"Iya, Bubu. Sebentar."
Aku tersenyum manis setelah memoleskan lipbalm dan liptint tipis pada bagian bibir. Rasanya tak afdhol jika aku hanya membawa ponsel di kantong. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk membawa tas selempang favorit berwarna hitam.
Good!
Aku tersenyum ke arah Bubu dan Yaya yang nampak sedang bercengkrama dengan Baskoro setelah menuruni beberapa pijakan tangga.
"Zeora pergi dulu, ya!"
"Jangan malam-malam pulangnya!" Sebuah pesan yang tak lain dan tak bukan selalu dilayangkan Yaya kepadaku.
"Siap, Yaya!"
Yaya tersenyum sambil menepuk pundak Baskoro. "Seperti biasa pesan Om, ya!"
Baskoro ikut tersenyum dan memeragakan gerakan hormat. "Siap!"
Semua terkekeh dan aku pun ke luar rumah bersamaan dengan Baskoro yang mulai menyalakan motornya. Ia tampak tampil sangat kasual hari ini.
"Toko aksesorisnya dekat sini?"
"Sekitar satu kilometer."
Aku mengangguk mengerti, membiarkan ia fokus melajukan motornya tanpa kuajak bicara. Karena seringkali aku merasakan aura kecelakaan di sekitar jalan lantaran pengendara yang tak fokus saat berkendara. Dan satu-satunya adalah karena diajak bicara.
Ia memarkirkan motornya di depan sebuah tempat besar. Mataku tak berkedip dengan mulut yang menganga lebar. Ia telah mengetahui bahwa sejak kecil, hal semacam ini adalah salah satu tempat yang sangat kusukai. Pernak-pernik berwarna-warni, penuh kelucuan, dan dapat menarik minat si pembeli yang memang sangat menyukai sesuatu yang berbau manis. Bukan dari segi aroma, sih, tapi selera. Kuharap kalian paham maksudku, ya.
Aku berlari memasuki toko, menyisakan Baskoro yang berteriak agar aku tidak kalap saat berbelanja. Karena terakhir ia membawaku ke tempat seperti ini, aku berhasil membuat koceknya teraup hingga satu juta rupiah hanya dengan benda-benda yang sebetulnya tidak terlalu kubutuhkan.
"Bas! Lihat! Yang ini lucu! Ini apalagi! Bas, gue ambil semua, ya!"
"Jangan kalap! Nanti enggak gue ajak lagi, ya!"
"Kali ini kalapnya gue akan bermanfaat."
Baskoro yang semula melihat-lihat ke arah gantungan kunci pria pun menoleh ke arahku. "Maksud lo?"
Aku tak peduli ucapannya. Hingga dua puluh menit lamanya, keranjang besar yang kuambil telah terisi penuh, membuat Baskoro lagi-lagi menggelengkan kepala.
"Bagi gue duit bisa dicari, Ra. Cuma lebih baik beli yang bermanfaat, enggak, sih? Gue enggak masalah lo mau ngehabisin uang berapa. Cuma jangan beli yang mpph-"
"Ssth!" Aku membekap mulutnya geram. "Diam! Nanti liat aja, ya!"
Ia hanya bisa mengembuskan napas berat seraya menurut dan membiarkan diriku yang masih saja memilih.
"Yuk!"
Aku menariknya ke kasir. Pelayan di sana sempat melongo saat melihat sebanyak apa benda yang kubeli. Namun aku tak begitu memedulikannya.
"Semuanya jadi dua juta dua puluh satu ribu lima ratus."
Baskoro menatapku sewot. Aku hanya bisa menjulurkan lidah, meledeknya, dan tertawa puas.
"Terima kasih telah berbelanja di toko kami. Semoga bisa berkunjung kembali."
"Duh, enggak deh kayaknya," lirih Baskoro yang langsung kusahut dengan tawa. Wajahnya telah memasam sejak keluar dari tempat tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan Minta Tolong ⏳
HorrorIbuku pernah berkata untuk tidak takut pada bisikan apapun yang menelusup lirih ke dalam telinga. Terutama bisikan minta tolong. Entah ... mungkin karena ia telah lebih dulu dan banyak mengumpulkan pengalaman untuk meladeni ungkapan kesedihan, keped...