Chapter 2 : Rasi si Gadis Kecil

13 7 1
                                    


"...,"

"Rei ...,"

"... ya?"

Rasi menatapku. Matanya berkaca-kaca.

Hah ... apa yang sudah kulakukan?

"Rasi, kau tidak apa-apa?"

Dia mengalihkan perhatian, tapi tubuhnya gemetar dan sedikit mengeluarkan air mata. Wajahnya agak cemberut.

"Hei, Rasi. Katakanlah sesuatu,"

"Hah?  Apa?" ucapnya sedikit terisak.

Gemetar tubuhnya semakin hebat,  "Sudah, a–aku tidak apa-apa," ucapnya mencoba pergi,

"Rei, menyingkirlah." ucapnya menahan tangis.

Aku bingung harus apa, aku baru saja membuat orang yang pertama kali kutemui menangis. Apalagi seorang gadis, dan sepertinya dia gadis yang baik. Siapa yang tega meninggalkan seorang gadis menangis?

Tidak ada jalan lain, aku harus menebusnya. Akan kuhibur Rasi sampai dia baikan.

"Rasi, maaf ya?"

"Hm?" ucapnya melihat ke arahku dan kembali membalikkan wajahnya tak peduli.

Diabaikan. Secepat itu, kah, perubahan suasana hatinya?

"Rei setelah ini, ingin pergi ke mana?" tanyanya dingin.

"Hm?" sifat yang jarang ditemui.

Mengabaikan sesuatu, melupakannya, membuang semua perasaan, pikiran jenuh, pasti ini Alexithymia.

"Apakah sifatmu sudah seperti ini dari kecil?"

"...,"

"Hei, aku serius,"

"Diam!" teriaknya mungkin menangis.
Situasi ini terlalu rumit, satu-satunya jalan hanyalah menghubungkan isi hati kami. Jika aku menyerah di sini, itu akan buruk bagi kami untuk ke depannya.

"Rasi,"

"Apa?" ucapnya dingin.
Belum apa-apa, sudah seperti ini. Memang sulit menjalin hubungan dengan orang lain.

"Hufft, kamu ada masalah denganku?"

"Apakah itu adalah kata yang orang katakan setelah melakukan hal seperti tadi?"

"Tadi ...." pemikirannya sedikit terbuka, artinya Rasi tidak benar-benar marah kepadaku.

Aku mengakui diriku salah. Tidak boleh mencium pipi seorang gadis sembarangan, mengerti diriku?

"Rasi, maaf,"

"...." Rasi terdiam.

Aku lihat wajahnya yang telah berubah menjadi dingin, sambil sesekali mengalihkan pandangan dari diriku.

"Desaku berada di dekat sini, ayo jalan." ucapnya cuek.

Perasaan tidak enak masih mengganjal di hatiku, tapi abaikan saja dulu. Rasi sepertinya masih membutuhkan waktu untuk menenangkan dirinya.

***

"Ini adalah rumahku, silahkan gunakan sesukamu,"

"Rasi,"

"Hm?"

"Maaf!" ucapku menundukkan kepala.
Rasi terdiam, dia sedikit membuka mulutnya, kemudian tertawa tanpa sebab.

"Pfft, sudah jangan dipikirkan lagi,"

"Tapi–"

"Sudah, jangan dipikirkan!" ucapnya tersenyum.

Tapi meski pun dia berkata seperti itu, masih ada yang mengganjal di hatiku. Itu menggangguku, dan sepertinya mengganggu dirinya juga.

"Aku tidak bisa melupakannya begitu saja,"

"Sudahlah, lupakan,"

"Tidak ak—"

"LUPAKAN!" ucapnya berteriak, emosinya meletup keluar.
Perasaannya bergejolak, emosi yang berusaha Rasi pendam menguap keluar. Hatinya sudah 'tak kuat menahan banyak hal.
Pintu perlahan tertutup, tertiup angin. Deritannya mengisi kesunyian, sebelum suara angin berhembus.

Tempat ini sederhana, sebuah gubuk dengan isi yang minim, namun cukup baik dan dapat kubilang lebih bagus ketimbang tempat mewah. Ya, aku tidak terlalu suka tempat mewah.

"Hei, Rasi. Apa yang membuatmu gelisah?"

Mendengar itu, Rasi mengeram. "Apakah masih perlu bertanya?!"

Hm, sepertinya ada masalah dengan diri sendiri. Bukan, aku yang bermasalah.

"Kau melakukan itu, tapi tidak peduli kepadaku!"

"!"

"Bahkan saat aku berbicara di hadapanmu, pikiranmu pergi ke hal yang lain!"

Menunduk, "Itu benar ...,"

"Lihat! Kamu melakukannya lagi!" ucap Rasi mengangkat kedua pipiku.

"Pokoknya setiap hal yang membuatmu berpikir," meneteskan air mata, "jangan kau pikirkan sendiri!"

Rasi meratapi dirinya menangis. Hatinya sungguh pilu.
"Cukup katakan itu kepadaku, karena hal itu membuatku kepikiran juga ...,"

"Begitu, ya ... maaf."

Aku memeluknya, dia membalas pelukanku. Raut wajahnya sangat sedih, diikuti bersama dengan beberapa tangis dan isakan.

***

3rd Pov

Hari mulai gelap, cahaya petang menembus jendela, yang sudah retak. Tempat ini mirip seperti sudah ditinggalkan, tapi sebenarnya masih layak huni. Mungkin karena kebersihannya yang dijaga.
Di sebuah ruangan, dengan kasur yang kasar tak begitu empuk, seorang bocah laki-laki dengan gadis kecil sedang tertidur pulas.
Kini, hari sudah benar-benar gelap. Cahaya matahari pudar digantikan oleh rembulan. Tiga bulan yang indah menyinari kamar dari langit malam.

Jari-jemari mungilnya saling menggapai, sebelum akhirnya bersatu. Mereka tanpa sadar saling menggengam, menghadap satu sama lain, dan saling menggapai. Sehingga terjadilah sebuah pelukan.
Sebuah pelukan hangat, yang lebih hangat daripada kasih sayang orang tua yang membuangnya, jauh lebih hangat daripada latihan kejam bibinya, dan jauh lebih hangat dibandingkan kasih sayang dengan dirinya sendiri.

Anak ini ... spesial. Mereka saling menyayangi. Dia istimewa satu sama lain.

Sebuah perasaan tumbuh, yang awalnya tragedi, ketidaksengajaan, masalah, dan berakhir dengan kasih sayang. Tapi, benarkah hanya sampai di situ?

Rasi menggerakkan tubuhnya. Membuka kelopak mata yang membuatnya terbangun dari tidur. Dia duduk kembali merasakan kantuk karena telah terjaga seharian.

Sebelum terlelap, dia mencium kening Rei dan menyatukan dahinya. "Ini balasanku untuk tadi siang."

Kemudian, Rasi kembali tertidur pulas. Sangat nyenyak, hingga tak menyadari bibirnya menyentuh pipi Rei. Rei yang sedikit membuka matanya terbangun karena hal tersebut, merasa malu kemudian mengabaikan itu dan kembali melanjutkan tidurnya. Namun, semua tidak berjalan mulus.

Rei bergeser sedikit, dan tanpa sengaja wajah Rasi terturun dan bibirnya terjatuh. Dan terjadilah, ciuman pertama Rei di malam hari. Ciuman pertama yang tidak disadari oleh siapa pun, kecuali seekor burung hantu yang hinggap di sebuah batang pohon.

Burung itu terbang, menyisakan kesunyian dan ketenangan di tempat itu. Membuat tidurnya semakin pulas.


Rune Village : Amnesia AriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang