Chapter 4

197 35 3
                                    

Jin Xiu tidak menunggu pria itu menjawab. Malahan, ia menerima tamparan kilat dari salah satu selir berpangkat tinggi.

Seluruh sosoknya pun terlempar ke samping bersamaan dengan tamparan itu. Perlahan-lahan, darah menetes turun dari sudut bibirnya.

Jin Xiu tak lagi bicara. Ia diam-diam membiarkan dirinya diseret pergi.

Ternyata, Chen Ruo membencinya.

Tetapi dipikirkan lagi, itu mungkin memang pantas, bukan? Ayahnya telah menghancurkan kerajaannya dan menciutkan dirinya menjadi tak lebih dari seorang pangeran sandera. Ia dipermalukan seratus kali lipat; apakah ia punya alasan untuk mencintai Jin Xiu?

Jin Xiu diperlakukan dengan kasar, kedua tangannya ditarik ke belakang sementara ia dilemparkan keluar.

Setahun yang lalu, pada tanggal tujuh bulan tujuh, ia bergegas kemari. Dulu, ia melihat lilin-lilin merah yang menyala dengan terang dan bait keberuntungan tergantung dimana-mana. Kini, itu sudah bulan ketujuh. Ia diseret keluar dari kamar tidur Chen Ruo, seolah ia adalah benda paling kotor dan menjijikkan yang pernah ada.

(T/N: Hari Valentine-nya Tiongkok.)

Tiba-tiba saja, Jin Xiu perlahan-lahan menyeringai. Sanggul rambutnya acak-acakan, wajahnya tampak berantakan. Ia menggumamkan satu baris dengan pelan, lagi dan lagi.

Untuk menyerahkan nyawanya kepada orang yang dicintainya. Meksi jika datang suatu hari dari pengabaian yang tak berperasaan, tidak akan ada penyesalan.

Tidak ada penyesalan ....

Ia perlahan-lahan memejamkan matanya.

***

Jin Xiu dilemparkan ke dalam halaman. Para dayang istana dengan sombong berlalu, tanpa mempedulikan apa yang ditinggalkan mereka. Dayang istananya yang pengecut tidak berani mendekatinya.

Jin Xiu menginstruksikannya dengan lembut agar pergi tidur, jadilah gadis itu lari terbirit-birit seperti seekor kelinci, menguburkan dirinya sendiri di dalam kamar.

Setelah sekian lama waktu berlalu, akhirnya Jin Xiu menopang dirinya bangun dengan susah payah. Ia perlahan-lahan bangkit berdiri dan kembali ke kamarnya, sebelum merapikan dirinya sendiri. Ia merasakan sesuatu yang manis dan amis menyumbat tenggorokannya, dan saat ia memuntahkannya, ia menyadari bahwa itu adalah darah segar.

Saat ini, penjaga membunyikan gong di luar tembok istana. Itu sudah lewat tengah malam.

Ia berjalan keluar pelan-pelan dan sampai di sudut dinding yang begitu akrab dengannya. Namun, ia tak lagi sanggup menyangga dirinya tegak. Sedikit demi sedikit ... perlahan-lahan ... Ia merosot ke tanah seperti anak kecil, sebelum meringkukkan dirinya menjadi bola.

"... Aku dibenci oleh Ah Ruo .... Aku tidak pernah membayangkan .... Tetapi kini, karena aku memikirkannya, kehangatan dan niat baiknya padaku ... adalah untuk memanfaatkanku ... kan?"

Ia berujar dengan suara yang lirih. Kemudian, rasa sedih yang tak terkendali pun melonjak, nyaris melubangi dadanya.

Sewaktu ia mengulangi dirinya sendiri tanpa henti, Jin Xiu tidak tahu apakah ada orang yang berdiri di depannya. Ia hanya menggumamkan kata-kata itu terus-menerus, dan setelah ia mengucapkan kalimat terakhir, ia bahkan tak sanggup memahami apa yang sedang dibicarakannya. Yang diketahuinya adalah, di saat ia berhenti, retakan di dadanya mengancam untuk mengoyak seluruh keberadaannya.

".... Tetapi, kebenciannya padaku itu masuk akal, kan?"

Sewaktu ia mengatakan ini, tiba-tiba ia mendengarkan gemerisik pelan. Di seberang, seseorang memberikannya setangkai bunga.

Beauty to Ashes [Terjemahan Indonesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang