Satu

2.8K 393 189
                                    

---
Your name hurts.
---

Johan

Dulu, gue sering banget ketitipan anak-anak Manjiw Squad seperti Ibra anaknya Khrisna, atau Cio anaknya Ko Mada. Pada masa itu gue masih jadi dokter gawat darurat psikiatri di RSJ Provinsi, nggak bisa dibilang banyak waktu senggang juga sih tapi ada lah nyempetin kalo buat ngasuh doang mah. Biasanya yang sering banget dititipin itu Ibra– di awal-awal, Khrisna sering banget berkegiatan di luar kota dan harus selalu ditemenin istrinya.

Khrisna bukan gak mampu sewa pengasuh, dia cuma merasa kalo Ibra akan lebih aman jika diasuh oleh gue. Untungnya Ibra nggak rewel, dia juga lengket banget sama Om Johan sehingga menjaganya bukan suatu hal yang menyulitkan. Tapi setelah gue patah hati, setelah gue naik tahta jadi direktur di rumah sakit jiwa milik Lord Khrisna Adhyaksa, kesibukan gue gak punya jeda dan gue udah gak pernah lagi ketitipan anak-anak mereka.

Gak lama setelah nikah, gue dianugerahi Kalla. Semenjak itu gue gak pernah jagain anak orang lagi karena udah punya anak sendiri. Belum genap usia Kalla setahun, Eli melahirkan Biru. Lo bisa bayangin sendiri sesibuk apa kehidupan gue sebagai ayah sekaligus pemangku eksekutif di rumah sakit karena punya dua anak yang usianya cuma beda hitungan bulan.

Kalau lo nanya kenapa usia Kalla sama Biru cuma beda tujuh bulan aja, maka gue akan memberikan kalian sebuah jawaban sederhana.

Kalla Quinnia Rachmadi bukan anak biologis gue bersama dengan Kimberly. Ada sejarah mengharukan di antara kita bertiga yang pada akhirnya membuat gue dan Eli memutuskan untuk mengadopsi Kalla. Gue harap, penjelasan tersebut cukup menjawab. Kalau gak puas sama jawabannya, sana, cari tau sendiri gimana detail lengkapnya.

"Hah? Gathering?"

Beberapa tahun sekali, Lapas Narkotika rutin melakukan kegiatan semacam gathering. Empat tahun lalu, pas gue sama Eli baru banget kenalan, dia jadi panitia gathering di tempat kerjanya. Biar gue ingetin, itu loh, waktu Eli survey ke Pangalengan dan salah nyeret gue karena ngira bahwa gue ini adalah pegawai desa.

"Iya, tahun lalu aku gak ikut karena baru banget lahiran Biru. Terus sekarang aku dipaksa ikut gitu, Yang. Gak enak juga sih kalo skip kegiatannya." Eli menatap bingung ke arah Kalla yang lagi main mobil-mobilan, serta Biru yang lagi tengkurap sambil gigitin teether berbentuk bulat miliknya.

"Ikut aja, masa acara kantor nggak ikut." Gue mengizinkan.

"Terus anak-anak gimana?" Emang ya, kalo udah jadi Ibu kecemasannya beda lagi. "Bisa sih bawa keluarga, tapi masa Kalla sama Biru yang masih balita diajakin? Gathering-nya di pantai soalnya, takut anak-anak gak nyaman terus–"

"Kan ada aku, mereka biar aku yang jaga. Udah, kamu ikut gathering dengan tenang. Berapa hari? Kapan?"

"Dua hari, minggu depan. Kamu lagi gak ada kerjaan emang? Nggak ada jadwal ke luar kota atau rapat-rapat gitu kan?"

Gue menggeleng, "Kalaupun ada, aku usahain buat geser jadwalnya. Weekend juga kan kamu pergi? Harusnya sih kalo weekend aman."

Lucu gimana Kimberly masih pasang muka gak enak saat melirik lagi kedua anak kita. Gue tertawa, setelah itu gue memeluknya sembari mengusap-usap puncak kepalanya. "Gak usah cemasin mereka, kamu berangkat aja. Nanti, hari Sabtu, aku bawa Kalla sama Biru ke kantor. Minggunya aku asuh mereka di rumah, terus pas jemput kamu ke Lapas, aku ajakin mereka juga. Ya?"

Baru setelah itu, senyumnya merekah. "Maaf ya ngerepotin," katanya.

"Ngapain minta maaf deh? Kan mereka anak-anak aku."

Tiga bulan lalu, kita baru aja ngerayain anniversary pernikahan yang ke tiga tahun di Dusun Bambu. Buat gue, hidup sama dia masih terasa bagai sedang bermimpi indah. Jatuh cinta sama Kimberly adalah pengalaman terhebat yang pernah gue rasakan. Kimberly adalah menifestasi dari anugerah dan keajaiban. Kalau kata Eli: kata sempurna gak akan punya makna tanpa ada kamu di sana. Dan gue sangat setuju dengan kalimatnya.

SENYAWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang