Keinginan Zarine

92 23 0
                                    

Aku menolak tegas keinginan Zarine yang ingin memiliki seorang adik. Putriku ini, bisa-bisanya dia meminta itu padaku.

Tak henti-hentinya Zarine menyentuh dan mengelus-elus perutku, seolah-olah ada calon adiknya di dalam sini.

Oh, putriku. Untuk yang satu ini mama tidak mau menurutinya.

Kamu tidak mengerti situasi hubungan pernikahan antara mama dan papa nak. Tidak mungkin bagi mama untuk menuruti keinginan kamu ini. Kalau papa kamu pasti mau-mau saja, kan dia berengsek!

Ini adalah hari libur, Zarine memintaku untuk jalan-jalan dan ke tempat wahana bermain. Aku sih mau tapi langsung berpikir ulang saat Zarine minta untuk pergi bersama mas Adwin juga.

"Sayang, Mama gak ikut ya." ucapku pada Zarine.

"Loh, kenapa Ma?" Zarine tampak kecewa.

"Mama agak kurang enak badan nak." Zarine mendekat dan menyentuh dahi ku, kebetulan posisiku saat ini lagi duduk.

"Gak panas kok Ma."

Mampus! Ketahuan deh kalau aku lagi bohong.

"Ikutlah dengan kami Ranti. Jarang-jarang kan kita bisa memiliki waktu luang bertiga begini." ucap mas Adwin membuat amarah dalam diriku memuncak. 

Tapi aku berusaha untuk menahannya agar tak lepas kendali di hadapan Zarine.

Pada akhirnya aku pun setuju untuk ikut jalan-jalan bersama mereka berdua.

Namun sepertinya keputusanku untuk ikut salah, sebab kami justru bertemu dengan Resti yang seperti tak punya malu. Dengan tak tau malunya dia tersenyum dan menyapaku.

Aku hanya merespon dengan anggukan kepala. Diam dan lebih memfokuskan diri pada Zarine.

Aku tak mempedulikan kedua orang itu, apapun yang ingin mereka berdua lakukan aku gak peduli.

Meski begitu tetap saja hati ini merasa sakit, aku memejamkan mata seolah meresapi perasaan nyeri yang menyakitkan ini.

"Mbak Ranti."

Itu suara Resti yang memanggil namaku, tapi aku enggan untuk menggubrisnya.

"Mbak, bisa kita bicara sebentar?"

Apa-apaan sih dia? Malas banget!

"Mau bicara apa?" tukas ku ketus.

Saat ini Zarine tengah bersama papanya. Sepertinya mas Adwin memang sengaja membiarkan kami berdua disini.

"Ingin sekali aku bertepuk tangan pada kalian berdua yang gak punya malu. Masih bisa bersikap santai, biasa saja seolah gak terjadi apa-apa. Wow!" ucapku pedas.

Seumur-umur rasanya baru ini aku bicara begitu sangat pedas dan menyakiti hati.

"Bahkan aku salut pada suamiku yang berengsek itu. Kamu tau kenapa? Karena dia juga menghadirkan kamu diantara aku dan Zarine." aku benar-benar kagum pada mereka berdua. Saking kagumnya aku sampai ingin ... memberi sebuah tamparan yang indah.

"Kalian berdua udah janjian ya? Uh, manis banget ya." ku lihat Resti yang menundukkan kepalanya. Sama sekali tak berani menatap ke arahku.

"Dengar Resti, aku gak peduli dengan kalian berdua. Yang paling penting dan yang paling utama dalam hidupku adalah Zarine anakku." tukas ku yang kelupaan sesuatu.

"Tak hanya Zarine, tapi juga kedua orang tuaku. Jadi Resti, silakan ambil dan nikmati mas Adwin sepuasmu."

Aku hendak pergi tapi Resti mencegahku, dia berlutut di depanku seraya menyentuh kedua kakiku.

Mau apa dia? Batinku merasa was-was.

"Aku minta maaf Mbak, aku mengaku salah. Aku mohon maafin aku Mbak."

"Lepas." tukas ku dengan nada suara pelan. Tapi Resti bebal, seolah tuli dan tak menghiraukan ucapanku.

Aku menepis kasar tangannya yang menyentuh kakiku. "Jangan pernah melakukan ini lagi. Mulai sekarang jangan bicara padaku lagi, detik ini juga anggap kita tidak pernah saling mengenal."

Setelah puas mengatakan itu aku memilih untuk langsung pulang ke rumah. Aku bahkan tak peduli akan Zarine dan mas Adwin yang entah kemana.

Dalam perjalanan pulang aku kembali nangis. Menangis seperti sudah menjadi kebiasaanku akhir-akhir ini.

***

Aku memberikan alasan bohong pada Zarine kalau aku tiba-tiba saja gak enak badan dan memutuskan untuk pulang lebih dulu.

Zarine terlihat sedih melihatku yang berbaring lemah di ranjang kamarnya. Aku memang merasa lemas dan juga pusing, mungkin efek kejadian tadi dan efek banyak menangis.

"Mama udah minum obat?" tanya putriku begitu sangat perhatiannya.

"Sudah sayang. Sini nak, tidur di samping Mama." pintaku yang di turuti Zarine.

Ku peluk erat Zarine seolah-olah tak ingin jauh darinya. Anakku sayang, mama sangat menyayangimu nak.

Aku dan Zarine tertidur pulas, saking pulasnya aku bahkan sampai tak menyadari kalau mas Adwin dengan lancangnya memindahkan tubuhku ke kamar kami.

Begitu aku bangun membuka mata yang pertama kali ku lihat adalah wajahnya.

Sepertinya dia sengaja melakukan ini. Sebab kalau dia minta aku untuk tidur bersama di kamar kami aku selalu menolaknya.

"Sampai kapan kita terus seperti ini Ran?"

Gak tau malu, bisa-bisanya ia melayangkan pertanyaan itu padaku.

"Tidak bisakah kamu memaafkanku dan Resti, Ran? Oke, kami berdua mengaku salah dan khilaf saat itu."

"Khilaf?" ulang ku merasa agak terganggu dengan satu kata itu.

"Ya, bisa dikatakan khilaf kalau memang baru itu kalian berdua berciuman mesra. Tapi, bagaimana kalau tidak?"

Aku yang tadinya ingin terus diam tak mau bicara sampai kapanpun dengan mas Adwin gagal. Mulutku rasanya gatal dan ingin menjawab ucapan mas Adwin.

Eskpresi wajah terkejut mas Adwin cukup menjelaskanku kalau ia dan Resti sering berciuman mesra. Atau mungkin saja mereka bahkan sudah melakukan hal yang lebih dari itu.

"Tidak bisakah kita berdamai dan kembali bersikap seperti biasa? Ini demi Zarine anak kita Ran."

Aku tersenyum masam mendengarnya, "justru yang aku lakukan ini demi Zarine. Aku memilih bertahan dengan kamu karena apa? Ya, tentu saja karena Zarine."

"Aku memang tidak melihat langsung kalian bercinta. Tapi apa yang aku lihat waktu itu sudah cukup menjelaskanku kalau kalian berdua sudah menghianatiku selama ini."

"Ran—" aku menyela ucapan mas Adwin dengan menggerakkan telapak tanganku ke depan sebagai kode agar dia diam.

"Cukup ya Mas, aku capek dan udah muak banget sama kamu. Sekarang apapun yang ingin kamu dan Resti lakukan aku udah gak peduli." tukas ku mengakhiri pembicaraan ini dan beranjak keluar dari kamar.

Aku melihat putriku Zarine yang masih tertidur nyenyak. Kembali membaringkan tubuhku di sampingnya yang tampak damai saat tidur.

"Sayangku." gumamku mengecup pipi dan dahi Zarine mesra.

Hartaku yang paling berharga di dunia ini adalah Zarine anakku.

Aku ingin melupakan sejenak masalah rumah tanggaku dengan mas Adwin. Saat ini aku hanya ingin menikmati kebersamaan ku dengan Zarine.

Aku berharap bisa kuat dan bertahan melalui ini semua demi kebahagiaan Zarine.

Tersenyum aku saat punya ide yang iseng, mengambil fotoku dan Zarine saat ini.

Memotret beberapa kali sampai merasa puas, terakhir aku mengecup pipi dan dahi Zarine lagi sebelum pada akhirnya kembali tertidur.

***

Sial bagi Ranti mengenal kedua orang itu 💔

Dia (wanita kedua) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang