#2 Thinkin' About You

3 1 0
                                    

Setelah hari itu, aku terus mencoba untuk pergi ke coffe shopnya bahkan jika aku tak ingin minum kopi sekalipun. Ada perasaan mendebarkan setiap aku mencoba pergi ke sana, seakan aku takut seseorang mengetahui niatku yang sebenarnya. Ini seperti saat aku mencoba memakai topi milik Seungcheol secara diam-diam saat ia tertidur kemudian mengambil selca dengan topi itu. Namun, kenyataannya, aku bahkan belum pernah benar-benar menemui Yuri lagi setelah hari itu.

Kali ini aku benar-benar akan menemuinya. Maksudku, aku sudah ada di depan coffee shopnya sekarang. Aku membuka pintu dan segera suara lembut yang terasa asing namun familiar secara bersamaan menyapa pendengaranku. "Selamat datang" sapa Yuri -kali ini di arah yang benar. Mata itu, binar yang seminggu lalu kulihat sekarang terasa seperti aku sudah melihatnya berkali-kali untuk waktu yang sangat lama.

"Oh, Hansol!" sapa Rani -temannya Yuri yang mengelola coffee shop ini. Aku tersenyum singkat membalas sapaannya. Lalu entah perasaanku saja atau bukan, sorot mata Yuri berubah lebih antusias. Ia melangkah ke arahku tanpa membawa tongkatnya. Refleks, aku meraih tangannya yang mencoba meraba udara di depannya.

"Hansol? Hai, kemari lagi?" ujar Yuri sambil tersenyum. Perhatianku masih pada tanganku yang saat ini menggenggam tangan Yuri. Jantungku berdebar tak biasa dan rasanya ada sesuatu yang menggelitik dalam perutku. Menatap mata Yuri sedekat ini, aku dapat melihat refleksi wajahku di sana. Entah bagaimana aku menjelaskannya, tapi aku merasa sangat bahagia.

"Senang bertemu denganmu lagi" ujarnya lagi. Perlahan, aku melepaskan tautan tanganku darinya dan mengambil jarak selangkah dari Yuri. "Aku juga" balasku singkat. Jujur, aku bukan pembicara yang baik seperti Seungkwan. Dia selalu punya banyak topik untuk dibicarakan, bahkan dengan orang yang baru pertama ia temui. Mungkin, seharusnya aku belajar dari Seungkwan untuk itu.

"Kau mau pesan?" itu Rani yang bicara. Mungkin ia agak jengah melihat dua orang yang saling diam dan agak kikuk. Jadi, aku memutuskan untuk menghampiri Rani dan memesan sesuatu -apa saja, karena tujuanku kemari hanya untuk Yuri.

Aku menghampiri Yuri yang duduk di sofa dekat pintu. "Aku boleh duduk?" tanyaku, Yuri mengangguk memberikan izin. Aku duduk di sampingnya, sambil menunggu Rani menyelesaikan pesananku. Hampir sepuluh detik aku habiskan hanya dengan memandangi figur samping wajah Yuri yang sedang membaca buku braille, sebelum akhirnya ia mengagetkanku dengan bertanya "Kau sedang apa?".

Aku kelabakan, seakan aku tertangkap basah sedang memandanginya -well, aku memang melakukannya. Tapi, aku berusaha menjawab dengan tenang "Aku, menyelesaikan beberapa pekerjaan... lewat ponselku" jawabku bohong pada akhirnya. I mean, seriously! Apa aku harus bilang kalau aku sedang memandanginya? Apa yang akan dipikirkannya tentangku kalau begitu?

"Kau pasti sibuk sekali" ujarnya lagi. Kini kepanikanku sedikit berkurang. "Ya, lumayan" jawabku sekenannya. "Kau karyawan baru ya?" tanya Yuri lagi. Aku sedikit menelengkan kepalaku ke samping, agak heran atas kesimpulan Yuri atas diriku.

"Kenapa berpikir begitu?"

"Karena waktu itu kau memesan banyak minuman, jadi kupikir kau mungkin membeli minuman itu untuk seniormu di kantor"

"Apa tak terpikir olehmu kalau aku adalah bos yang baik dengan membelikan kopi untuk karyawanku?"

"Tidak ada bos yang membeli kopi sendiri untuk karyawannya, Hansol. Kalaupun mentraktir, ia akan memberikan uang pada salah satu karyawannya lalu bilang 'beli yang kalian mau' begitu"

Aku tak bisa menahan tawaku ketika melihat Yuri mencoba berakting menjadi bos yang baik. "Kenapa tertawa?" ia bertanya begitu, namun juga ikut tertawa sambil mencoba memukul lenganku. "Kau tahu dari mana hal seperti itu?" tanyaku sambil masih mencoba mengendalikan tawaku. "Aku dengar kalimat itu dari drama yang ditonton Rani tiap Rabu sore" jawabnya.

Tiba-tiba berita di televisi menampilkan highlight acara Golden Disc Award yang kami hadiri kemarin. Dan ketika layar menampilkan grup kami -Seventeen, Rani hampir memekik karena terkejut melihat wajahku ada di televisi. Aku segera mengisyaratkan pada Rani untuk diam dengan meletakkan jari telunjukku ke depan bibirku.

Fokus Yuri juga teralihkan begitu mendengar lagu Don Quixote dimainkan. Dia ikut bersenandung kecil menyanyikan lagu itu. "Hey, Rani, katakan padaku apa warna baju mereka?" tanya Yuri. Rani sekilas melirikku, jelas pandangannya padaku berubah menjadi canggung. "Eum, m-mereka memakai setelan warna hitam dan dengan ornament emas di bajunya" jawab Rani. Yuri tersenyum mendengar jawaban Rani.

"Mereka tampil dengan baik, kan?" tanya Yuri lagi. Sekali lagi, Rani melirikku sekilas sebelum menjawab. "Wuaaah! Mereka keren sekali, Yuri! Sangat keren!" jawab Rani sembari mengacungkan ibu jarinya padaku. Aku sedikit menunduk untuk mengisyaratkan terima kasih pada Rani. "Sudah kuduga, mereka pasti akan tampil dengan baik" gumaman Yuri dengan tatapan mata yang memancarkan kelegaan membuatku merasa sangat bersyukur. Kenyataan bahwa diluar sana banyak orang yang mencintai kami dengan tulus dan selalu mengharapkan yang terbaik untuk kami. Lebih dari itu, aku juga bersyukur bahwa gadis di hadapanku saat ini adalah salah satunya.

"Kau tahu, Hansol? Aku sangat berharap aku bisa bertemu dengan mereka. Seumur hidupku, sekali saja, aku sangat ingin bertemu mereka. Bahkan jika aku tidak bisa melihat wajah mereka" ujar Yuri. "Kenapa kau begitu menyukai mereka sampai seperti itu? Kau bahkan tak mengenal mereka" pertanyaan itu lolos begitu saja sebelum aku benar-benar memikirkannya.

Yuri tersenyum, "Jawaban apa yang kau harapkan dari pertanyaanmu Hansol?". Mungkin sebagai seorang Vernon si member Seventeen, aku akan senang jika ia menjawab 'lagunya bagus' atau 'lagunya membuatku semangat' atau 'koreo mereka sangat indah' bahkan jawaban yang sangat sederhana 'karena mereka tampan'. Tapi, saat ini sebagai siapa aku bertanya? Sebagai seorang Hansol, jawaban apa yang ingin aku dengar?

"Jika yang kau inginkan adalah jawaban keren seperti 'karena lagunya membuatku semangat' maka kau tak akan mendapatkannya" lanjut Yuri "Aku hanya suka mereka karena aku merasa nyaman. Kau tahu, Hansol? Kemanapun aku melihat, segalanya tampak buram dan gelap. Tapi, ketika mendengarkan lagu dari mereka, aku merasa bahwa dunia yang aku tinggali baik-baik saja. Aku pun menjadi baik-baik saja. Sekalipun itu semua hanyalah image yang mereka bentuk untuk menarik perhatian fans, maka artinya mereka berhasil. Aku adalah salah satu dari banyak orang yang berhasil masuk dan nyaman di dunia yang mereka buat"

"Kau tahu Yuri? Aku bisa mengabulkan keinginanmu untuk bertemu mereka". Yuri memasang raut heran di wajahnya. Jawaban Yuri menyentuh hatiku dengan cara berbeda. Aku telah banyak mendengar jawaban tentang alasan mereka menyukai kami. Tapi, jawaban Yuri, entah mengapa aku menempatkannya di tempat yang istimewa dalam hatiku.

"Aku bukan karyawan baru atau bos baik hati, Yuri" ujarku lagi. "Lalu?" tanya Yuri mulai penasaran. "Aku sebenarnya, adalah..." aku menggantungkan kalimatku. Menatap raut penasaran di wajah Yuri dan sekilas melirik pada Rani yang memasang wajah tegang seakan ia sedang melihat ending scene sebuah drama.

Aku membasahi bibirku yang tiba-tiba kering. "...jadi, aku ini sebenarnya...

...

managernya Seventeen".

-My Beautiful Reality-

[VERNON] My Beautiful RealityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang