu dua minggu sekali atau sebulan sekali.


Wilo adalah sahabat satu-satunya Zeta yang sudah Zeta anggap sebagai keluarga. Zeta tidak punya sahabat lain selain Wilo, sifat Zeta yang pemalu dan tidak gampang akrab dengan orang baru membuat Zeta seakan menutup diri. Ia memiliki teman di kantor yang sudah cukup akrab, namun dalam penilaian Zeta mereka hanya sebatas rekan kerja karena menurutnya menganggap seseorang sebagai sahabat itu perlu waktu yang cukup lama dan Zeta tidak mau kecewa dengan title sahabat itu.

Berbanding terbalik dengan Wilo yang merupakan seseorang yang gampang menambah teman baru istilahnya adalah social butterfly. Temannya banyak dimana-mana, tapi tetap yang selalu diprioritaskan olehnya adalah Zeta. Karena mereka memang bak kembar identik yang tidak bisa dipisahkan.

"Ta, lo masih inget Malvin ga?" Tanya Wilo disela-sela menyeruput mie kesukaannya.

Zeta terdiam sejenak, kenapa tiba-tiba Malvin?

"Malvin? Masih..."

"Semalem dia nembak gue Ta" Wilo berhenti menyeruput mie nya kemudian menggoyang-goyangkan lengan Zeta dengan ekspresi senang di wajahnya.

Zeta POV


DEG


Gue merasakan jantung gue kayaknya berhenti sejenak. Mata gue tiba-tiba ga fokus dan gue merasakan sesuatu yang menggerak-gerakkan lengan gue.

"Semalem dia nembak gue Ta"

Gue masih mencoba mencerna apa yang barusan Wilo bilang, tapi gue liat dia seneng banget. Mereka pacaran? Deketnya kapan? Kenapa Wilo ga pernah cerita ke gue? Kenapa gue ga tau?

"Hah?" Cuma itu respon yang keluar dari mulut gue, gue ga tau lagi harus gimana gue juga bingung.

"Iya Ta, semalem gue ditembak sama Malvin" Lagi-lagi raut wajah bahagia gue liat dari wajah Wilo.

"Mati dong haha"

"Zetaaaa....."

Gue mencoba mendengarkan sahabat gue ini cerita dengan seksama, Wilo cerita kalau Malvin udah deketin dia dari dua bulan yang lalu pas Wilo ga lama putus dari pacarnya. Malvin juga sering ngajak Wilo ngedate layaknya orang yang pdkt, dan puncaknya semalem mereka jadian alias mereka berdua resmi dengan status pacaran. Wilo belum cerita ke gue karena dia ga mau gue ngasihanin dia kalau semisal Malvin cuma iseng. Karena dia trauma gue cengcengin kalau di php in. Haha.

Okay.

Setelahnya gue hanya bisa tersenyum, sahabat gue lagi bahagia ga mungkin dong gue ceritain kejadian waktu Malvin jemput gue. Bukan hal penting dan bukan saatnya juga, karena mungkin hari itu memang kebetulan aja. Gue anggap begitu biar gue ga kepikiran, gue ga mau merusak suasana hati Wilo. Gue doain mereka yang terbaik karena gue akui mereka berdua cantik dan tampan, dua-duanya orang baik intinya mereka berdua serasi.

Tapi...

MALVIN BUAYA ANJIRRRRRRR, MAKSUD LO KEMARIN JEMPUT GUE APAAN KALAU LO LAGI DEKET SAMA SAHABAT GUE. LO GA TAU APA GUE SAHABATAN SAMA PACAR LO
ITUUUU BRENGSEK.......

KAGAK JADI DAH GUE BALES BUDI SAMA LO


MALVIN BODOH.
GUE LEBIH BODOH.

Ice CreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang