Ahmad Buyani

23 5 17
                                    

Sorot matahari pagi menerpa wajahku. Perlahan, aku mengerjap, menoleh ke jam dinding dengan pandangan kabur yang makin lama makin jelas, lalu geragapan–Brengsek! Ada janji wawancara dengan si Ahmad pagi ini! Manusia itu akan berangkat ke Jakarta siang nanti.

Aku meloncat dari tempat tidur, langsung melesat ke kamar mandi. Mandi kilat saja asalkan bisa mengurangi bau tubuhku. Kota ini luar biasa dingin, sepertinya dua tiga hari tidak mandi pun tidak ada yang tahu. Di Jakarta yang sepanas itu pun, kadang dua hari aku tidak menyentuh air. Sayangnya kali ini aku harus mandi, itu pesan Eka. "Pejabat, Nyet! Lu kudu bikin dia nyaman juga. Jangan sampe bau jigong!"

Setangkup sandwich kulahap, bersama kopi dingin semalam. Meski tergesa, aku tak pernah melewatkan kopi setiap pagi. Kopi hukumnya wajib! Saat mengunyah roti sudut bibirku terasa nyeri. Aku mencoba mengingat, apa aku kegigit atau aku salah makan, atau sariawan. Entahlah, aku tidak mengingat jelas.

Kupesan ojek online setelah mastikan catatan dan recorder rekamanku siap. Saat keluar rumah menunggu driver, tatapanku langsung tertuju ke rumah itu lagi. Samar, pikiranku menapaki ingatan semalam–rumah, siluet, binatang, dan ….

"Pagi, Pak. Ke Jalan Kemiri ya, Pak." Suara driver mengembalikanku di teras ini. 

Spontan aku langsung mengangguk dan ketika motor beranjak pelan, aku masih sempat melirik rumah itu. Kulihat, ada bayangan seseorang di dalam sana, berdiri di dekat jendela lantai satu. Sedang memperhatikanku.

***

Rumah Ahmad Buyani dipagari dinding tembok tinggi, pintu gerbangnya dari kayu jati yang divernis cokelat yang terlihat kokoh dan megah. Aku langsung disambut Akmal dan diajak ke ruang makan.

"Sarapan, Mas Buana. Kami juga baru mulai," sambut si Ahmad. 

Akmal menunjuk tempat duduk dan aku pun mengangguk sopan. Di depanku Indra, Hanum, dan Yoga, semua staf pembantu si Ahmad. Beliau sendiri duduk di ujung seperti atasan yang akan memimpin rapat. Berbagai hidangan digelar di meja yang semuanya menggiurkan. 

"Kalau lagi pulang, kami biasa makan bersama seperti ini. Semua dimasak istri saya. Orang Jakarta harus mencoba masakan daerah. Wajib!" kata si Ahmad dengan penegasan di kata terakhir.

Aku mengangguk saja sambil tersenyum. Siapa yang menolak santapan lezat seperti ini? Mumpung, 'kan?

"Om Buana, Jakartanya di mana?" tanya Indra ketika aku menyuap opor.

"Saya di Kebon Jeruk."

"Asli Jakarta, Om?"

"Enggak. Saya Palembang, tapi pindah ke Jakarta sejak balita. Sempat di Salatiga juga sih, dua tahun waktu SMP. Ikut orang tua tugas."

"Oh, pernah di Salatiga juga? SMP mana dulu? Tinggal di mana?" tanya Pak Ahmad.

"SMP 5, Pak. Saya tinggal di mana ya, namanya. Dusun apa saya lupa."

"Grogol? Dukuh? Atau Kembang Arum? Itu area dekat SMP 5. Rumah orang tua saya di Kembang Arum." Hanum ikut menyahut. Hanum satu-satunya staf Pak Ahmad yang perempuan, bertugas mengurus administrasi dan surat menyurat. Ia lulusan D1 sekretaris. Rata-rata staff pribadi Pak Ahmad lulusan D1 sampai D3, hanya Indra yang lulusan SMA yang sedang menempuh D3. Kalau staf ahli, di Jakarta semua, hanya sesekali ikut kegiatan kunjungan kalau dibutuhkan. Mereka minimal Sarjana, kata Pak Ahmad pada wawancara kami yang kedua.

"Saya lupa, Mbak Hanum. Dulu kelas satu sampai pertengahan kelas dua SMP kalau nggak salah. Sebentar saja. Hari ini tidak ada agenda kunjungan, Pak?" Aku menoleh ke arah si Ahmad, mengalihkan perhatian, agar mereka tidak terlalu banyak menginterogasiku. Aku bekerja sebagai ghost writer, jadi biarlah tulisanku saja yang mereka kenal.

VengeanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang