Wajah gadis itu berubah sumringah. Sepertinya itu senyum terbaik yang dia punya. Dia bersiap dengan pena dan buku kecil di tangan. Entah karena memang tugasnya atau ada hal lain yang membuatnya begitu.
"Datang lagi?"
"Besok juga datang lagi."
Seperti biasa, laki-laki itu menggodanya.
"Baik, mau pesan apa?"
"Cappucino dan....
"Green tea latte."
Dia sangat yakin untuk pesanan laki-laki itu.
"Kau tahu?"
"Sudah dua minggu kau melakukannya."
"Yah, kau benar."
Gadis itu menggeleng, masih dengan senyum yang kian melebar.
"Pesanannya itu aja?"
"Kau mau pesan yang lain?"
"Lagi? Berat badanku naik karena green tea selama dua minggu ini."
"Berarti itu aja. Tolong antarkan 30 menit lagi.
Laki-laki itu berbalik, berjalan santai hingga ke luar kafe. Mata gadis itu mengikutinya sampai tak terlihat lagi. Senyum itu masih ada di wajahnya yang sedikit hangat.
"Dia tampan, kan?"
Gadis itu tersentak. Dia menatap ekspresi temannya dengan aneh.
"Ngomong apa?"
"Jujur aja, kau suka?"
"Aku tidak mengenalnya."
"Kau ingin mengenalnya?"
"Raut wajahmu, bisa jangan begitu? Menyebalkan."
"Hei, ini yang akan semua orang lakukan jika melihat adegan tadi."
"Adegan apa?"
"Mau aku perjelas?"
"Sudahlah, sebaiknya aku pergi sebelum kau bicara hal yang aneh."
"Yang aneh itu kalian. Dua minggu duduk bareng, tapi gak saling kenal."
"Sudah, mending sekarang kamu gantiin aku di depan. Aku mau ke belakang."
"Oke. Bikin cappucino pake cinta ya."
"Sialan."
Enka tersenyum puas karena wajah temannya yang mulai merah. Wajah orang yang sedang jatuh cinta, kenapa selalu seperti itu? Sangat mudah ditebak.
****
"Cappucino?"
"Akhirnya, aku hampir saja komplain karena keterlambatan ini."
"Aku hanya telat 5 menit."
"Rasanya sangat lama di sini."
"Kalau begitu, berhentilah menunggu."
"Tapi, ini menyenangkan juga."
"Apa kau kelebihan uang? Aku hanya bisa memesan ini seminggu sekali."
"Kalau begitu, kau berhutang banyak, kan?"
"Sekarang kau menghitungnya?"
"Iya. Aku mau semua green tea kau bayar dengan nama kamu."
"Kau gila?"
"Tidak. Kurasa aku cukup waras."
"Kau menyebalkan."
"Kalau begitu, apa?"
"Apanya?"
"Namamu."
"Salsa. Kau tidak perlu melakukan ini untuk tahu namaku. Kau tidak lihat seragamku? Namaku ada di sana."
"Benarkah? Aku tidak memperhatikannya. Selain itu, aku ingin mendengarnya sendiri."
"Tanya saja, pasti kuberi tahu."
"Terlalu mudah, aku ingin sedikit berusaha."
"Sepertinya, hidupmu sangat menyenangkan, ya?"
"Tidak juga, banyak yang menyedihkan. Jadi aku itu......."
"Stop. Aku gak mau dengar drama sedihmu. Kau pikir telingaku seharga green tea ini?"
"Oke, mungkin lain kali."
Dia gak habis pikir dengan laki-laki di depannya, menyebalkan. Tapi, tetap saja dia tidak ingin obrolan ini berakhir. Apa dia mulai ketularan aneh?. Waktu berjalan dengan cepat. Tidak ada kemajuan dalam perkenalan mereka. Seperti biasa, tidak ada hal penting. Tapi, dia tidak ingin berakhir terlalu cepat. Mungkin, karena dia menyukai setiap waktu bersama laki-laki itu.
"Aku harus pergi."
"Biar aku antar."
"Tidak perlu. Aku bersama temanku."
"Kalau aku memaksa?"
"Aku tidak suka dipaksa."
"Baiklah, mungkin belum."
Salsa bangkit, melangkah dengan berat. Dia enggan beranjak lebih jauh, tapi dia masih punya malu untuk tidak berbalik.
"Aldi."
Langkahnya terhenti, menoleh pada suara itu.
"Kau tidak bertanya, tapi namaku, Aldi."
"Tidak peduli."
Dia bergegas membawa langkahnya dengan cepat. Dia yakin wajahnya sedang tersenyum tanpa aba-aba. Itu yang dia tunggu, namanya Aldi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHENKA
RomanceMahen, kadang aku berpikir, kalau saja aku bisa lebih jujur, apa semua akan lebih baik? Aku tidak punya keberanian untuk memaksa atau melepasmu. Kepalaku selalu saja terjeda, setiap kali kau ada di depanku. Aku ingin lebih lama bersamamu, seperti in...