Satu jam yang membosankan. Orang-orang di sekitarku mulai meneriakkan yel-yel sanjungan yang bagiku terdengar seperti bunyi kodok bersahutan. Menurutku, mereka melakukan itu bukan sebenar-benarnya datang dari hati, hanya kamuflase demi sebuah ambisi.
Mengenai ambisi apa yang mereka miliki, satu sama lain mungkin tak sama. Sesuai polanya, ada beberapa yang memang loyal berjuang untuk membangun-tapi pasti itu hanya sepersekian persen dari orang orang yang datang; sebagian yang lain mungkin bermotif kedudukan, kuasa, jabatan; sebagian yang lain dan mungkin malah mengambil porsi paling besar, bermotif uang-bisa berupa setoran atau proyek-proyek. Semakin memperhatikan tingkah mereka, semakin yakin aku dengan apa yang bergumul di kepala mereka.
Seperti lelaki yang sedang dicekik tangan bayi itu, misalnya--syal kusam yang serupa tangan itu menyempil di leher dan tampak menggelikan. Sedari tadi lelaki itu paling bersemangat meneriakkan yel-yel, tetapi ketika pidato dimulai, dia sibuk mengobrol dengan lainnya. Atau lelaki kurus yang duduk di dekat tiang, yang berusaha tetap terjaga meski kadang kepalanya tiba-tiba terayun. Namun begitu yel-yel digaungkan, dia langsung pura-pura semangat. Audiens yang lain pun tak jauh beda. Kurasa memang tidak ada yang benar-benar datang untuk mendengarkan pidato ini.
Aku pun sama. Jenuh. Isi pidato yang dituturkan Ahmad Buyani ini bisa dikatakan tidak ada isinya, karena sedari tadi yang kudengar hanya saran dan saran saja. Tidak ada solusi yang rasanya bakal jadi gerak nyata dari apa yang dibicarakannya. Misalnya ketika tadi ada warga yang berkeluh kesah tentang jalan rusak menuju rumahnya, dia hanya menanyakan lokasi, dan memberi catatan. Kurasa, catatan itu hanya akan 'dicatat' saja tanpa realisasi. Kalaupun ada solusi, mungkin ketika musim panas di negeri ini berubah menjadi musim salju. Aku tidak mengerti mengapa mereka, maksudku orang seperti ini bisa duduk sebagai wakil rakyat.
Aku mengambil air mineral kemasan dari kardus, kemudian mencolokkan sedotan. Ternyata mendengarkan ocehan dan menelisik kelakuan orang-orang membuatku haus.
"Mau kopi?"
Suara itu datang disertai tepukan di punggungku. Spontan aku menoleh dan mengangguk saat mengetahui siapa yang menawariku. Akmal, lelaki dengan banyak bekas jerawat yang membuat wajahnya bopeng. Usianya masih dua puluh dua tahun, sedang kuliah sekaligus menjadi pegawai, atau pembantu, atau apalah yang disebut sebagai pelaksana tugas dari Pak Ahmad Buyani-anggota legislatif daerah yang sedang berencana mengajukan diri meraih jabatan eksekutif.
Pak Ahmad Buyani sudah dua periode menjadi wakil terpilih dari Jawa Tengah. Artinya, sudah satu dekade dia duduk di kursi empuk itu-kursi yang ternyata tidak juga membuatnya puas. Nafsu politik itu seperti syahwat yang terus memburu ketika melihat kemolekan jabatan, katanya pada saat perkenalan kami di Jakarta. Eka, si editor cungkring yang menawariku pekerjaan ini juga bilang tentang nafsu berpolitik: menjadi pembunuh itu sensasinya lebih memuaskan daripada sekadar mengawasi kerjaan si pembunuh. Kalau dosa, dosanya sama, sementara kalau dapat rejeki, rejekinya beda. Kurasa benar kalau dianalogikan pada jabatan. Mereka yang hanya duduk di legislatif hanya bisa berkoar-koar memberi saran, memberi pengawasan, tapi di bagian eksekutif, pembuat keputusan, merekalah yang bakal dapat sanjungan dan mungkin juga proyek-proyek yang bergelimpangan. Untuk itulah Pak Ahmad mencoba bertaruh memperebutkan jabatan eksekutif. Nafsu membunuh, kataku, tetapi Eka tidak setuju.
Eka menawariku pekerjaan ini sebulan yang lalu ketika dia menemukanku sedang minum di bar murahan. "Daripada elu writer block melulu, kenapa nggak ambil aja job ini. Dia pasti mau jor-joran, maklumlah orang lagi bernafsu."
"Aku belum pernah menulis tentang politik," kataku.
"Pak Ahmad nggak minta bagian politiknya, justru. Tapi minta nulis prestasi-prestasinya selama dua periode. Buat bekal pengetahuan pendukungnya. Jadi nggak murni politik."
"Memoar?"
"Bilanglah kaya gitu. Elu pasti bisa, deh. Sesekali lepas dari tulisan bunuh-bunuhan. Tulisanmu kemarin garing!"
"Anjing!"
"Jujur, nih! Lu kan lebih suka editor jujur."
"Gue gak ada modal! Nyet!"
"Gak perlu modal! Lu tinggal aja di rumah gue. Nanti akomodasi di-charge ke klien. Lu cuman mikir makan aja. Transport, kalo lu mau, sewa motor aja. Paling cuman dua-tiga bulan. Aman!"
Tabunganku memang ludes. Setelah bercerai setahun lalu, aku seperti pemulung yang luntang-lantung. Bangun siang, cari makan, tidur, cari makan, tidur, cari makan, dan tidur lagi, tak ada tulisan yang kuhasilkan dan tak ada karya apa pun yang berarti yang bisa kukerjakan. Aku tak punya muka menemui anak dan mantan istriku--bangsat! Aku benci memberinya embel-embel mantan.
Sementara cuan dari tawaran penulisan ini sangat menggiurkan. Satu buku dengan mengikuti kegiatan klien, bisa menggantikan penjualan dua novelku. Aku benar-benar butuh uang. Karena alasan itulah aku duduk dengan bosan di sini.
"Masih panas, Om." Akmal menyorongkan secangkir kopi hitam di depanku. "Ini kopi Banaran. Kopi asli daerah sini. Kapan-kapan aku ajak ke Resto Banaran, jalan-jalan ke kebun kopi, view-nya Rawa Pening. Udah pernah ke sana?" Akmal berbisik di telingaku.
Aku menghidu kopi kental itu, aromanya memang dasyat. "Belum. Baru dengar malah. Lokasi wisata?"
"Awalnya perkebunan, Om. Tapi sekarang sudah jadi semacam resort. Besok ke sana kalau Pak Ahmad nggak ada jadwal reses."
"Masih berapa lokasi lagi?" Dua hari berturut-turut, rombongan Pak Ahmad-termasuk aku-sudah mengunjungi lima daerah, dan ternyata sangat melelahkan.
"Besok sih, rencananya off, Om. Sabtu."
Baguslah, pikirku. Aku bisa punya waktu istirahat. Sejak sampai di kota ini, aku hanya meletakkan pakaian di rumah Eka, selanjutnya belum pulang lagi karena kegiatan Pak Ahmad yang bergerak seperti pelari maraton.
"Mungkin jangan besok. Saya perlu istirahat. Sambil nyoba nulis dulu apa yang sudah saya dapat. Rekamannya masih di bawa Indra?" Aku menitipkan recorder untuk merekam pidato Pak Ahmad kepada Indra-salah satu staf si Bapak-untuk memudahkan penulisan.
"Masih,Om. Om tinggal di mana?"
"Di Kecandran. Di perumahan Alam Cemara, kalau nggak salah nama, ya."
"Oh, aku tahu. Pak Ahmad punya rumah di situ juga, tapi disewakan. Ada rumah besar di dekat perumahan itu, Om, tapi rumah kosong. Yang katanya banyak hantunya. Katanya, Om ...."
Akmal lalu menuturkan cerita-cerita hantu yang pernah didengarnya tentang rumah itu, seperti penampakan kuntilanak, wewe gombel, gendruwo, atau sekadar bayangan putih melayang-layang, yang hanya memberikan sensasi ketakutan tanpa esensi yang baru. Penampakan-penampakan yang tak satu pun memberi inspirasi jika ditulis dalam cerpen sekali pun. Tidak ada yang menarik, karena hampir semua ceritanya hanya copy paste urband legend yang bisa dirombak di mana pun lokasinya. Kadang orang-orang memberi bumbu terlalu banyak pada pengalaman ketakutan yang dialaminya, alhasil hal yang sebenarnya mengerikan pun malah jadi pengalaman biasa saja.
Ketika akhirnya aku pulang diantar Akmal senja itu, dia sengaja berhenti sejenak di rumah besar yang ia ceritakan. Dan entah kenapa aku jadi merasa rumah itu lebih menarik dari sekadar penuturan Akmal.
Matahari yang menyorot samar menegaskan bahwa kondisinya benar-benar menyedihkan. Dalam bayanganku, rumah itu hanya membutuhkan sedikit kabut, lolongan serigala, dan sedikit kilat, dan mungkin gerimis. Bahkan dua jendela di lantai dua yang melompong seperti sedang memandang dunia dengan tatapan merana. Rumah kosong dengan perpaduan kesepian dan kengerian. Hanya saja, dari semua penampakan itu yang paling menarik adalah letak rumah itu yang ternyata tepat di depan rumah yang aku tinggali.
Kemarin pada saat datang, aku tidak memperhatikan lingkungan sama sekali. Selain karena hari sudah malam dan aku juga langsung dijemput Eka untuk mengikuti rangkaian agenda reses Pak Ahmad ke Boyolali, Karang Gede, Simo, dan sekitarnya.
Malam ini, meski pandanganku tersaring semak belukar dan terhalang pohon rambutan yang dahannya menjulur-julur, aku bisa melihat sesuatu di dalam sana. Sesuatu yang dalam bayanganku adalah ... seseorang!
(Bersambung)
