Kau di sini?”
“ Mahen...?”
Enka kaget dengan suara yang sangat dia kenal. Dia menoleh dan laki-laki itu sudah ada di sebelahnya.
“Kau pulang tanpa bilang apapun, jadi aku mencarimu.”
“Kau dari tempatku?”
“Iya, tapi kau tidak ada.”
Mahen duduk di sebelah Enka, hapal betul dengan kebiasaan gadis itu. Bangku ini selalu mereka singgahi setiap kali mengantarnya ke toko buku.
“Ada masalah?”
“Tidak ada. Aku hanya beli buku.”
“Tanpa mengajakku?”
“Aku merasa akhir-akhir ini kau sibuk, aku hanya takut mengganggu.”
“Kau bohong. Aku tahu kamu.”
Enka menahan semua kata yang ingin dia lontarkan. Dia menatap Mahen yang sedang menatap kosong ke jalanan. Entah bagian mana yang Mahen tahu tentang dirinya. Sepertinya tidak ada, selain yang dia beri tahu.
“Kau sendiri, kenapa?”
“Aku? Tidak apa-apa.”
“Kau juga berbohong. Bagaimana aku bisa cerita sama orang yang tidak mau berbagi cerita.”
“Biasanya juga begitu, kan?”
“Karena kebiasaan itu, aku tidak bisa menenangkan diriku sendiri. Aku terlalu mengandalkanmu.”
“Kau ini, kenapa?”
“Aku memberi tahumu semuanya, itu pasti melelahkan.”
“Kau bisa cerita semuanya, kita sudah janji.”
“Hanya aku yang menepatinya.”
“Kau benar-benar sedang ada masalah, ya? Bicaramu dalam sekali.”
Enka terdiam, menikmati perasaannya yang menghangat. Tangan Mahen mengacak rambutnya, dan hatinya jadi tak karuan. Mulutnya beku, cemburu itu mencair dan pergi begitu saja. Lagi, dia mencintai laki-laki itu seperti semula. Hatinya kembali bermekaran. Begini saja cukup, kan? Dia melupakan pertanyaan tentang pergi atau tinggal. Dia tidak bisa bersiap untuk pergi kemana pun. Mata itu, selalu menuntunnya untuk kembali. Ya, begini saja.
“Ayo pulang.”
Enka menghela napas. Jujur saja, dia lebih suka lebih lama di sini, hanya berdua.
“Ayo.”
“Tumben.”
“Kenapa?”
“Kau tidak akan memaksaku membeli es krim?”
“Aku takut uangmu tidak cukup.”
“Hei, aku ini bos, kau lupa?”
“Aku mau banyak.”
“Ambil sesukamu, jangan membuatku merasa miskin.”
Enka tertawa. Ini Mahen yang dia kenal, miliknya. Dia selalu ingat yang kusuka, jadi tidak salah kalau perasaanku lebih dari yang dia tahu. Mereka menuju minimarket langganan mereka.
“Hei, cepat bayar.”
“Kau membeli sebanyak itu?”
“Uangmu kurang?”
“Enak saja. Yasudah, ayo cepat pulang sebelum itu menjadi air.”
“Siapa bilang mau di bawa ke rumah.”
“Lalu? Kau jangan bercanda. Aku tidak akan makan sebanyak itu.”
“Untuk melupakan kesedihan kita.”
“Aku baik-baik saja.”
“Bawel. Cepat bantu aku menghabiskannya.”
Mahen menurut saja. Mereka kembali duduk.
“Satu es krim untuk satu masalah.”
“Tapi, kau harus janji untuk cerita nanti.”
“Kau ini, kenapa penasaran sekali dengan cerita orang.”
“Karena orang itu adalah kamu.”
“Baiklah, kuharap kau bisa mendengarnya nanti.”
“Kenapa tidak bisa?”
“Mungkin, karena kau pergi.”
“Aku tidak ada rencana pergi.”
“Entahlah, aku hanya menebak.”
“Kau bicara apalagi, sih? Bagi aku satu lagi.”
“Kau sudah habis dua. Ada berapa lagi masalahmu?”
“Sepuluh.”
“Tidak, ini gak akan cukup.”
“Berikan saja, cepat.”
“Jatahmu sisa satu ini, yang lainnya punyaku.”
“Lalu, tujuh masalahku bagaimana?”
“Terserah. Kau sendiri yang bilang, tidak akan makan banyak.”
“Emang masalahmu sebanyak apa?”
“Satu.”
“Kau sudah habis tiga, berlebihan.”
“ Ini untuk masalahmu, aku bantu lupakan.”
“Terserah kau saja.”
Kedua kalinya, Mahen mengacak rambutnya. Dia tidak menahan perasaan bahagia itu.Dia membiarkan hatinya menghangat, sebelum besok datang, membawa kembali bahagia yang dia pinjam.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHENKA
RomanceMahen, kadang aku berpikir, kalau saja aku bisa lebih jujur, apa semua akan lebih baik? Aku tidak punya keberanian untuk memaksa atau melepasmu. Kepalaku selalu saja terjeda, setiap kali kau ada di depanku. Aku ingin lebih lama bersamamu, seperti in...