Domestic

769 62 1
                                    

Anargya
( Tak Ternilai )

♪♪♪

Ken tidak menghitung berapa lama waktu yang ia habiskan di dalam kamar mandi kediaman Mac sampai helai rambutnya berangsur kering, juga tubuhnya tak lagi menggigil. Padahal Mac tidak begitu mempermasalahkan bau tubuh Ken, malah pria itu berkata “baunya manis seperti vanilla, gak usah mandi. Namun Ken yakin aroma yang melekat pada tubuhnya berasal dari fabrik yang Noah kenakan. Akan sangat tidak sopan jika Mac membaui bekasan orang lain. Itu semata-mata Ken lakukan untuk menghargai Klien-nya yang sudah menjadi prinsip Ken sejak awal. 
    
Mac meminjamkan baju dan celana ( yang masih baru ) untuk Ken kenakan. Pria itu juga masih menyimpan handuk dan sikat gigi bekas Ken pakai dulu. Segalanya seperti sudah dipersiapkan jika sewaktu-waktu Ken singgah.
    
Ken menata rambutnya di depan cermin sekali lagi, menarik napas panjang lalu dihembuskan perlahan-lahan. Dengan langkah tak pasti ia keluar untuk menemui Mac yang siap memuntahkan segala risaunya padanya.
    
“Hai?” Mac menyapa Ken dengan senyum lebar di atas tempat tidur sambil memangku laptop di pahanya— membuat jantung Ken berdegup semakin menggila. Sialan. Mac tadi mandi lebih dulu, jadi sekarang pria itu terlihat santai dengan kaos polo hitam dan celana selututnya. “It's been an hour waiting for you. Kamu biasa mandi selama itu ya?”
    
Ken mengangguk. Padahal ia berbohong.
    
It's okay ... tapi sebentar ya, ini saya mau kirim file dulu ke Rendra. Saya minta meeting di tunda padahal, tapi klien tetep maksa jadi dia yang harus tangani.” Ujar Mac kembali fokus pada laptopnya setelah memberi ruang untuk Ken bergabung di kasur.
    
Lagi, Ken hanya mengangguk. Menyikap selimut dan memasukan kakinya ke dalam, lalu memainkan ponselnya selagi menunggu Mac selesai dengan urusanya. Kali ini Ken bersikap lebih pasif, tak bertanya mengapa Mac lebih memilih bersamanya daripada mengurus pekerjaan? Padahal pertanyaan itu spontan muncul di kepala Ken. Tetapi itu bukan kapasitas Ken. Tugas Ken hanya sekadar mendengarkan, lalu memberi tanggapan jika lawan bicaranya meminta.
    
Tiba-tiba saja benak Ken berkelana pada saat pertemuan pertama mereka—saat Ken menyadari ia terbangun di tempat Mac, lalu ia yang memergoki pria itu berciuman dengan pacarnya, dan bersumpah tidak pernah ingin bertemu dengan Mac selamanya. Tetapi suatu hari Ken terbangun dari mimpinya bersama Mac yang berbeda. Mimpi yang tidak ingin Ken sudahi. Mimpi manis. Mac-nya yang berkali lipat lebih tampan. Mac-nya yang tak henti membuat Ken melenguh nikmat. Mac-nya yang menciumnya bagai porselin; teramat subtil. Mac-nya yang membuat Ken melayang ke nirwana dan sejenak melupakan dunia fana. Ken mengingat setiap jengkal bibir Mac menyapu permukaan kulitnya— untuk itu Ken mencuri pandang berkali-kali ke arah Mac, memastikan berkali-kali pula bahwa ia sedang tidak bermimpi.
    
Hal yang membuat Ken pada akhirnya menyetujui tawaran Mac, semata bukan karena uang. Tetapi rasa penasarannya tentang apa yang terjadi di sore itu? Kepala Ken penuh oleh perspektif, namun hal yang lebih masuk akal ialah semua itu bukan dari ilusi mimpi Ken. Mereka bercumbu secara nyata? Mungkin.
    
Dan jika itu benar, Ken benar-benar serius ingin lenyap dari muka bumi ini.
    
Done!” Seru Mac sambil meregangkan otot kedua lenganya hingga bunyi ‘krek’ yang membuat jantung Ken lagi dan lagi menggila. “Maaf menunggu?” Itu lebih mirip seperti pertanyaan daripada pernyataan sesal. Mac menyadari sikap pasif Ken, berpikir jika yang lebih muda merasa bosan karena terabaikan.
    
Lalu ia menyentuh lengan atasnya.
    
“Kamu masih mood mau dengerin cerita saya atau tidur saja?”
    
Dahi Ken berkerut, tatapanya seolah tak percaya dengan perkataan Mac. “Saya dibayar 'kan buat jadi pendengar, bukan nemenin Kak Mac tidur.”

    
Sorry, I don't mind it like that,” Mac segera meralat ucapanya. “Maksud saya kalau kamu mau tidur karena capek nunggu yaa silakan, biar saya keluar saja.”
    
“Saya okay, belum ngantuk kok.”
    
Mac menatap Ken tak berkedip beberapa saat, seolah memastikan bahwa Ken benar-benar siap mendengarkan duduk permasalah Mac yang mungkin akan sedikit lama dan membosankan. Lalu, pria itu menaruh laptopnya setelah sempat mematikan benda itu dan menaruhnya diatas nakas. Di sampingnya, Ken sudah bersiap dengan posisi sponning, menunggu Mac bergelung memeluknya sambil bercerita. Akan tetapi Mac belum juga bergerak dan Ken merasa malu jika harus menyuruhnya untuk segera bergabung.
    
Um, Ken?” Panggil Mac lembut. Sekejap Ken menoleh kebelakang, ke arah Mac yang masih dalam posisi duduk. Tampak gerogi. “I think I don't like that style. Saya mau peluk kamu saling berhadapan. Kamu keberatan?”
    
Ada hening singkat sebelum akhirnya Ken menggeleng dan membalik tubuhnya ke arah Mac tanpa berkomentar apa pun. Toh, Ken tidak sekali menerima permintaan seperti ini. Mac berucap ‘terima kasih’ nyaris berbisik, tetapi Ken bisa membacanya dari gerakan bibir pria itu. Lalu, Mac mematikan lampu utama dan hanya menyalakan lampu tidur yang memberi kesan intim dan entah mengapa Ken merasa tersipu atas situasi ini; Domestic.

Anargya [ Macken ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang