Tidak untuk kehadiran
polisi. Karena di cerita
kita, hanya ada pencuri
dan juga korban.—BOSAN; Bongkar Alasan
■
Kalau yang kutangisi hanya karena masalah sepele tentang es krim vanila saja, memang itu kodratnya setara dengan bahagia matahari terbenam. Mama dan Papa suka ke sini dan berharap aku terhibur main lari-larian sendiri. Tapi ketika dibiarkan sendiri, pasti anak yang bernama Mahen datang di waktu yang memang tepat untuk mencuri makananku.
Sebenarnya aku tidak perduli kalau dulu dia suka ke sini juga sama orang tuanya, karena sebagai anak kecil yang mencintai es krim lebih dari apapun, aku hanya mempertahankan itu agar tidak diambil Mahen.
Aku juga tidak pernah memperhatikan bagaimana akrabnya orang tua kami ketika duduk bersama, mereka selalu menghabiskan waktu mengobrol di pinggir danau. Sedangkan untukku yang takut air dan buaya, tempat itu menjadi satu-satunya yang enggan kudatangi.
Aku tidak tahu kronologi mengerikan seperti apa yang menimpa kami, karena selama lima tahun semenjak beberapa kali berkelahi karena es krim vanila, aku hanya mengingat bagian itu sepuluh tahun kemudian. Dan di umur ke lima belas tahun, aku berani duduk di pinggir danau ketika Oma memarahiku yang membelah kaca helm jadi dia bagian.
Hari itu merupakan masa yang berat, ada ujian nasional, ada keorganisasian OSIS, ada kepramukaan, semua masalah persekolahan yang membuatku merasa tertekan karena lemah di segala hal. Aku benar-benar tidak tahan lagi, seakan dunia tidak memberikan ruang bahagiaku di sekolah menengah pertama.
Makanya, entah dari mana munculnya dorongan itu, danau pinggir taman yang tidak pernah ku lirik sejak kecil tiba-tiba merayuku. Seakan jika tidak ke sana, aku bisa melewatkan sesuatu yang menantiku cukup lama selama ini. Bisa dibilang aku sedikit penasaran, karena jika dibandingkan, pasti masalah orang dewasa lebih banyak ketimbang aku yang masih SMP. Jadi dengan alasan mencari tahu letak nyamannya orang tuaku pernah ke sini, berakhirlah tubuhku menatapi genangan air yang damai.
Memang tidak ada yang spesial, tapi entah bagaimana menunjukkannya, aku hanya merasa tempat ini menerimaku dengan penuh kasih sayang. Semakin lama, aku bisa menyebutnya sebagai satu persinggahan yang mampu memeluk nasibku erat dalam kedamaian. Seluruh bebanku terasa ringan, padahal aku hanya duduk tanpa membuangnya.
"Enggak sama es krim vanila?" Seseorang muncul di sebelahku, hampir saja kutendang bokongnya biar berenang ke danau. "Nih, rasanya tetap sama kayak dulu." Dia menyerahkan setangkai es krim berwarna putih yang 'tak asing lagi buatku.
Tapi kalau menerimanya dari orang asing, aku hanya curiga isinya dikasih pelet. "Enggak makan pemberian orang asing," kataku.
"Asing?" Dia tanya dengan nada tawa. "Kita teman, Egyn. Udah lama tau nungguin kamu di sini," katanya.
Aku mengernyit, sekaligus berpikir keras. Lama-lama wajahnya tidak asing di mataku. "Mahen?!" Kemudian aku tersadar.
"Nih!" Dia tertawa sebentar, lalu meraih tanganku dan mendaratkan tangkai es krim itu sebelum dia berubah pikiran. "Gitu aja lambat," ujarnya.
"Kamu di sini? Selalu?" tanyaku.
Dia mengangguk. "Aku bingung karena tiba-tiba anak cewek yang bawa es krim enggak ada di sini, padahal makin hari, aku makin kuat. Dan beneran udah siap buat nempeleng kamu kalau misalnya rambut aku dijambak," katanya.
Aku tiba-tiba ingin menempelengnya. "Sekarang aku jauh lebih kuat dari dulu, kamu yakin mau nempeleng aku duluan?" tanyaku.
"Kalau gitu aku harus nyuri es krim kamu dulu!"
"MAHEN!"
"Sini kejar!"
"MAHEN, BERHENTI!"
Sore itu, kejadian kami terulang lagi. Tapi kali ini lebih membahagiakan ketimbang dulu. Aku benar-benar mengejarnya penuh cinta, dan tetap saja berakhir sebagai korban di mana Mahen berhasil mencuri es krimku lagi. Bedanya adalah, keahliannya bukan karena mampu mencuri es krim saja, tapi hatiku juga.
--
bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
BOSAN | Bongkar Alasan✔️
Historia Corta"Kita putus, Egyn." "Hm? Kenapa harus putus, Mahen?" "Aku udah bosan." Jangan percaya jika alasan kalian putus hanya karena dia bilang bosan. Jangan sekali pun. ©Mi2023