02

225 69 10
                                    

Jeka menghentikan laju mobilnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jeka menghentikan laju mobilnya. Ia membawa Rosie ke jalanan sepi dekat taman. Tentunya agar tidak ada yang melihat mereka berdua.

"Lo udah bilang 'kan ke orang tua lo kalo kita—

"Udah."

"Terus respon mereka?"

Rosie hanya diam. Ia fokus memandang jalanan sepi di depannya.

"Belum ada."

Jeka memukul stir mobilnya kesal. Perjodohan harus dibatalkan. Ia tidak mau masa mudanya berakhir sia-sia.

"Orang tua gue lagi di Bali. Ponselnya ngga aktif."

"Gue ngga mau tau. Intinya perjodohan ini harus batal! Gue ngga mau ya nikah sama orang yang ngga gue cinta. Asal lo tau, gue mati-matian bujuk orang tua gue. Mereka bakal setuju batalin perjodohan ini asal keluarga lo juga setuju."

"Gue pastiin perjodohan ini batal," ujar Rosie dengan nada serius.

"Yakin?" tanya Jeka dengan nada meremehkan.

"Ayo kita ke rumah orang tua lo! Gue bakal ngomong langsung sama mereka."

Jeka terdiam untuk beberapa saat. Ia menatap Rosie yang masih fokus melihat ke depan. Tak lama mobil Jeka melaju meninggalkan tempat itu.

***

Di tempat lain, terlihat kedua orang tua Rosie tengah berdebat di ruang tamu. Mereka baru saja kembali dari Bali. Mereka memutuskan pulang lebih cepat karena ingin membahas rencana perjodohan dengan keluarga Adhitama.

"Gimana kalo kita batalin aja perjodohannya, Ma. Biarin Rosie fokus sama pendidikannya. Lagi pula kalau perjodohan itu harus dilakuin, bukan Rosie, Ma, harusnya Jessi yang menikah sama anak keluarga Adhitama," ujar Papa Evan.

"Maksud kamu apa? Kamu mau jodohin Jessi karena wasiat aneh ayah kamu? Ngga ya, Pa."

"Terus kamu tega biarin Rosie yang nanggung semuanya?" Papa Evan tidak menyangka dengan pola pikir istrinya.

"Kamu kenapa sih selalu belain Rosie?" ujar Mama Vania dengan nada tidak bersahabat.

"Kamu gila ya? Rosie itu anak kita, Ma. Dia lahir dari rahim kamu. Dia darah daging kita!" teriak Papa Evan.

Mama Vania hanya bisa diam. Rosie selalu membuat ia dan suaminya bertengkar. Ia sangat membenci anak itu.

"Baik Rosie atau Jessi hanya akan menikah dengan orang yang mereka cinta. Ngga ada yang namanya perjodohan. Aku akan bicara sendiri sama keluarga Adhitama. Kamu ngga suka itu hakmu, Ma. Tugas aku buat anak-anak kita bahagia."

Papa Evan meninggalkan sang istri sendirian. Ia tidak tahu kenapa istrinya begitu membenci Rosie. Sedari kecil Rosie hanya dekat dengan dirinya.

Kini Papa Evan tengah duduk di halaman belakang rumahnya. Ia menatap wallpaper ponselnya. Di sana ada foto Rosie bersama Hank.

Rosie anak kita, Ma. Berhenti menyalahkan Rosie atas semua yang terjadi. Kelahiran Rosie bukan kesalahan. Dia ngga tau apa-apa. Jangan benci anak kita, Ma.

Air mata turun tanpa aba-aba. Ia merasa gagal menjadi kepala keluarga. Hingga detik ini, istrinya belum juga menganggap Rosie bagian dari keluarga Dirgantara.

"Papa janji akan selalu ada buat kamu. Princess papa harus hidup bahagia. Papa sayang kamu, Rosie."

***

Rosie menatap rumah besar di depannya. Ia melirik Jeka yang tengah merapikan rambutnya. Pemuda itu nampak santai. Sementara Rosie tengah berusaha keras menyembunyikan rasa gugupnya.

"Yuk!" ucap Jeka.

Pemuda itu keluar dari mobilnya. Rosie mengikuti kemana kaki Jeka melangkah. Keduanya sudah masuk ke rumah pemuda itu.

"Lo tunggu sini."

Jeka melangkah menuju kamar mamanya. Jam-jam segini pasti mamanya sedang menggambar sketsa. Ia tahu betul kebiasaan mamanya itu.

Rosie sendiri tengah duduk di ruang tamu. Rumah Jeka begitu indah. Ia bisa merasakan kehangatan di rumah mewah itu. Tangannya terulur mengambil sebuah foto yang terpajang di atas nakas. Senyuman tipis terbit di wajah cantik Rosie.

Foto keluarga. Satu hal yang tidak pernah Rosie punya. Selama ini ia hanya punya foto bersama teman-temannya dan Hank—anjing kecil pemberian sang papa. Hingga detik ini, ia belum pernah merasakan foto bersama keluarganya sendiri.

Rosie meletakkan kembali foto keluarga Jeka. Pandangannya teralihkan pada seorang wanita cantik yang tengah menuruni tangga.

"Siang, Tante."

Rosie menyalami tangan mama Jeka. Senyuman manis terbit di wajah wanita itu. Mama Jeka mengajak Rosie duduk. Tak lama datang Jeka membawakan minuman untuk Rosie.

"Nih!" ucap Jeka dengan nada ketus.

Jeka langsung mendapat teguran kecil dari mamanya. Ia mengambil gelas itu dan meletakkan kembali dengan pelan.

"Silahkan diminum," ucap Jeka dengan nada ramah yang dibuat-buat.

Pemuda itu langsung pergi dari ruang tamu. Ia tak sabar bermain game di kamarnya.

"Maafin sikap Jeka ya. Dia suka gitu orangnya."

Rosie mengangguk. Ia tersenyum mendengar nada bicara mama Jeka yang lembut.

"Tante pikir Jeka bohong waktu bilang kamu main ke rumah, tenyata beneran dong. Tante seneng banget tau kamu dateng. Sering-sering ya main ke sini."

Rosie menatap tangannya yang digenggam oleh mama Jeka. Ada rasa kaget sekaligus haru dalam dirinya. Ia bahkan tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh mamanya sendiri.

"Aku juga seneng bisa ketemu sama tante. Kapan-kapan aku main ke sini lagi," ucap Rosie sembari tersenyum manis.

"Pokoknya pintu rumah ini selalu terbuka untuk kamu sayang."

"Makasih, Tante."

"Sama-sama. Oh, ya, Jeka bilang kamu mau ngomong sesuatu. Emang kamu mau ngomong apa?"

Rosie berdehem pelan. Ada rasa takut dalam diri gadis itu. Ia takut membuat mama Jeka kecewa.

"Sebenarnya tujuan aku dateng ke sini mau batalin perjodohan yang ada di wasiat kakek."

Keheningan tercipta. Rosie menatap mama Jeka yang kini menatapnya serius. Tak lama senyuman manis terbit di wajah wanita itu.

"Jeka ya yang maksa kamu buat ngomong kaya gini?"

"Bukan, Tan. Ini kemauan aku sendiri."

"Tente hargai keputusan kamu, Rosie. Nanti coba tante bilang ke papa Jeka ya. Kamu udah bilang ke orang tua kamu?"

"Udah, Tan, tapi belum ada balesan. Mama papa masih di Bali. Ponsel mereka ngga aktif."

"Nanti tante coba bantu hubungin orang tua kamu ya."

"Makasih, Tante."

"Sama-sama sayang. Ayo dong diminum minumannya. Anak tante loh yang buat."

Rosie terkekeh. Ia pun meminum minuman itu. Belum ada sedetik, Rosie langsung menyemburkan kembali minuman itu. Mama Jeka yang melihat langsung membantu Rosie dengan memberikan tisu pada gadis itu.

"Kenapa sayang?"

"Minumannya asin, Tante."

Mama Jeka terkejut. Jeka memang sangat nakal. Ia harus memberi pelajaran pada anak itu. Mama Jeka memandang tajam kamar Jeka yang terletak di lantai dua.

"Jeka!!!"

***

𝙷𝙾𝙼𝙴Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang