---
Imagine someone saying, "Can we fix this? I can't lose you."
---Johan
'Maafin Ibu gue ya, Bang'
'Eh? Nomer lo yang ini masih aktif?'Pesan yang masuk dari nomor +62 821 218xxx itu membuat gue tertegun selama beberapa saat. Tanpa harus bertanya dia siapa, gue sudah tahu apa jawabannya. Saat ini, pesan darinya tidak menjadi perhatian gue. Masalahnya ketika gue sampai ke rumah di jam setengah tujuh malam, Eli masih belum juga pulang.
"Quinni, kamu umpetin Bunda di mana?"
Kalla yang tak terima dituduh tanpa bukti menggeleng, "Ga au!" Pekiknya kencang.
"Biru nih pasti," gue menatap Biru dengan mata yang menyipit. "Hayooo, kamu pasti ngantongin Bunda kan?" Terus anak gue yang cowok bersikap gak peduli, beneran nyuekin gue seolah-olah gue tidak terlihat oleh matanya.
"Kalla, sini deh," gue menepuk paha dua kali, kode tersebut diterjemahkan dengan baik oleh Kalla karena sekarang dia duduk di atas sana. "Papa harus gimana, ya?" Waktu bujangan, gue curhat sama kucing. Terus setelah menikah, gue curhat sama anak kecil yang mana belum mampu mengenal jahatnya realita.
Kalla cuma berkedip, selanjutnya ia menyerahkan mainan dinosaurus yang ada di tangannya. "Buat Pappa," katanya yang semakin meningkatkan kadar rasa bersalah di dalam hati gue.
Sejujurnya gue sendiri masih kebingungan untuk menjelaskan perasaan yang gue rasakan. Gue tidak sepenuhnya mampu memahami, gue masih mencari jawaban yang menyebabkan hati dan pikiran gue berantakan di saat bersamaan. Akal gue seperti tidak dapat digunakan dengan benar. Ia terus bertanya, apa yang sebenarnya tengah gue rasakan?
Setelah rasa sakit yang Dara berikan, setelah seluruh dunia gue ia luluh-lantakkan, mengapa gue masih menyimpan kepedulian yang besar dan tidak terima ketika melihat ia diperlakukan demikian?
Gue tidak melepaskan Dara untuk melihatnya menderita. Gue berhenti memaksa untuk terus bersamanya karena dua alasan yang gue dengar dar bibirnya; dia bahagia dengan pilihannya, dan dia telah menemukan orang yang bisa memberikan segala yang tidak bisa diri gue berikan untuk dirinya.
Makanya, ada rasa tidak terima ketika gue melihat keadaannya sekarang. Diceraikan, sakit-sakitan. Ke mana orang yang dulu mati-matian dirinya perjuangkan sampai rela membuang gue yang jelas-jelas rela melakukan apa saja untuk dia?
"Assalamualaikum," itu Eli. Sewaktu masuk ke dalam rumah, dia langsung menyapa anak-anak yang tengah menonton siaran animasi lewat smart TV. Sedikit pun, Eli tidak berbicara kepada gue. Bahkan hingga dirinya mandi dan berganti baju, perempuan itu masih enggan melihat ke arah gue.
Harusnya gue gak lupa, Kimberly adalah orang yang peka dan orang yang sangat mengenal gue lebih dari siapa pun di dunia ini.
"Yang," pinggangnya gue peluk dari belakang ketika ia sedang mencuci botol susu milik anak-anak.
"Apa?" Dinginnya sampe kerasa nusuk ke jantung.
"Mau jajan gak? Sama anak-anak, ke depan." Biasanya sih rayuan ini gak pernah gagal. Biasanya loh ya.
Dia melepaskan tangan gue di pinggangnya dengan alasan; "Aku kagok, kamu minggir dulu."
Gue, si paling gak bisa dicuekin istri, tentu gak terima. "Kamu kenapa sih?" Elu goblok yang kenapa? Elu, bukan Eli. Masih gak sadar juga, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
SENYAWA
FanfictionAdaptasi telah berhasil membuat kita bersenyawa. Katanya, kita adalah senyawa yang amat begitu sempurna. Kita pernah bilang, 'sempurna gak akan punya makna kalo gak ada kamu di sana'. Tapi, siapa? Siapa yang sebenarnya jadi si Sempurna itu? Siapa...