Ini hanya kisah sederhana dari Ali dan Nayzira. Tentang mimpi, teman-teman dan keluarganya yang selalu setia mendampingi. Tentang sesuatu yang paling berharga. Tentang patah dan tumbuh bersama. Tentang cinta dan ikhlas dalam waktu yang bersamaan.
. . . . . . .
Seorang gadis dengan mukena berwarna putih tengah melipat sejadah yang baru saja selesai ia pakai. Kemudian setelahnya, ia melepas mukena untuk diganti dengan hijab berwarna putih senada dengan gamisnya.
"Tumben Bapak belum pulang Jumatan. Biasanya juga dateng terakhir, pulang tetep paling awal," gumamnya.
Ia bercermin, membenarkan hijabnya.
"Wih ... bu haaji mau ke mana nih?" Dia terkekeh pelan, bertanya pada pantulannya dalam cermin.
Setelah itu, ia memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Tepat setelah pintu kamarnya tertutup sempurna, atensinya beralih pada suatu benda yang jatuh dari paku yang dipasang di tengah pintu. Benda itu adalah gantungan nama yang terbuat dari kayu.
"Nayzira Ahza Fauzia," ucapnya mengambil gantungan itu.
Nama gadis itu Nayzira. Anak bungsu dari Pak Zidan dan Bu Tia. Satu-satunya adik dari Hildan Ahza Fauza si aneh bin ajaib.Memiliki tingggi badan yang cukup tinggi untuk gadis seusianya. Dengan hidung proposonal, tidak mancung, tapi tidak pesek juga. Dia juga memiliki ris mata berwarna cokelat, dengan bulu mata lentik yang menambah keindahan matanya.
"Ck, Nay ... Nay ...," decihnya. Ia melihat gantungan nama yang temannya belikan dari pengrajin yang datang ke sekolahnya sewaktu SMP, kehilangan satu huruf i, karena setelah ia ambil dari lantai, huruf itu patah.
"Sekarang aku percaya, ucapan adalan do'a."
Nayzira kembali mengingat ucapan Hildan beberapa Minggu yang lalu.
"Kalau nutup pintu, pelan-pelan aja. Gak usah grasak-grusuk. Gantungan nama kamu jatuh terus tuh! Nanti ada huruf yang i jatuh terus patah, kamu mau nama kamu jadi Nayzira Ahza Fauza?"
Nayzira menggelengkan kepalanya pelan.
"Maaf ya, A. Nay beneran gak punya niat nyaingin nama Aa."
Belum sempat ia membenarkan gantungan pada tempatnya, sebuah teriakan berhasil membuat Nayzira mengundurkan niatnya.
"NENG!"
Nayzira menyimpan gantungannya, ia bergegas membuka pintu, karena ia tahu betul siapa sosok yang berteriak tadi.
Ceklek
"Wa'alaikumussalam," ucap laki-laki paruh baya ketika pintu terbuka sempurna.
"Bapak, harusnya assalamu'alaikum dulu," ujar Nayzira.
Jadi, laki-laki yang berteriak tadi adalah Bapak yang baru pulang dari masjid.
"Wa'alaikumussalam." Lagi-lagi Bapak mengucapkan kalimat yang sama. Membuat Nayzira mengerucutkan bibirnya.
"Bapak jawab salam kamu. Lagi pula menjawab salam hukumnya wajib kan?"
Nayzira hanya mengangguk, karena ucapan Bapak memang benar. Tapi maksudnya bukan seperti itu. Harusnya tadi Bapak ucap salam, bukan malah teriak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bertemu Jodoh Lewat Sandal Bapak [Jaemin]
Teen FictionAli tak pernah menyangka akan jatuh cinta pada anak dari laki-laki yang sandalnya tertukar dengannya. Bagaimana bisa hatinya luluh oleh gadis yang baru berusia 17 tahun? Memang benar apa yang dikatakan Hildan. "Kalau cinta sudah melekat, tai kucing...