Lembar Ketiga.

673 83 25
                                    

𝐖𝐢𝐥𝐥 𝐈 𝐟𝐞𝐞𝐥 𝐛𝐞𝐭𝐭𝐞𝐫 𝐢𝐟 𝐈 𝐣𝐮𝐬𝐭 𝐝𝐢𝐬𝐚𝐩𝐩𝐞𝐚𝐫𝐞𝐝?

°°°°

H+7 kehilangan.

Pukul tujuh pagi, Axel memacu tungkai ke luar kamarnya, tentunya setelah mengirimkan sekian gelembung percakapan ke nomor Ares dan mengembalikan Celi yang masih terlelap ke Mbak Hani

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul tujuh pagi, Axel memacu tungkai ke luar kamarnya, tentunya setelah mengirimkan sekian gelembung percakapan ke nomor Ares dan mengembalikan Celi yang masih terlelap ke Mbak Hani.

"Mau ke mana lagi, Axel? Papa perhatiin, tiap pagi kamu keluyuran terus. Ujian masuk universitas makin deket, tapi kamu malah buang-buang waktu buat hal yang ngga penting."

Seperti biasa, Axel berjalan tanpa menghiraukan suara bariton tersebut.

"Mau ke kuburan lagi?" Banu kembali berucap sembari terkekeh sinis. "Mau kamu gali sekalipun, orang yang terkubur di dalam sana ngga bakal hidup lagi."

Kaki Axel berhenti berderap. Kalimat terakhir yang paruh baya itu lontarkan menikam jantungnya, sukses memompa darahnya hingga naik ke kepala dan bergemuruh marah.

"Kalo bisa, aku mau ikut terkubur di dalam sana."

"Axel! Jaga bicara kamu!"

Sekali lagi, Axel menulikan telinganya. Mengabaikan umpatan yang keluar dengan lancar dari bibir sang papa.

°°°°

Rambut Axel menggoyang tertiup angin pagi. Setiap kali datang ke tempat ini, kewarasannya terasa dibanting hingga lapisan bumi terbawah. Masa depan yang ia rangkai terasa runtuh, bak batu besar yang jatuh tepat di atas kepalanya. Semua ekpektasi tentang 'seragam pilot' dan 'seragam loreng' yang ia bayangkan tempo hari tercabik begitu saja.

Tak ada lagi Ares di sisinya, kini hanya kenangan yang tersisa. Kenangan yang Axel sendiri tak tau akan manis atau justru pahit untuk ia ingat.

"Res ..." Untuk pertama kalinya dalam seminggu, Axel sanggup berbicara dengan sang sahabat.

"Lo pasti kesel ya, gue ke sini tiap hari, tapi ngga ngajakin lo ngobrol sama sekali." Axel mengigit bibir, menguatkan hati untuk kembali melanjutkan kalimatnya.

"Res ... semingguan ini rasanya aneh banget. Hari-hari gue mendadak sepi," sambung Axel pelan. "Ngga ada lagi yang gue recokin minum obat. Ngga ada lagi yang ngocehin gue pagi-pagi. Ngga ada lagi yang spam chat gue. Ngga ada lagi yang gue ajakin ngerumpi."

Axel menelan berat salivanya. Setelah menarik napas dalam, ia kembali berujar, "Lo tau ngga sih? Semingguan ini, gue selalu nge-chat lo, tapi ngga ada balasan sama sekali." Ia tertawa kecil, tentu bukan jenis tawa yang menggembirakan.

"Di sana lo ngga punya hape, ya? Jadi ngga bisa gue chat atau telpon kalo lagi kangen."

Axel mengusap setetes kristal bening yang luruh di ujung matanya. Inilah alasan ia tak sanggup berbicara dengan Ares. Karna tau, kelenjar air matanya akan lebih aktif memuntahkan isi di dalamnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ANARGYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang