02. MATEO - KAKAK TERTUA

5 0 0
                                    

Sunyi.

Demikian suasana rumah milik keluarga Sanjaya. Rumah satu lantai dengan 5 kamar itu tampak begitu lengang. Sayup - sayup hanya terdengar suara benturan kecil antara alat makan dan juga piring. Di dalam rumah yang sepi itu, ada Mateo yang duduk di meja panjang yang dijadikan tempat makan keluarga. Ketujuh adik - adiknya sudah berangkat ke sekolah. Seorang diri seperti ini membuat pikirannya dengan mudah melayang memikirkan hal - hal yang memicu terjadinya overthinking.

Reagen, Jarrel, Hansel dan Javier kini berada di kelas akhir, kelas 3 SMA. Semua adik - adiknya bersekolah di sekolah negeri, dan bukanlah kejuruan. Karena itu, Mateo sedang sibuk memikirkan bagaimana biaya pendidikan adik - adiknya nanti, 4 adik - adiknya itu harus bisa diusahakan masuk ke perguruan tinggi. Tapi, bagaimana?

Mateo hanyalah karyawan biasa. Gajinya dari perusahaan tidaklah terlalu besar, tetapi jika di tambah dengan gaji pegawai minimarketnya juga, masih kurang banyak. Apa dia harus mencari kerja lagi? Mateo saat ini memiliki dua pekerjaan. Setelah, pekerjaannya sebagai karyawan biasa dia juga menjadi pegawai sebuah minimarket. Karena jam kerja pegawainya yang mencapai sore hari, maka dirinya harus mengambil shift malam di minimarket tempatnya bekerja.

Melelahkan? Iya, tentu saja. Saat ini bahkan Mateo sama sekali belum tidur. Kepalanya agak pening, tapi dia tidak boleh tidak masuk kerja. Jika dia rajin maka, siapa tau akan mendapatkan promosi. Tapi, kembali ke gajinya, sepertinya tidak akan cukup jika harus membiayai 4 orang adiknya untuk masuk perguruan tinggi. Begitu sibuk dengan pemikirannya, Mateo sampai lupa kalau dia sudah terlalu lama duduk di meja makan.

Jam 8 pagi adalah jam kerjanya, dan dengan terburu - buru akhirnya Mateo berangkat bekerja. Pagi ini sepertinya adalah pagi yang berat. Pikiran Mateo kemana - mana, dia bahkan tidak bisa fokus bekerja saat memikirkan adik - adiknya. Semuanya, terasa berat tapi walau begitu dia tetap harus berjuang.

Waktu terus bergulir, Mateo tampak sibuk di kubikelnya. Berkutat dengan setumpuk kertas ditemani segelas kopi.  Kemeja leceknya, tampak mulai dibasahi keringat. Siang ini begitu terik, Mateo jadi ingin membelikan adik - adiknya es krim. Tapi, sepertinya dia harus mengurungkan niatnya. Hari ini, Mateo harus berhemat. Masih ada sisa beberapa minggu sebelum gajian, uang yang ada di tangannya harus cukup untuk keperluan kedepannya.

" Mateo. "

" Ya? " Suara seseorang membangunkan si pemuda dari lamunannya. Mateo mendongak menatap seorang wanita yang berdiri di depannya, teman kantornya.

" Hp lo bunyi terus, ganggu tau ga sih. " Lalu setelah berujar dengan nada ketus si wanita berlalu pergi. Mateo mengulum bibirnya, dia bahkan belum mengucapkan terima kasih tapi wanita tadi sudah berlalu saja.

Mata si pemuda kemudian beralih ke ponsel yang berbunyi tepat di sebelahnya. Saking fokusnya, dia bahkan tidak mendengar ponselnya berbunyi. Tepat saat itu, ponsel si pemuda kembali berdering dan tanpa babibu Mateo langsung mengangkat panggilan itu.

" Selamat siang, maaf saya baru mengangkat telepon. Saya sedang ada di tempat kerja. Ada yang bisa saya bantu? " Sembari berbicara Mateo beranjak dari kubikelnya. Dia melangkah ke arah dapur kantor karena sepertinya itu tempat yang paling dekat untuk menerima telepon tampa menganggu orang lain.

" Ya, bapak. Tidak apa - apa. Kami ingin mengonfirmasi apa benar anda wali dari siswi bernama Larissa Sanjaya? Kami dari pihak sekolah Larissa. "

Deg..

Deg..

Mendengar nama Larissa dan sekolah membuat jantung Mateo berdetak lebih cepat. Dia mulai khawatir. Adik bungsunya apa mengalami sesuatu yang buruk di sekolah? Apa dia baik - baik saja?

CANDALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang