01. Kebahagiaan pertama

97 16 19
                                    

98 cambukan.
99 cambukan.
100 cambukan.

Setelah mendapat 100 cambukan tanpa henti, laki-laki berusia 17 tahun itu terkapar lemas di gudang. Tubuhnya penuh bekas berwarna merah. Ruangan yang minim cahaya itu menguarkan bau anyir darah menyengat. Tetesan darah tak henti-hentinya meluncur dari tubuh laki-laki berambut legam cokelat itu.

Wanita paruh baya dengan rambut kuncir kuda itu melayangkan satu cambukan lagi ke punggung seorang remaja yang diketahui ialah putranya. 101 cambukan sudah ia layangkan dalam waktu 20 menit, satu malam, pada putranya.

Setelah melayangkan beberapa cambukan ke putranya, wanita itu bergegas keluar dan mengunci gudang berbalut kayu rapuh itu.

Remaja 17 tahun itu mencoba berdiri tapi tak kuasa. Tenaganya sudah terkuras habis hanya untuk menahan cambukan dari ibunya. Ia telentang di lantai gudang dingin itu, menatap langit gudang dengan nanar. Satu tetes air mata berhasil lolos dari maniknya. Bayangan iblis yang mirip ibunya mendadak muncul di hadapannya. Nathan mengangkat tangannya--menutupi wajahnya--ketika bayangan mirip ibunya itu mengangkat cambuk besi dan langsung dihantamkan ke arahnya.

ARGH!

Nathan meraung dan tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah. Pelipisnya mencucurkan banyak keringat. Tangan kanannya mencubit pipinya. Sakit. Ia masih hidup.

Cuma mimpi, batinnya.

Laki-laki itu beranjak, lantas membuka jendela kamarnya. Semburat cahaya matahari langsung menerpa wajahnya. Udara pagi berhembus masuk dan menerpa kulit halusnya. Dia beralih ke almari balutan kayu jati di samping ranjangnya. Tunik hitam dan putih mendominasi. Dia meraih tunik hitam polos dan kembali menutup almarinya.

"Mungkin baju ini cocok untuk aku pakai ke rumah Paman dan Bibi nanti," ujarnya seraya duduk di sudut ranjang.

Suara ketukan pintu mengalihkannya. Dahinya mengernyit, penasaran. Ia merasa kalau cuma ada dirinya di bangunan megah ini. Orang tuanya pergi keluar kota untuk beberapa hari ke depan.

Dia meletakkan tunik hitam di atas ranjang dan bergegas membuka pintu kamarnya. Saat pintu terbuka, wanita tua dengan pakaian khas pedesaan menyambutnya dengan senyuman hangat yang ia torehkan.

"Selamat pagi, Den Nathan." Wanita tua itu berkata hangat pada Nathan.

Nathan menepuk dahinya--lupa jikalau keluarganya mempunyai ART yang tinggal satu atap. Nathan buru-buru menunduk hormat--kebiasaannya untuk menghormati yang lebih tua--seraya tersenyum hangat.

"Selamat pagi juga, Bibi Sri," respons Nathan ramah.

Wanita tua itu tersenyum sembari mengusap rambut legam Nathan. "Sudah, sudah, nunduknya. Itu ... Bibi sudah siapkan sarapan untuk Aden Nathan. Buru sarapan, nggih. Keburu dingin," ujar Sri.

Nathan berdiri tegap semula. Dia mengangguk, tanpa melepas senyuman dari wajahnya. Dia mengangkat tangannya, hormat.

"Siap, Bibi!"

Sri tertawa kecil. "Bibi masakin--"

"Ayam rica-rica. Betul, 'kan?" sela Nathan. Sri mengangguk kecil.

"Seratus buat, Den Nathan!"

Nathan tertawa lepas mendengar itu. Suara nada dering dari ponselnya tiba-tiba mengisi ruangannya. Dia berbalik, mengambil ponselnya di atas meja samping ranjang tidurnya, lalu menghadap ART-nya semula.

Sri mengangkat alisnya. "Siapa, Den?"

Nathan tak langsung menjawab, ia mendekat ke telinga Sri, membisikkan sesuatu.

[END + REVISI] Di Tanah Semarang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang