Buku Abu-Abu

41 7 8
                                    

Sepanjang makan, kepalaku dipenuhi pertanyaan: Apa yang terjadi kemarin?

Mungkin aku terlalu memikirkan rumah itu, sampai-sampai bermimpi mendatanginya. Tapi, kalau memang mimpi, dari mana aku mendapat luka-luka ini. Pertanyaan itu meneror kepalaku selama Akmal menceritakan bagaimana ia bisa bekerja dengan si Ahmad dan keluh kesah saat mendapat tekanan dari pejabat itu. Aku hanya mencatat satu hal dari semua ceritanya: Anggota DPR itu membantunya kuliah, tetapi mengharuskan ia berkerja dengan prinsip: 'selalu siap'. Itu saja.

Aku sampai di rumah ketika matahari sudah tergelincir ke barat dan masih dengan menyimpan kebingungan di kepalaku. Di teras kutemukan setumpuk buku di atas meja. Pasti Eka tadi ke sini, pikirku, karena buku-bukunya bernuansa politik dan psikologi. Teman satu itu memang terlalu baik.

Aku melemparkan buku-buku itu di atas kasur, lalu segera membuka baju. Goresan-goresan merah ternyata memenuhi lengan, dada, dan punggungku. Sebagian di wajah juga, tetapi tidak terlalu kentara. Mungkin, secara reflek aku menutupi wajah dengan tangan saat makhluk itu menyerangku. Itu gerakan naluriah ketika bagian sensitif kita mengalami ancaman dan insting bertahan itu sudah terlatih sejak aku mengenal bela diri. Tapi, jika serangan hanya dari kelelawar atau binatang samacam itu, rasanya tak mungkin sampai aku pingsan lalu kehilangan ingatan.

Aku terduduk di atas kasur sambil tetap mengamati tubuhku di cermin. Setengah jam berlalu dan tetap tak menemukan apa-apa di dalam ingatanku, tak menemukan satu pun jawaban logis.

Aku tertunduk menatap lantai. Sudut mataku menemukan satu buku bersampul abu-abu tua, yang mungkin terjatuh saat aku melemparkan buku-buku Eka tadi. Buku itu selebar A4, dijilid seperti jurnal. Ketika kubalik, sampul depannya hanya goresan seperti tanda centang berwarna hitam.

Sejenak aku tercenung, buku ini berbeda dengan buku lainnya yang bersampul glossy hard paper, buku ini bersampul kertas sejenis art paper yang sudah kusam dan tipis. Aku heran karena Eka memiliki buku sekusam ini mengingat ia adalah perawat buku yang baik. Tetapi, aku lebih heran lagi ketika membukanya. Buku itu ditulis dengan mesin tik, bukan komputer, dengan kesalahan penulisan yang sangat banyak. Aku bisa melihatnya begitu saja meski hanya membuka sekilas. Kurasa, buku ini terbawa Eka secara tidak sengaja, mungkin buku penulis yang ingin diedit Eka, atau mungkin buku Eka zaman dulu ketika berlatih menulis. Kupikir, nanti akan aku tanyakan saja.

Kuraba tubuhku kembali, dan berharap luka memerah ini segera menghilang. Melalui jendela, aku mengintip rumah itu, menelisiknya dengan lebih teliti–dari atas ke bawah dan dari kanan ke kiri. Setiap bagian tidak ada yang ingin kulewatkan. Aku mulai mempertimbangkan untuk kembali ke sana, sayangnya telepon Amelia menggagalkan tekadku. 

Aku menelan ludah ketika membaca namanya di ponsel. Sudah lama tidak ada kabar darinya dan tiba-tiba ia menghubungiku. "Halo, Bang. Maaf mengganggu. Abang lagi di mana?"

Brengsek! Aku merindukan suara sendu itu. Benar-benar keparat jika sampai suaraku bergetar. "Abang ada pekerjaan di Jawa. Ada apa?" Selugas mungkin aku menjawab.

"Oh, syukurlah. Semoga Abang sehat di sana. Aulya ulang tahun minggu depan, Bang. Abang bisa datang?"

Oh, aku lupa! Bapak macam apa aku sampai melupakan hari penting anakku! Dan aku juga tak mungkin ke Jakarta saat ini. "Amel, Abang tidak bisa ke Jakarta dalam waktu dekat. Abang kirim saja uang, minta tolong belikan kado untuk Aulya. Nanti pas ulang tahunnya, Abang usahakan telepon. Sehat, kan, Aulya?" Ahmad sudah memberiku 50% dari kesepakatan kami, juga biaya akomodasi selama pengerjaan naskah. Jadi, aku masih punya uang.

"Oh, sehat, Bang. Abang … transfer?" Suaranya terdengar ragu dan aku sangat paham arti keraguan itu. Aku jarang, sangat jarang memberinya uang saat menjadi istriku. Gajiku tak pernah benar-benar cukup untuk sekadar menghidupi mereka. Kalau saja Amelia tidak bekerja, mungkin kami sudah bercerai sebelum Aulya lahir.

"Iya. Aku transfer sekarang," sahutku. Rasa bersalah bergumul di dadaku.

Setelah telepon ditutup, aku tak berniat lagi ke rumah itu. Masa bodoh dengan luka-lukaku! Persetan dengan mimpi tak jelas itu! Aku hanya ingin tidur! Mengistirahatkan pikiran. Tapi yang terjadi sebaliknya, aku malah membayangkan bisa bercinta lagi dengan Amelia. Sialan! Aku merindukannya.

***

Mataku tak juga mau terpejam setelah cukup lama berbaring di tempat tidur. Pikiranku berkelana menembus ruang dan waktu, membuat cerita, berandai-andai bisa mengubah masa lalu, kemudian mengubah nasibku.

Bertemu Amelia adalah momen terbaik dalam hidupku, dan berpisah dengannya meruntuhkan duniaku. Sayangnya aku memang terlalu pengecut untuk mempertahankannya. Tanpa pekerjaan pasti, larut dalam alkohol setelah dipecat dari redaktur majalah, dan mengawang bersama lintingan ganja, menjadi hari-hariku yang membosankan. Pemecatan itu benar-benar tidak adil karena tidak mungkin aku mengecek semua fakta yang ditulis jurnalis. Merekalah yang seharusnya bertanggung jawab, tapi nyatanya tulisan itu mendapat somasi dan aku sebagai editor terkena getahnya.

Aku benci mengingatnya, tapi juga puas ketika akhirnya bisa menghajar kepala redaktur yang sok. Yang suka menunjuk-nunjuk kalau memarahi bawahannya. Kurasa kini ia tak akan bisa menunjuk lagi setelah kupatahkan jari telunjuknya.

Aku duduk di tepi ranjang, menatap buku-buku kiriman Eka dengan rasa muak yang luar biasa. 

Dari semua buku itu, hanya buku abu-abu itu yang menarik perhatianku. Ia tampak seperti memiliki keunikan tersendiri ketiga bergabung dengan buku-buku bacaan berat itu. Mungkin karena kusamnya atau karena tipisnya. Aku tertarik. Sambil bersandar di sandaran ranjang, aku pun membuka halaman pertama.

Aku akan datang ke dalam jiwa rapuh yang lelah dan luruh
Memintal luka
Menjalin nestapa
Menjerat lara
Yang akan menghapusnya dengan kerat-kerat derita.
Karena dendam adalah utang yg layak di bayar

Ada beberapa goresan pada tulisan itu, sepertinya ingin dihapus tetapi tidak bisa. Tetapi, aku menyukai kalimatnya, terutama kalimat terakhir. Dan kuputuskan membuka halaman kedua.

Apakah tuhan itu ada? Jika ada, mengapa diam saja? Apakah tuhan itu adil? Lalu kenapa semua terjadi padaku? Padanya? Apa salahku? Tuhan, jangan diam saja!

Jika kau membacanya, artinya aku sudah tidak ada. Dunia ini tidak ada keadilan dan aku menunggu tuhan bertindak. Jika dia memang ada. 

Mereka melakukannya. Mereka menyiksanya, menyiksaku, tetapi mereka juga menertawakanku, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka kejam dan aku bodoh, dan mereka menghancurkan hidupnya, putriku. Aku membenci mereka sampai dunia di bawah sana. 

Putriku hancur dan aku lebur. 

Aku akan bercerita kepadamu apa yang terjadi pada dia di malam itu.

Berikan tanganmu, dan hancurkan mereka. Tolong ….

Aku mengernyit, berusaha memahami kalimat demi kalimat yang tersusun membingungkan, tetapi rasanya membentuk sebuah cerita yang menarik imajinasiku. Imajinasi tentang dunia bawah yang gelap.

Dimulai dari yang pertama, Jabrik ….

(Bersambung)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 09, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

VengeanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang