Rasa sakit yang luar biasa pada kepala bagian belakang membuat Alvan bangun dari pingsannya, tapi dia hanya bisa membuka mata kirinya. Dia mencoba berteriak kencang saat merasakan sakit pada mata kanannya, tapi nihil. Mulutnya disumpal oleh kain, tubuhnya lemas saat melihat matanya sendiri menggelinding bak bola di tanah.
Darah mengalir keluar dari mata kanannya yang tertutup, rasa sakit di kepala belakangnya sangat menyiksa, terlebih ditambah dengan matanya yang dicongkel.
Nafasnya memburu, panik menyerang, dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya karena diikat di sebuah kursi. Kepalanya menoleh ke segala arah, berharap seseorang datang menyelamatkannya. Tapi itu tidak mungkin.
“Oh, ternyata udah bangun.”
Sebuah suara membuat Alvan sontak menoleh ke sumber suara, rambutnya yang sedikit panjang menutupi wajahnya. Dia kesulitan untuk melihat siapa sosok di depannya, selain terhalang oleh rambutnya, matanya juga buram karena darahnya sendiri.
“Sayang banget, seharusnya tadi gue nyongkelnya pas lo masih sadar, biar gue denger suara lo yang menyedihkan itu.” ucapnya dengan nada mengejek, lalu mengambil mata yang tergeletak di tanah.
Alvan memberontak, dia menatap tajam orang di depannya menggumankan mata kirinya. Tapi aksinya itu justru mengundang tawa geli dari orang tersebut, dia mainkan bola mata itu layaknya sebuah bola pingpong.
“Lo sama temen-temen lo itu pantes mati, kalian semua cuma ngundang nasib sial ke orang terdekat kalian. Semenjak hari itu, gue kehilangan nyokap sama adik perempuan gue.” ucapnya lalu menarik sebuah kursi dan mendudukinya, dia menatap Alvan yang melihatnya dengan tatapan bingung.
Pemuda dengan potongan wolfcut itu menatap tajam bercampur kesal, karena kebodohan orang itu yang menyumpal mulutnya dan membuatnya tidak bisa berbicara.
“Aduh, tololnya.”
Orang itu tertawa pelan lalu menggeleng pelan dan menarik kain yang menyumpal mulut Alvan, dan kembali duduk di kursinya.
“Duh, lo itu ngomong apa sih, njing!? Jelasin kek, lo kira IQ gue setara sama Albert Einstein!?” bentaknya kesal, dia jelas kesal karena tidak mengerti apa yang sedang di katakan oleh orang di hadapannya itu.
“Gak usah pura-pura pikun deh, berhenti sok bego! Sebelum gue potong semua jari lo,” ancamnya dan mengepalkan kedua tangannya.
Melihat reaksi dari orang didepannya, membuat senyum sinis mengembang di wajah Alvan. Kalau masalah memprovokasi, Alvan dan Reza jagonya.
“Lah, kok marah? Hamil, ya?” celetuk Alvan dan dihadiahi pukulan telak di rahangnya.
Darah terciprat ke tanah, tapi hal itu tidak membuat Alvan takut. Justru semakin gencar untuk memprovokasi orang di depannya.
Dia bisa merasakan dengan jelas bahwa nafas orang itu yang terengah-engah, dan raut wajahnya terukir amarah dan kebencian yang amat mendalam, entah apa yang membuat orang itu sangat membencinya dan teman-temannya.
Ia batuk dan meludahkan darah ke tanah, tapi kerah hoodienya di tarik, dan membuatnya sedikit terangkat dari kursi tapi tertahan karena tali yang mengikat tubuh di kursi.
“Berhenti provokasi, sebelum gue buat lo nyesel!” bentaknya dan semakin mengencangkan cengkraman tangannya pada kerah hoodie milik Alvan.
“Aku tatut~”
Ejekan itu membuat orang tersebut naik pitam, tanpa ragu dia menghujani pukulan kepada Alvan. Membuat kursi tempat pemuda itu jatuh ke belakang, dan kepala bagian belakangnya yang sedari awal sudah terluka semakin sakit karena terbentur dengan tanah.
Melihat Alvan yang meringis, membuatnya tertawa puas. Dia masih berdiri, buku-buku jarinya kotor karena darah, dia memandang remeh kearah Alvan.
“Ow, it hurts, I hate pain.” celetuk Alvan sambil menatap langit-langit ruangan, hanya ada satu penerangan yaitu lampu di tengah ruangan. Itupun berkedip dan redup.
“Oh, gue bisa nambah rasa sakit kalau lo mau,” ujarnya blak-blakan dan matanya masih terpaku pada sosok Alvan.
“Dih, si goblog. Siapa juga yang mau nambah, di kira nambah bon.” sahut Alvan dan melirik orang itu, raut wajah pemuda itu benar-benar membuat siapapun geram dan gatal ingin memukulnya.
“Tanpa di minta, gue bakal suka rela nambah rasa sakit lo.”
Setelah mengatakan itu dia langsung berjalan pergi, meninggalkan Alvan sendirian di dalam ruangan yang remang-remang dan sunyi.
“Lah, si goblog! Woi! Setidaknya benerin kek posisi gue!” teriak Alvan kesal, tapi tidak ada sahutan dan hanya suara pintu yang tertutup dan di kunci.
Hening. Pemuda itu tenggelam di pikirannya, tapi hanya ada satu yang membuatnya berfikir keras. Dia merasa familiar dengan suara dan wajahnya, meskipun penglihatannya tidak terlalu jelas, tapi dia yakin pernah melihat dan mendengar suara orang itu. Tapi di mana?
“Duh, sakit banget, njing! Tapi, siapa ya dia? Suara sama mukanya familiar, tapi ketemu dimana? Kok gue gak inget, ya.”
Alvan hanya diam menatap langit-langit, berharap otaknya bisa mengingat kembali di mana dia pernah bertemu dengan orang itu.
Suara gergaji mesin dan pintu yang dibuka membuat bulu kuduk Alvan berdiri, hawa dingin menjalar di punggungnya. Dia menatap ngeri ke arah pintu, dimana orang itu berdiri di ambang pintu. Di tangan kirinya memegang sebuah gergaji mesin yang sudah di hidupkan.
“Gimana? Udah siap buat rasa sakit yang selanjutnya?”
────────⊹⊱✫⊰⊹────────
.
.
.
➤; ᴀʙᴏᴜᴛ ᴄʜᴀʀᴀᴄᴛᴇʀ.↶
.
.
「 ARGHA ADI PRATAMA 」Name : Argha Adi Pratama
Birth Date : 12th December
Height : 178 cm
Hair : Black Natural
Likes : Himself, cat, music, novel.
Dislikes : Himself.
.
.
Fun fact about him :- Tinggal sendirian di rumah Mendiang
Neneknya.
- Bestian sama Jino dari sekolah dasar.
- Dia punya trust issues sama family issues.
- Dia dua kali hampir meninggal karena
dibunuh sama ibunya.
- Bisa dibilang, Argha itu anak yang gak
diinginkan :D.
.Sebenernya pengen mingdep di lanjutin, tapi gatel pengen nulis, mumpung ada ide T^T
Cerita ini juga gak susah-susah amat plotnya, mudah kok untuk di tebak ;)Jangan lupa makan, jaga kesehatan, sama jangan lupa senyum -!♡
Have a good day -!♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
LIE or DIE | 00 Line
Horor❝ Niat healing pulangnya jadi sinting. ❞ - Start : 18 November 2022 End : [ON GOING]