3. his scent

20 5 4
                                    

Waktu itu akhir pekan, dan sialnya hujan turun dengan sangat deras. Papa dan Mama terjebak di rumah nenek. Sementara Edgar pergi keluar sejak gue baru bangun tidur. Gue tidak tahu pasti dia kemana, tapi Edgar menyebut nama Ode, sahabat dekatnya sesama gamers. Gue rasa mereka sedang bermain di warnet atau di basement Ode bersama dua temannya yang lain.

Gue bosan. Sekarang sabtu siang dan di luar sangatlah gelap. Cuaca seperti menjebak gue agar tidak kemana-mana. Padahal satu minggu terakhir telah gue habiskan dengan mengerjakan deadline dan juga presentasi-presentasi mengerikan.

Notifikasi tiba-tiba masuk ke ponsel. Gue melihatnya malas. Namun, seperti telah disirami air es, gue bangkit dari kasur dan langsung merasa segar.

Harry mengirimi pesan!

Harry
hujan deres enaknya
makan mie nggak sih?

Lulu
masakin

Harry
mie seduh pake cup aja
gue juga males

Lulu
seduhin

Harry
yaudah sini

Lulu
my place aja gmn?

Harry
gue udah nyalain kompor, luluu

Lulu
fine
omw

Tentu saja gue nggak langsung capcus ke unitnya Harry. Gue berlari ke kamar mandi buat cuci muka, gosok gigi, lalu memoleskan lipbalm dan pelembab. Gue mau tampak segar, meski belum mandi. Semprot parfum sedikit, lalu gue menuju unitnya yang berjarak dua pintu dari unit gue.

Gue mengetuk pintu yang langsung Ia bukakan.

"Masuk, tuan putri."

"Dih, tumben banget."

"Kan lo udah kayak tuan putri. Mie diseduhin, pintu dibukain. Kurang antek-antek sama penjaganya aja," katanya sambil tertawa.

Gue mengabaikan Harry lalu mengikutinya menuju meja makan. Unitnya sangat sepi, hanya ada dia di sini.

"Kalau lo berpikir, kemana abang-abang gue, mereka ada project ke luar kota. Udah cabut dari semalam. That's why gue sendiran." Gue mangut-mangut saja.

Orang tuanya nggak tinggal bareng Harry dan kedua abangnya. Setahu gue, hubungan mereka kurang baik. Harry juga nggak pernah membahas, jadi gue nggak enak buat tanya-tanya, kan? Takutnya Harry malah nggak nyaman.

"There you go." Harry memberi gue sepasang sumpit dan satu cup mie instan. Lalu kami makan diselimuti hening. Bukan hening yang menyiksa, kok. Tipikal diam yang nyaman.

Untuk sejenak yang terdengar hanya suara kami menghabiskan mie instan, berikut dengan suara hujan deras dan petir yang menyambar sesekali dari luar.

Jendela unit Harry tidak ditutupi tirai seperti gue, sehingga pemandangan di luar terlihat jelas. Biasanya, dari sini akan terlihat pemandangan kota dan gedung menjulang tinggi, karena unit kami berada di lantai delapan. Kini, yang tampak di luar sana hanya hujan deras dan kota yang berkabut tebal. Gelap sekali. Jika saja tak ada jam, mungkin gue percaya saja kalau ada yang bilang sekarang matahari baru terbenam.

"Udah selesai?" tanya Harry.

"Udah."

"Sini." Ia meminta cup mie milik gue lalu membuangnya ke tempat sampah. Harry tak lupa menuangkan air untuknya dan gue.

"Kenapa lihat ke luar terus?"

"Hujannya ganas banget."

"Iya, lagi badai juga."

"Gue kesal. Harusnya bisa main ke luar."

"Main di dalam aja, kan ada gue." Duh, terkadang gue pingin menyumpal mulut manisnya itu.

"Main apa?"

"Nggak tahu. Mau main nintendo?"

"Nggak, ah. Bosan." Jujur saja, gue bukan penggemar game, tidak seperti Harry dan juga Edgar. Mereka jadi akrab dengan cepat. Selain karena usia mereka yang haya berjarak dua tahun, mereka punya hobi yang sama. Makanya, Harry jadi senang main ke unit gue dan Edgar juga senang main ke unitnya Harry. Karena keakraban mereka, gue jadi ikutan dekat sama Harry.

Lebih dekat dari sekadar tetangga, lebih tepatnya. Sejak dua bulan tinggal di sini, setiap hari gue pasti bertemu Harry. Kami semakin dekat tiap harinya. Lalu rasa suka itu mulai ada tak tahu mulai dari mana.

"Gue mau cukuran bentar. Udah tumbuh lagi, nih." Harry nyeletuk tiba-tiba.

Gue memilih mengekor saat dia menuju wastafel. Harry sadar, Ia menatap gue heran, namun tidak pula berkata apapun.

"Merek shaving cream lo apa, sih?"

"Kenapa?" tanyanya waktu itu.

"Wanginya selalu enak." Harry terkekeh.

"Rahasia."

"Dih. Padahal kan gue suka. Nanti gue suruh Edgar dan Papa pakai merek yang sama."

"Nggak boleh. Cuman gue yang boleh pakai."

"Kok gitu?" tanya gue tak terima.

"Biar lo kalau cium wanginya cuman bisa inget gue."

Sialan. Gue sampai kehilangan kata-kata mendengar alasannya.

~ to be continued

Growing Up // Harry StylesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang