Chapter. 18

7K 524 17
                                    

Selamat membaca 🌵

"Abdi nggak bisa janji kapan nikah. Ayah jangan paksa," tukasnya lantang.

Sementara Eva menatap tak percaya melihat Sena, ia minta penjelasan. Sena akhirnya menjelaskan di depan Abdi juga, jika memang sebenarnya setelah Sena cerai dengan ibu kandung Abdi, ia menikah dengan tiga perempuan lain sebelum dengan Eva.

Sedangkan Eva, taunya Sena menikah setelah lama menduda selepas cerai dengan ibu kandung Abdi.

"Kamu ... bohongi saya dan keluarga saya? Saya putus sama Abdi demi menikahi kamu, tapi nyatanya ...," lirih Eva dengan mata berkaca-kaca, ia terkejut juga kecewa, karena ia menikah dengan Sena juga masih perawan, jadi mendadak ia emosional.

Selama pacaran dengan Abdi pun mereka tak melakukan lebih karena Abdi selalu menolak atau menghindar. Lain dengan wanita yang kala itu diusir bibi, sosok yang hampir menjebak Abdi karena hal senonoh.

"Maafkan saya, Eva," ujar Sena.

Abdi tersenyum simpul, kedua matanya melirik Eva yang begitu pias air mukanya, tak percaya dengan pengakuan Sena. Eva beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.

Sena mengusap kasar wajahnya, pun mendengkus karena Eva. Abdi bersandar sambil bersedekap menatap ayahnya serius. "Ayah belum jawab pertanyaan Abdi tadi." Ia mengingatkan. Sena memejamkan mata, ia harus siap memberikan jawaban ke anaknya.

***

Terik matahari tidak mencegah Abdi duduk berdiam diri di rooftop kantor, ia termenung, menengadah kepada menatap langit cerah berwarna biru dengan awan seperti kapas bergerak pelan tertiup angin.

"Sendirian," suara Bellona terdengar menyapa. Abdi menoleh, iris matanya bertemu dengan iris mata Bellona, keduanya tersenyum tipis. "Ada apa? Tumben," sambung Bellona seraya duduk di sebelah Abdi. Angin bertiup kencang, menerbangkan rambut Bellona yang akhirnya ia kuncir tinggi.

"Lon, saya tau alasan Ayah cerai dari Ibu sejak saya umur lima tahun." Dengan suara juga raut wajah sendu, Abdi mulai berbicara.

"Apa?" tatap Bellona menyimak.

"Benar kabar yang selama ini saya dengar. Ibu saya seorang wanita malam, dia kerja di klub dan Ayah cinta sama Ibu."

Abdi tersenyum miris. "Mereka nggak bisa bersama karena latar belakang Ibu. Ayah terpaksa lakuin hal buruk dengan menikahi Ibu diam-diam, sampai lahir saya. Bahkan, hal itu nggak bikin keluarga terima Ibu walau sudah ada saya sebagai cucu laki-laki yang jadi penerus estafet kejayaan keluarga.

Ayah terpaksa menceraikan Ibu, karena harus memilih antara tahta atau cinta, dan Ayah pilih tahta. Ibu sakit hati juga marah. Hak asuh saya diambil alih Ayah, Ibu nggak bisa berbuat banyak karena kalah uang untuk memenangkan kasus. Bayar pengacara mahal dan uang Ibu di stop Ayah, karena permintaan keluarga."

Bellona masih terus menatap, tak percaya dengan cerita Abdi tapi itu kenyataannya.

"Ibu menghilang, Ayah terpuruk hingga cuek ke saya. Ayah menikah lagi setelah cerai dengan Ibu, saat saya umur tujuh tahun. Perempuan pilihan keluarga tapi nggak bertahan lama. Mereka tinggal terpisah sama saya karena Ayah nggak mau saya kenal istri barunya." Abdi menarik napas panjang lalu menghembuskan pelan.

"Kenapa?" lirih Bellona.

"Ayah nggak mau lihat saya sayang dengan istri barunya, Ayah mau saya hanya ingat Ibu. Sayangnya, saya justru marah karena saat itu dipikiran saya, Ibu pergi karena benci dan nggak mau ada saya di dunia in. Saya ... salah, Lona, saya--"

"Mau cari Ibu?" sela Bellona. Abdi mengangguk.

"Saya mau cari Ibu, apa pun kondisi beliau, saya mau cari. Saya mau bawa Ibu pulang." Kedua mata Abdi memerah, Bellona tau begitu sedih hatinya. Ia mengangguk, tersenyum lalu terkejut karena Abdi menyandarkan kepala di bahunya. Bellona memalingkan wajah, perasaannya mendadak tak karuan, jantungnya berdebar.

"Bantu saya cari informasi keberadaan Ibu, Lona," pintanya.

"Iya, saya bantu," jawab Bellona cepat.

Abdinegoro, pemilik alterego yang bertolak belakang dengan dirinya sehari-hari, menarik Bellona semakin masuk ke dalam hidup lelaki itu. Teka teki hidup Abdi, Bellona ketahui begitu terbuka dengan mudah dan ia mau tak mau berada di sana.

"Kamu gimana? Udah tau di Kakakmu?" Berganti Abdi yang menanyakan tentang masalah Bellona.

"Belum. Saya masih telurusi facebook, Instagram, nihil semua. Kakak saya emang anti medsos, tapi sekarang justru saya khawatir, takut dia ternyata sudah ... nggak ada." Bellona memalingkan wajah.

"Ibu dan Bapak gimana kabarnya semenjak kamu pergi dari rumah?"

Bellona menoleh, ia menunjuk ponsel ke Abdi. "Setengah jam lalu kirim chat, minta uang. Bapak ada utang sedangkan Ibu minta untuk belanja harian."

"Kamu balas?"

"Nggak. Saya baca aja. Dari tadi telpon tapi nggak saya jawab, saya--"

"Jawab, Lon, kasihan takut memang butuh," sela Abdi.

"Kamu nggak tau mereka, Di, sekali dijawab terus-terusan minta ini itu. Saya nggak mau, biar mereka berpikir sendiri juga. Ngomong-ngomong, kenapa kamu bayar uang saya sekarang?"

"Takut kamu butuh, kamu mau beli rumah, atau mobil, beli, Lon," tukasnya.

Bellona tertawa. "Di, saya nggak sekonsumtif itu. Saya kembalikan, ya, saya milih kerja dengan gaji normal aja. Udah lah, nggak usah bayar jasa saya, toh saya kerja di sini. Uang itu bisa untuk operasional perusahaan."

Abdi diam, ia cukup tercengang karena ada orang yang menolak uang. Apalagi Bellona perempuan yang ia tau, tergiur uang.

"Kamu yakin?" lirih Abdi ragu.

"Yakin. Posisi saya di perusahaan ini nggak pernah saya sangka, Di, dan juga gajinya besar. Saya tinggal di apartemen itu kamu yang bayar untuk setahun ke depan, transport saya gratis karena jalan kaki, kalau cuma untuk makan ... itu lebih cukup. Saya mau nabung juga bisa. Uang sebanyak itu malah bikin saya merinding. Saya kembalikan, ya."

Abdi masih diam menatap Bellona yang tersenyum ke arahnya. Lama-lama ditatap lekat seperti itu membuat Bellona salah tingkah juga.
Ia memalingkan wajah lagi ke arah lain, sedangkan Abdi masih lekat menatapnya.

Angin berhembus kencang, Bellona mengajak Abdi masuk, lelaki itu juga belum makan siang. Abdi mengangguk. Namun, saat Bellona hendak membuka pintu menuju tangga, tangannya ditahan Abdi. Ia berbalik badan, Abdi menempelkan telapak tangan Bellona ke dadanya.

Bellona diam, jantung Abdi, sama seperti dirinya. Bertalu-talu dengan ritme tak biasa. Senyum kedua mengembang, Abdi tiba-tiba memeluk erat Bellona.

"Ini gila, kenapa bisa begini, Lona," lirihnya. Bellona memejamkan mata, ia tak bisa menghindar lagi, ia menyukai Abdinegoro, pun lelaki itu ia mendekap erat Bellona ia tak bisa menahan lagi.

Pelukan kedua terlepas, lalu tertawa. "Apa?" Bellona tampak bersemu merah kedua pipinya. Abdi mengusap lembut.

"Kali ini, kayaknya kita jadian beneran juga jangan ketahuan orang kantor. Ck ... sebel, sih, tapi mau gimana. Sampai kondisi memungkinkan, saya umumin hubungan kita."

Bellona mengangguk, ia sangat setuju. Kemudian mereka masuk ke dalam gedung lagi dengan Abdi berjalan lebih dulu baru disusul Bellona setelah dua menit berlalu.

bersambung,

Cieee ... Abdi jadian beneran sama Bellona, tapi diem-diem, nih ...

His Alterego ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang