Cemburu.

84 15 1
                                    

Aku panik sekali saat tak menemukan Zarine di sekolah. Padahal aku hanya telat beberapa menit menjemputnya, tapi kenapa Zarine tidak ada?

Ya Tuhan! Dimana putriku?

Aku yang panik pun mulai berpikiran aneh-aneh. Seperti bagaimana kalau anakku diculik?

Aku menggelengkan kepala berusaha berpikir positif. Ah, mas Adwin. Siapa tau aja Zarine sudah di jemput papanya kan.

Aku sudah bersiap menekan tombol panggil nomor mas Adwin, tapi terhenti saat teringat hubungan kami yang sangat tidak baik.

"Enggak. Aku harus menyingkirkan dulu egoku demi Zarine." dengan berat hati aku menghubungi mas Adwin yang segera mengangkatnya.

Langsung saja aku tanya padanya tentang Zarine. Sialnya mas Adwin bilang dia tidak ada menjemput Zarine.

Aku langsung mematikan sambungan telepon sepihak saat tak menemukan jawaban yang membuatku tenang.

Ponselku berdering, ku lihat mas Adwin meneleponku tapi aku tak menghiraukannya.

Ponselku kembali berdering, pasti mas Adwin lagi. Pikirku. Tapi saat ku lihat ternyata nomor baru.

"Siapa ya?" gumamku bertanya-tanya. Merasa penasaran aku pun mengangkatnya.

Terdengar suara laki-laki yang menyapaku ramah. Pria itu bertanya alamat rumahku dimana.

Ternyata pria itu adalah guru di sekolah Zarine, dia begitu baiknya sampai berniat untuk mengantarkan Zarine pulang.

Aku memberitahukan alamat rumahku padanya, dan mengatakan untuk berjumpa disana. Aku segera tancap gas menuju rumahku, sesampainya di sana aku melihat Zarine yang tampak meringis kesakitan. Astaga! Kenapa dengan putriku.

"Maaf jika saya sudah bersikap lancang Nyonya. Putri anda tadi mengeluh perutnya sakit, tapi dia bilang Mama belum menjemputnya. Saya gak tega dan memutuskan untuk mengantar Zarine pulang."

"Syukurlah Zarine menyimpan nomor ponsel milik Nyonya sehingga saya bisa mengabarkannya pada anda." sambungnya seraya menyerahkan sebuah buku milik Zarine. Aku mengingatnya, putriku Zarine pernah menulis nomor ponselku di salah satu buku miliknya.

Aku mengangguk mengerti dan mengucapkan terima kasih banyak pada pria ini.

Kini fokus ku pada Zarine yang mengeluh sakit pada perutnya.

Aku segera membawa Zarine ke kamarnya dan mengoleskan minyak angin pada perutnya. Selain itu aku juga membuatkan minuman hangat untuk Zarine.

Setelah Zarine merasa agak mendingan aku baru teringat pada pria itu yang ternyata masih di depan rumahku.

Aku menghampirinya, "maaf ya Pak saya melupakan anda. Sungguh saya panik dan khawatir banget sama putri saya."

Pria itu mengangguk mengerti dan mengatakan tak masalah. Sebagai ucapan terima kasih aku menawarkannya untuk mampir sebentar untuk minum dan makan cemilan.

Tapi pria ini menolak dan berpamitan padaku. Tepat saat itu mas Adwin datang.

Ia turun dari mobilnya dan segera mendekat padaku. "Bagaimana dengan Zarine? Apakah kamu sudah menemukannya?"

Aku mengangguk, "dia ada di kamarnya lagi istirahat."

"Siapa pria ini?" tanya mas Adwin saat menyadari kehadiran pria itu.

"Dia adalah gurunya Zarine di sekolah Mas."

"Guru Zarine?" ulang mas Adwin seraya memperhatikan penampilan pria itu yang tak terlihat seperti guru.

Dia (wanita kedua) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang