Chapter 16 : Jiwa yang Tenggelam

17 5 3
                                    


"Sunyi ... sama sekali tidak ada suara."

"Ayah, paman, kakek, aku takut ...."

Menepuk pipi, "Tidak boleh! Hanya aku harapan satu-satunya! Aku tidak boleh menyerah di sini!"

Luna menyelami dimensi yang bewarna merah gelap. Seperti merah tua yang dicampur aduk dengan warna hitam tidak merata.

Di sana, banyak jiwa-jiwa tersesat dan dikutuk yang terjebak di dalamnya. Entah yang bersalah, atau tidak bersalah. Semuanya terlihat menyedihkan.

Di belakangnya, kegelapan mengejar. Dia segera berenang di lautan dimensi terkutuk itu. Menemui seseorang yang dicari-cari.

Orang itu bukanlah orang yang terkutuk dan mengutuk.

Orang itu bukanlah orang yang tersesat dan disesatkan.

Orang itu bukanlah orang yang terjebak dan menjebak.

Orang itu adalah ....

***

Berjam-jam Luna menyebarangi kegelapan, dia menuju sebuah bayangan. Terlihat bayangan seorang gadis terbaring di permukaan.

Luna mendekati bayangan itu. Dia mendarat dan melangkah. Mendekat, mendekat, semakin mendekat.

Bayangan itu tiba-tiba berubah menjadi seorang gadis yang terdiam. Disinari cahaya dari belakangnya.

Bagaikan bayangan seseorang yang tertidur, membawa sebuah benda yang disenderkan di pundak yang tidak diketahui namanya.

Bayangan rintik-rintik hujan turun. Menerpa bayangan gadis itu.

Gadis itu terlihat panik, dan segera memegang gagang benda itu dengan kedua tangannya. Sekejap, sebuah bayangan berbentuk bundar menutupi kepala gadis itu, dengan sebuah tongkat yang menopangnya.

Bayangan gadis itu kembali menaruh benda itu dipundak, dan berjalan.

Luna mengikuti bayangan itu. Bukan menghadap, tetapi bergerak menyamping.

Bayangan itu berjalan di tengah hujan. Angin kencang berhembus.

Gadis itu kini lebih panik, dan menahan benda yang digunakannya untuk berteduh sekuat tenaga.

Luna yang melihat itu, merasakan hal yang bayangan itu rasakan.

Payung.

Itulah nama benda yang dipegangnya. Entah kenapa, Luna mengetahui nama benda itu.

Petir menyambar, payung gadis itu lepas. Dia jatuh, tidak berdaya.

Melewati Luna, payung tersebut berwujud nyata dengan Luna yang terduduk di tanah datar nan tandus. Hujan membasahi tubuhnya.

Dengan tubuh yang basah kuyup, Luna merasa takut, panik, dan gelisah. Dia masih menatap bayangan itu, yang kini berhadapan dengannya.

Kepada siapa dan untuk apa, bayangan itu berhadapan seperti itu?

Butuh beberapa waktu sebelum dia dapat mencernamya. Dan akhirnya, Luna tersadar. Bahwa—

—bayangan itu adalah dirinya.

***

"Upacaranya sudah dimulai ...."

"Rei, ada apa?"

"Hm? Tidak, tidak apa-apa."

Rasi menatapnya sipit.

"Di sini kosong, ya ...," Aria mencoba mengalihkan pembicaraan yang mengintimidasi itu.

"Huh ... kau benar. Apa ini tempatnya?"

"Bukannya kau sudah tahu?" kali ini Rei yang menatap Rasi sipit.

"Ihh," mengerang, "awas kau, Rei!"

"Haha, kejar aku kalai bisa!" tawa Rei mengejek.

"Kakak ini ...," Aria hanya dapat tersenyum konyol.

"Memang yang terbaik!"

Oh, dia melompat ke arah Rei.

Rei yang tidak menduganya, tidak sempat merespon. "Huaah!"

Bukk!

"Yey! Aria menang!" jawab Aria kegirangan.

"A—Aduh ...," Rei tersenyum konyol, berkedut.

"Aria!" panggil Rasi memegang kedua pinggangnya dengan wajah marah.

Mengacungkan jempol, "Kerja bagus!" mengedipkan sebelah mata.

"Huh ...."

"Tidak kusangka dia juga konyol. Kalian semua memang konyol, haha."

"Diamlah! Atau dia akan mendengarmu!"

"Heh, tidak mungkin."

"Diam!"

"...."

Rusha ingin membalas, tapi dia sadar percuma saja berbicara dengan orang konyol ini.

Tiba-tiba tanah bergetar. Lantai batu retak, sekumpulan bongkahan tanah keluar dari batu. Dilapisi lumut, membentuk sebuah makhluk.

Memiliki tubuh besar, matanya merah menyala. "Golem."

"Jadi dia penjaga sebelum kita menemui sang iblis, ya?" ucap Rasi menyiapkan kuda-kuda.

"Ya, begitulah," Rei mengeluarkan sebuah tombak.

Aria melihat mereka berdua, heran. "Hm? Bukannya Kak Rasi pengguna sihir dan Kak Rei pengguna pedang?"

"Ya, itu benar," Rasi menarik keluar sebuah tombak.

"Aku mengerti Kak Rasi bisa ilmu bela diri, Kak Rei juga. Tapi, aku tidak tahu kalian berdua bisa menggunakan tombak."

Aria terlihat pusing. Rasi dan Rei saling menatap bingung.

Tersenyum, bersamaan memandang Aria, ""Yah, dunia ini luas.""

Menatap ke depan, "Kamu tidak akan tahu apa yang selanjutnya akan kami lakukan," melesat ke depan.

Segera sekejap mata, mereka kembali ke tempat awal berada. Dengan tombak penuh tanah yang dikibaskan.

Golem di belakangnya telah lumpuh. Dengan lubang di kedua matanya.

"Serap sihirnya dan hancur," menyimpan tombaknya ke penyimpanan dimensi.

"Itulah cara kami," membuang tombaknya begitu saja.

Aria menatap mereka berdua tidak percaya, "H—Hebat ...."

Rasi tersenyum.

Seketika, "Hei, Rei! Mengapa kau membuangnya?!" dia marah tentang perilaku Rei.

"Hehe, maaf-maaf."

"Kamu membuang-buang uang, tahu!"

"Sudah kubilang maaf, 'kan?!"

"Minta maaflah yang benar!"

"Itu sudah benar!"

Menunjuk ke arah tombak, "Itu tidak benar!"

Melihat ke arah tombak, menatap kembali ke Rasi. "Ah, berisik! Kamu mau bertarung?"

"Ayo, siapa takut!"

"He—"

""Diam!""

Gemetaran tersenyum, "Ug—Uhm ...."

"Terlalu mengesankan. Sepertinya aku tidak bisa menghentikan mereka," Aria tersenyum pasrah.

***

Di suatu tempat ....

Seorang gadis berambut hitam menatap sinis kegelapan, "Ini dia ...."


Bersambung ...

Rune Village : Amnesia AriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang