Sepiring roti panggang dilengkapi segelas kopi hangat tersuguh di dalam sebuah nampan di atas meja. Uap tipis masih mengepul. Wanginya menggelitik rongga hidung, sementara warna kuning keemasan dari mentega yang terpanggang dengan sempurna pada lapisan terluar roti itu menggoda mata. Sungguh pemandangan yang menyenangkan kala pagi penyambut.
Dirinya memandangi bangunan tua yang menjulang di sebrang jalan tempat dimana dia menikmati kopi sebelum melanjutkan aktivitas. Melahap sarapan sembari melihat camar tengah mematuk biji-bijian didepan halaman gereja dengan runcing mulutnya. Lalu terbang menuju menara dan bertengger dengan tenang di atas sana.
Waktu menunjukkan pukul 08:14 ketika Bus berhenti tepat di depannya, menurunkan sekumpulan anak TK yang terlihat ceria menggendong tas yang terlihat lebih besar dari badan mereka. Mungkin segerombolan anak itu sedang menuju museum di bangunan tua disebelah barat daya seperti dirinya.
"Selamat datang", sambut seorang pria dengan ramah. Senyuman manis mengembang bersama hazel madu yang membuatnya terlihat menawan.
"Permisi, tuan. Nama saya Leon, yang akan bertugas menemani anda untuk mengeksplorasi museum disini", jelasnya ramah.
"Saya Milli. Panggil saja Milli, tanpa tuan".
Leon tersenyum kemudian mempersilahkan Milli untuk mengikutinya.
Leon melangkahkan kaki diikuti oleh Milli yang berada dibelakangnya. Pada pandangan pertama, obsidian Milli menatap miniatur air mancur yang legendaris di Italia. Ya, Trevi Fountain. Millan mendekat pada miniatur dengan detail apik yang ada didepannya. Lalu tiba-tiba ingatannya melintas pada sebuah cerita dari buku yang ia temukan bersama barang-barang kuno milik ayahnya.
Langit membiru ketika Dewa menapakkan kakinya dilantai marmer yang luas. Didepannya berdiri megah air mancur terbesar di Roma dan merupakan air mancur terkenal di dunia, air mancur bergaya Baroque style yang sangat identik dengan kegiatan favorit melempar koin, Trevi Fountain.
Tepat didepan Dewa berdiri diluar dinding pembatas, Neptuns atau Poseidon (dewa laut) sedang menaiki kereta tempur berbentuk kerang. Kereta tersebut ditarik oleh monster laut berbentuk kuda yang dikemudikan oleh Triton. Disisi tangan kiri Neptunus terdapat patung relief Abundance (kemakmuran) yang menuangkan air dari dalam kendi sedangkan disisi kanan terdapat Salubrity (kesehatan) yang memegang cangkir berisi air yang diminum oleh seekor ular.
Hari itu Trevi Fountain sedikit ramai dari biasanya. Orang berkumpul dari banyak negara untuk menikmati pemandangan indah air mancur terkenal didunia. Banyak diantaranya melakukan aktivitas seperti Dewa, mencoba peruntungan melemparkan koin ke dalam air mancur.
Disana terdapat kepercayaan, bahwa jika melemparkan 1 koin maka akan kembali kesana (Trevi Fountain), 2 koin maka akan kembali dan jatuh cinta, 3 koin maka akan kembali, menemukan cinta dan menikah. Namun dalam melemparkannya terdapat caranya tersendiri, yaitu dengan melemparkan koin dari tangan kanan melalui atas bahu kiri dengan membelakangi Trevi Fountain.
Dewa sudah siap melempar koinnya jika saja matanya tidak menangkap kehadiran sosok yang akhir-akhir ini berbunyi seperti denting lonceng di hatinya. Koin digenggamannya meluncur begitu saja, menggelinding entah kemana, menghilang di bawah beberapa pasang kaki manusia yang juga datang membuat permohonan hari itu. Dewa bergeming, matanya tak berhenti menatap, hanya dadanya yang naik turun menandakan dia masih hidup.
Raga yang sibuk mencari keberadaan teman-temannya, menoleh ke kanan dan ke kiri, mengabsen setiap wajah yang dilihatnya. Matanya tertumbuk pada manik hitam yang kini sedang menatapnya dalam. Semilir angin serasa menyusup ke dalam nadi membuat jantungnya seolah berhenti. Bukankah dia yang di cafe tempo hari? Raga membatin.
Tubrukan seorang pengunjung tetiba menyadarkannya. Raga yang sempat oleng segera menyeimbangkan badannya agar tak terjatuh. Setelah kesadarannya kembali, ia mencoba tersenyum kepada Dewa, melambaikan tangannya dan melangkah menghampiri.
"Hai!" sapanya ketika tepat sampai di depan Dewa.
"Oh, hai!" Dewa menjawab kikuk, memaksakan sebuah senyum.
"Make a wish?" Raga bertanya, menyadari Dewa sedang berdiri membelakangi air mancur.
"Hm, ya. Hanya iseng," jawab Dewa sekenanya sedangkan Raga tersenyum tipis.
"Apa yang kau minta? Kau tahu aturan membuat harapan di sini kan?", Pertanyaan Raga hanya dijawab Dewa dengan anggukan kepala ringan. Sedangkan manik matanya tidak lepas menatap mata hitam Raga dalam.
"Berapa koin yang kamu gunakan untuk membuat permohonan? Lima koin untuk permohonan kembali bersatu dengan orang dimasa lalu?", Raga menggodanya. Dewa tahu dengan pasti karna koin permohonan hanya sampai di jumlah tiga.
Lamunan Milli terputus kala Leon menepuk bahunya pelan. Kemudian keduanya melangkahkan kaki sesuai arahan dari Leon.
Keduanya berdiri disebuh lukisan memperlihatkan dua orang yang tengah tersenyum pada kamera. Bagian bawah frame foto terdapat tulisan yang dipahat cantik dengan warna keemasan.
Hazel segelap malam Milli sama sekali tidak berkedip. Ada perasaan aneh kala memandang foto yang terlihat biasa saja didepannya.
"Mereka pria berkebangsaan Inggris yang lari dari negaranya ke Roma. Lika-liku kisah mereka sangat tragis dan penuh air mata juga luka. Sebelum sampai pada Roma, mereka adalah sepasang kekasih yang mendapatkan kekang dari keluarga, suku dan agama. Keduanya dijodohkan dengan pilihan keluarga. Namun yang terjadi sungguh diluar duga.", Leon menghentikan ceritanya. Menatap Milli yang diam termangu pada tempatnya.
"Masing-masing dari ayah mereka adalah pemegang tahta suku yang mana kedua suku tersebut pantang untuk bersama. Keluarga mereka kejam dengan kepercayaan dan keteguhan masing-masing. Keduanya mengalami kecelakaan hebat saat kabur menuju Roma, membuat mereka kehilangan ingatan. Mereka berpisah saat keluarga dari mereka mengutus orang untuk menyelesaikan permasalahan mereka di Roma. Namun entah kehendak Tuhan atau apa, keduanya berhasil menyelamatkan diri sehingga kembali jumpa untuk pertama kalinya di air mancur terbesar di Italia. Trevi Fountain. Miniatur nya anda lihat di bagian pertama sebelumnya, bukan?", Milli hanya diam. Lidahnya kelu, dirinya seperti membisu. Yang ditangkap oleh indra pendengarannya hanya suara Leon yang menjelaskan sejarah foto didepan mereka.
"Kisah tragis mereka tidak hanya berhenti sampai disitu. Satu bulan setelahnya, mereka kembali ditangkap oleh utusan ayah mereka. Belum genap mereka merajut ulang ingatan keduanya, tapi Tuhan punya ceritanya masing-masing. "Lebih baik kamu mati daripada bersama Putra Abraham", kata Griffin. Maka itulah yang terjadi. Menembakkan diri didepan ayahnya sendiri menggunakan revolver yang ayahnya bawa setiap saat. Setelahnya putra Abraham kehilangan kewarasannya karena berada di ujung jurang antara kegilaan dan kesetiaan pada kekasihnya. Tidak lama setelah itu, putra Abraham turut menemui ajalnya, tepat diatas nisan kekasihnya".
"Cerita mereka legendaris di Roma. Hingga saat ini banyak yang menjadikan mereka sebagai simbol cinta. Cinta yang mana dalam perjalan tidak hanya bahagia, tapi luka juga derita".
Leon mengakhiri ceritanya. Melemparkan tatapan pada Milli yang terlihat menitikkan air mata.
"Siapa nama lengkapmu, Leon?", tanya Milli setengah berbisik.
"Napoleon. Napoleon Abraham Junior", "dan saya Milli. Millian Griffin junior".
Leon menarik Milli dalam pelukannya dengan erat. Banjir air mata memenuhi pipi mereka didepan foto dengan tulisan "Millian Griffin & Napoleon Abraham" yang dipahat dengan warna keemasan.
Selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madhouse
Fanficruang MileApo au berisikan kumpulan dari one shoot atau lebih dengan tema angst, mcd, nsfw, fluffy, funny dan sebagainya