Distance

755 55 10
                                    


Anargya
( Tak Ternilai )

♪♪♪

Ken mendengus, menarik napas gusar, mendengus lagi, lalu mengacak rambutnya frustrasi. Kegiatan itu terus berulang sampai jam mata kuliah terakhir selesai.

Saat ini Ken tengah duduk seorang diri di salah satu spot perpustakaan kampus. Mengerjakan kuis dari dosennya yang berhalangan hadir hari ini. Noval tidak ikut serta karena hanya Ken yang harus mengulang di mata kuliah ini. Lelaki itu sudah menawarkan diri ingin menemani Ken sampai pulang, tetapi Ken menolaknya dengan alasan ia butuh waktu sendiri untuk berkonsentrasi.
    
Ingin Ken seperti itu.
    
Akan tetapi fokusnya terpecah belah. Tiga butir soal belum terisi pada lembar jawabannya, padahal harus segera disetorkan tepat waktu. Ken tahu perasaan risau di hatinya bukan karena itu, melainkan tertuju pada sosok Mac dan kejadian di malam itu.
     
Stupid!” Gerutu Ken pada dirinya sendiri. “Iya tahu lo tolol tapi jangan diborong semua.”
    
Pada awalnya, Ken pikir serangkaian adegan panas itu merupakan bagian dari mimpi manis seperti sebelum-sebelumnya; Ken kerap memimpikan sosok Mac sebagai pasangannya dan melakukan hal-hal seduktif. Menjadikan pria itu objek fantasinya kala menjelang tidur. Tetapi saat paginya, Ken dengan kesadaran separuh terbangun dalam dekapan Mac. Di dalam mobil dan bukan kamar asramanya yang telah direnovasi. Plus tanpa busana atas.

Isi kepala Ken riuh sebab ia tak begitu bodoh untuk mengartikan semua situasi ini adalah nyata.
    
Mereka melakukanya sungguhan.
    
Sudah bangun rupanya?” Tak ada yang terdengar lebih seksi dari suara parau Mac ketika baru saja bangun. Ken bertaruh untuk itu. “Kamu tidur nye—”
    
Belum sempat Mac menuntaskan kalimatnya, Ken terlebih dulu melepaskan diri dan membuang muka. “Saya mau pulang.” Ujarnya dingin.
    
“Okay nanti saya antar kamu pulang,” Mac mengelus sisi kepala Ken yang sudah berpindah ke kursi penumpang. Lalu pria itu meraih ponselnya di dashbroad yang tiba-tiba berdering. Mac memang selalu menyalakan alarm tepat pukul tujuh meskipun pria itu tidak ada jadwal meeting atau kegiatan apa pun. Sekalipun hanya tidur beberapa menit, Mac akan tetap bangun.
    
Hari ini kamu ada mata kuliah di kampus?
    
Ken membalas dengan anggukan, sementara posisi tubuhnya membelakangi Mac. “Jam 2 siang.”
    
Mau saya antar sekalian?
    
Nggak. Makasih.”
   
Mau sarapan dulu?
    
Gak usah.”
    
Mac memejamkan mata begitu dadanya terasa sesak. Ada secarik kekecewaan dalam tarikan napasnya saat mendapati penolakan dari Ken juga sikapnya yang terkesan menghindar. Apa yang Mac harapkan? Ken menyambutnya dengan senyuman manis lalu keduanya berciuman seperti tadi malam? Atau Ken yang merengek untuk tetap dalam dekapan Mac?
    
Kedua-duanya adalah kemustahilan.
    
Yang Ken ingat setelah Mac menepati janjinya untuk mengantar dirinya pulang ke asrama adalah tatapan Mac yang seperti menyimpan kesedihan ketika Ken hanya mengucapkan “Terima kasih” sebelum membuka pintu mobil dan pergi.
    
Terhitung tiga hari berlalu sejak malam itu. Tetapi resah di hati Ken masih melekat utuh. Mac tidak menghubunginya sampai detik ini cukup menggangu pikiran Ken dengan prasangka-prasangka apabila mungkin saja pria itu ingin menyudahi perjanjian secara sepihak? Mungkin. Seharusnya Ken senang karena pada akhirnya ia tak harus berhubungan lagi dengan pria itu 'kan? 
    
Namun ruang kecil di hatinya ingin menolak jika boleh egois. Ken sudah terbiasa dengan keberadaan Mac disisi kasurnya pada malam hari sambil mendongengkan banyak hal. Memberinya afeksi sampai Ken terhanyut perlahan-lahan oleh bagaimana cara Mac bersikap, oleh sanjungan-sanjungan, oleh sentuhan sederhana seperti elusan di kepala yang membuat Ken akhirnya terlelap alih-alih mendengarkan Mac bercerita. Ken sudah terbiasa. Maka, tiga hari tanpa entitas pria itu sedikit banyak membuat Ken kesepian.

Anargya [ Macken ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang