“Kau akan tersenyum pada angin terus?”
Salsa menoleh pada suara yang entah kapan ada di sebelahnya. Mahen, bos sekaligus temannya. Sebenarnya baru beberapa bulan kenal. Tapi karena Enka, mereka jadi akrab. Enka dan Mahen sahabat sejak kecil, itu yang dia tahu.
“Apa aku tersenyum?”
“Sesekali, kau juga tertawa seperti orang gila.”
“Enak saja kalau ngomong.”
“Mau aku antar?”
“Enka di mana?”
“Dia pulang duluan.”
“Tumben.”
“Aku juga gak tahu.”
“Baiklah, antar aku sampai tujuan, ya?”
Seperti biasa, Mahen selalu bisa diandalkan.
“Sepertinya kau suka dia.”
“Siapa?”
“Sudah dua minggu dia selalu datang ke kafe.”
“Apa bisa dibilang suka? Sepertinya terlalu cepat.”
“Perasaanmu bagaimana?”
“Aku senang kalau dia datang.”
“Apa kau tahu tentangnya?”
“Kami hanya berbincang tentang hal yang tidak penting.”
“Aneh.”
“Menurutmu bagaimana?”
“Apanya?”
“Dia.”
“Tidak tahu, yang jelas jangan terlalu berharap.”
“Kenapa?”
“Mungkin, kau akan kecewa.”
“Kau membuatku takut.”
“Lebih baik begitu.”
“Apa kau pernah berharap pada seseorang?”
“Pernah.”
“Dan...”
“Aku kecewa.”
“Pantas saja kau bicara begitu. Tapi, tidak semua orang akan membuatmu kecewa, kan?”
“Mungkin tidak, tapi jika kau menaruh harapan pada siapapun, kemungkinan terbesarnya adalah kecewa.”
“Ah, dia memang sialan. Beraninya dia membuat seorang Mahen kecewa. Tapi, siapa dia? Apa aku kenal?”
“Rahasia.”
“Enka tahu?”
“Aku gak pernah cerita.”
“Kau ini, menyimpan semua sendirian, ya?”
“Aku lebih nyaman begitu.”
“Kenapa gak cerita aja biar lega.”
“Karena aku mencintai orang itu. Aku tidak ingin membuatnya jahat di mata orang lain.”
“Kau sangat suka padanya, ya. Beruntung sekali dia.”
“Sudah sampai.”
“Baik bos. Terima kasih dan sampai jumpa besok. Jangan nangis di jalan, ya!”
“Kau berani mengejek bos mu?”
“Aku hanya khawatir karena kau terdengar menyedihkan.”
“Sepertinya kau senang dengan keadaanku.”
“Aku hanya mencoba untuk prihatin.”
“Kau ini, dasar...”
“Sudah, aku akan masuk, kau pergilah. Sampai jumpa.”
****
Enka kembali menatap layar ponsel miliknya. Entah sudah berapa kali dia hidup dan matikan. Membuka whatsapp , berharap ada pesan masuk yang tidak sengaja dia lewatkan. Sebuah pesan yang mungkin bertanya, apa dia sudah sampai di rumah?. Bodoh, dia melakukannya lagi. Perasaan cemburu itu muncul lagi. Mahen pasti bersama Salsa. Jadi, mustahil kalau Mahen mengkhawatirkannya. Lucu sekali. Sejak pertama dia memperkenalkan Salsa, dia tahu Mahen menyukai gadis itu. Dia tahu betul tatapan Mahen yang berbinar. Dia jarang melihatnya. Dan dia tidak bisa menghalangi rasa cemburunya.
Enka menarik rambutnya frustasi.Dia bangkit dan memutuskan untuk keluar. Dia gak akan bisa tidur kalau begini. Dia berjalan kaki ke arah jalan raya, menyusuri jalan yang selalu penuh penerangan. Setidaknya, dia tidak akan ketakutan di sini.
“Masih buka?”
“Kau datang?”
“Apa aku ditunggu?”
Enka menunjukkan tawa yang lebar.
“ Kau kan pengunjung setia, jadi selalu ditunggu.”
“Aku sedikit terharu.”
“Mau beli buku lagi?”
“Iya. Ada rekomendasi?”
“Mau coba baca ini?”
“Apa ini benar-benar bagus?”
“Kau akan menyukainya.”
“Baiklah, aku ambil ini.”
“Kau langsung pulang?”
“Memangnya, apa lagi yang bisa kulakukan di sini?”
“Menyapu, membersihkan rak dan buku juga boleh.”
“Apa tampangku terlihat seperti tukang bersih-bersih?”
“Aku bercanda.”
Tawa mereka lepas. Enka selalu merasa lebih baik di sini. Walaupun, hanya sedikit.
“Kalau begitu aku akan pergi.”
Enka berbalik, meninggalkan tatapan yang mengantarnya pergi. Langkahnya melambat, membiarkan angin menepuk pipinya berulang kali. Jalanan di seberang masih terlihat ramai. Tidak ada tanda-tanda akan sepi. Semua orang masih melakukan pekerjaannya, seolah besok tidak akan bisa dikerjakan lagi. Dia berhenti dan duduk di bangku panjang, menikmati angin malam. Suasana di sini lumayan bagus, tidak terlalu berdebu karena tidak terlalu dekat dengan jalanan. Dia menarik napas berat. Pikirannya masih entah ke mana, dadanya sesak, lagi. Dia memejamkan mata, berharap semua perasaan gelisahnya pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAHENKA
RomanceMahen, kadang aku berpikir, kalau saja aku bisa lebih jujur, apa semua akan lebih baik? Aku tidak punya keberanian untuk memaksa atau melepasmu. Kepalaku selalu saja terjeda, setiap kali kau ada di depanku. Aku ingin lebih lama bersamamu, seperti in...