Chapter 01. Mama, Papa, Aila, dan Kehangatan

9 1 0
                                    

Juli 2009

Pukul 17.00, warga komplek mulai berhenti melakukan aktivitas hari ini, jalan sana-sini, mengobrol dengan tetangganya, pulang kerja bawa kantong kresek dengan baju yang sudah lusuh, dan ibu-ibu yang mengangkat jemuran-malam ini pasti akan hujan.
Keluarga kecil yang tinggal di kontrakan bertingkat itu sedang asyik makan bakso, sampai kepedesan.
"Papa, besok-besok kalau pulang kerja bawa bakso lagi ya, soalnya enak banget," Anak kecil itu menyeruput kuah baksonya lagi.
"Besok kalau papa ada uang lebih, oke!"
"Oke, Pa."
Mereka kembali menyantap bakso dengan kuah pedas itu.

Tiba-tiba listrik mati begitu mereka sedang asyik makan. Di luar terdengar banyak ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak-anak yang berteriak karena terkejut, begitupun dengan Aila. Aila berteriak sambil memeluk Mama, "Mama, Aila takut. Aila mau peluk Mama". Mama melepaskan sendok yang sedari tadi dipegang kemudian beralih memeluk putrinya. Mama menenangkan, "Udah nggak papa, Ai, biar Papa nyalakan lilin dulu". Aila memeluk Mama erat.

Aila- nama lengkapnya Aila Putri. Sering dipanggil Ai, umurnya 7 tahun kurang 3 bulan. Rambutnya halus, lurus dan panjang. Aila termasuk anak tertinggi di komplek seusianya. Aila memiliki hidung yang mancung dan bibir yang cerah. Itu membuat ciri khas Aila di sana. 'Si hidung mancung' adalah sebutan ibu-ibu komplek untuk Aila.

Kembali tentang 'mati listrik'. Akhirnya Papa menyalakan sebuah lilin dan di taruh pada piring kecil-diletakkan di samping mereka makan.
"Udah, Ai, lilinnya udah Papa nyalain, sekarang baksonya dihabisin lagi, ayo," Papa mengambil mangkuk dan sendok milik Aila hendak menyuapinya.

"Enggak mau, Pa, Aila udah kenyang, Aila takut gelap," Jawab Aila serak sambil memeluk Mama lebih erat.

Papa meletakkan mangkuknya lagi.

"Beneran, nih, Aila nggak mau baksonya lagi, buat Papa aja gimana ya" Papa mencoba merayu.
"Beneran, serius, Aila nggak mau lagi, buat Papa aja itu baksonya" Bocah kecil itu menutup matanya dengan kedua tangan.

"Sudah lah, mas, kalo Aila emang udah nggak mau. Disimpen buat besok lagi aja"
"Oke, sayang."

Kata itu sudah membuat Mama tersipu.

Tidak lama dari itu hujan mengguyur dengan deras, air-air melewati celah atap yang bocor, masuk dan keluar lewat pipa-pipa, hal itu membuat Papa mengambil beberapa ember dan panci untuk tadah hujan. Aila masih saja memeluk Mamanya erat sambil menutup telinganya, ketakutan akan ada suara petir.
Mama berbicara pelan, "Nak, kita tidur dikamar aja, ya, disini dingin"

"Tapi nanti peluk Aila, ya, biar Aila hangat dan nggak takut," Wajah Aila masih ketakutan.

Mama menggendong Aila menuju kamar, dan Papa masih sibuk menaruh alat wadah dibawah tetesan air hujan.

****

Pagi telah tiba, matahari mulai muncul dari kaki timur. Burung-burung beterbangan, sisa air hujan di genteng saling menetes, dan warga sibuk membersihkan rumah mereka dari genangan air hujan semalaman. Tanpa diduga, ternyata hujannya reda-biasanya sampai dua hari tidak kunjung reda- tetapi mereka masih saja mengeluh, kenapa listrik juga tidak kunjung hidup.

Keluarga kecil ini sudah siap melakukan aktivitas sehari-hari mereka. Mulai dari Papa yang bekerja menjadi kuli bangunan, Mama yang berjualan di warung makan milik temannya dan Aila yang masih sekolah TK tingkat akhir.

Hari demi hari telah mereka lewati bersama. Sampai tidak ada kata lelah yang terucap dalam benak mereka. Mereka bahagia melakukannya bersama, selagi bersama.

Satu bulan kemudian...

"Yeay, akhirnya Aila sudah lulus TK, Aila akan melanjutkan sekolah," Aila memberitahu teman-temannya, bahagia.

"Aku juga akan melanjutkan, tetapi tidak ada di sini," jawab anak laki-laki seusia Aila.

"Loh, memangnya mau dimana? bukannya Papamu baru membuka bisnis di sini," Aila meyakinkan sok tahu.

"Papa memang sedang membuka bisnis di sini, tetapi dari cabang kantor pusat Papa meminta Papa untuk ke sana, selama beberapa tahun, mungkin karena ingin selalu bersama Aku dan Mama, akhirnya kami diajak ke sana juga," Anak laki-laki itu menjawab dengan benar.

"Oh begitu ya, tapi kantor pusatnya di mana? luar kota? luar negeri? luar pulau? luar-"

"Luar bumi sekalian," potongnya.

"Yang bener! aku mau tahu beneran, loh," Aila mendengus kesal.

"Kami mau ke luar negeri, ke Jerman," jawab bocah itu dengan wajah yang cool.

"Beneran? kalo gitu selamat ya! jangan lupa belajar bahasa Jerman, yang terpenting jangan lupain aku, semoga nanti aku juga bisa ke luar negeri, ya, doakan," ucap Aila dengan perasaan bangga.

"Kamu mau ke luar negeri juga? ngapain? adakah keluarga kamu yang di sana? nenek? sepupu? nggak ada kan? jangan mimpi ketinggian, Ai, ke mall aja belum pernah, haha," ucap Bocah laki-laki itu dengan nada merendahkan.

Hati Aila seperti ditusuk dalam-dalam, panas, sakit, baru kali ini dia mendengar kata-kata yang menurutnya menyedihkan dari temannya itu. Sungguh membuat Aila ingin meneteskan air mata, tetapi selama ini ia belum pernah menangis di depan temannya itu, ia anak yang ceria.

"Siapa tahu ada keajaiban, pasti aku akan ke sana, meraih mimpiku"

Hari kelulusan sudah selesai, tuntas. Yang dimana Aila sekarang bukan lagi murid TK tetapi sudah akan menjadi murid SD yang cantik dan pintar. Di hari kelulusan ini semua teman-teman Aila diantar menggunakan mobil, Ayah mereka ber jas, Ibu mereka ber hak tinggi dengan gaun dress se-lutut. Aila memandangnya sampai tidak kedip, saking terpesonanya dengan orang kaya-Aila ingin menjadi orang yang berkharisma- anak-anak mereka di gandeng dan di ajak ber foto menggunakan kamera mahal dari luar negeri.

"Aila pengen punya kamera," gumam Aila sambil menatap orang-orang yang masih asyik ber gaya untuk diambil gambarnya.

Anak kecil usia 7 tahun kurang 2 bulan merasakan minder? kepada orang-orang yang ber jas, ber hak, menggunakan kamera mahal? tetapi ia tidak pernah minder dengan teman-temannya.

Mama tahu Aila sangat ingin seperti 'mereka' tetapi dengan melihat saja dan bergumam sendiri tidak akan mengubah apapun. "Buktikan, Ai, yakinlah suatu saat nanti kamu akan meraih mimpimu, seperti mereka," bisik Mama dari samping Aila.
"Mama tahu kalo Aila ingin menjadi seperti mereka? Aila tidak ingin menjadi orang yang sombong nantinya, tetapi Aila hanya ingin mengajak Mama dan Papa berkeliling setidaknya di Jakarta ini, dan nantinya akan sampai ke luar negeri, doakan ya, Ma, Aila minta restu Mama," Bocah 7 tahun itu berbicara layaknya orang dewasa yang meminta restu kepada orang tuanya.

Mama mengangguk, tersenyum.

"Mama bangga padamu, Nak," Mama mulai memeluk Aila dengan merendahkan kakinya sambil mengelus rambut halus putrinya itu. Sungguh indah pemandangan Ibu dan Anak ini.

Bersambung...




















Terima Kasih karena telah membaca surat hatiku, ini baru yang pertama, Aku mencurahkan apapun itu melalui tulisan, ini salah satunya. Aku minta dukungannya. Jangan lupa beri kritik dan saran.


Salam hangat,

Penulis.





Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Home Sweet Home Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang