Work Hunter

2.5K 66 52
                                    

Kring...Kring...Kring

Suara jam weker itu memekakkan telinga Arlo dan lelaki itu kutukan benda tersebut seraya bangkit duduk. Biasanya lelaki perfeksionis akan membuat gerakan-gerakan yang gesit sekedar membentuk pagi yang cerah itu dengan penuh semangat. Apalagi Arlo kurang menyukai sesuatu yang terlambat dan sekarang waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi dan dia harus tiba di kantor pukul tujuh.

Tenang saja, pikir Arlo selagi masuk ke kamar mandi dan dua puluh menit kemudian lelaki itu sudah siap pergi ke kantor dengan membawa semangat yang kian meningkat seperti kau membawa hari-hari lalu yang tersimpan sangat manis.

Untuk alasan serupa yang hangat di pagi hari, Arlo tak mau ambil pusing ketika masalah-masalah menyergap dan membentuk suatu kekecewaan. Sebab lelaki itu menciptakan sebuah inovasi yang layak dengan kehidupan yang menyegarkan.

Kantor Travel itu terletak di bilangan Jakarta Timur dan merupakan gagasan yang baik-baik saja saat Anda memasuki lobi dengan lukisan-lukisan abad ke -19 terpajang di dinding. Arlo tidak peduli dengan lukisan-lukisan tersebut dan dia menyewa bangunan tersebut dari seorang berkebangsaan Belanda dan Arlo berpendapat bahwa lukisan-lukisan itu adalah kesenangan dan tak mungkin rasanya untuk dilepaskan dari dinding.

Tiba di ruang kantor, sesosok lelaki berwajah sosweet serupa John Lennon berdeham. Namanya Prima; kadang sok asyik dan kadang sok tidak asyik. Yang mana saja bebas untuk orang seperti Prima. Yang terpenting jangan membuat lelaki itu dikalahkan. Sebab kalau sudah kalah, biasanya dia akan berbuat sesuka hatinya. Alias ​​iseng yang kelewatan dan tidak bertanggung jawab.

Melihat tampang Arlo yang seperti tidak suka, Prima angkat bicara, "Kok gitu, sih, ekspresi wajah elo? Ini, kan masih pagi! Tetap semangat."

Arlo menarik napas dan berkata, "Gua semangat."

Prima heran dan berkata, "Gitu doang?"

Yang terpenting bagi lelaki seperti Arlo adalah sesuatu yang tak perlu berlebihan harus dilakukan dengan agresif dan Arlo tak menginginkan apa yang disebut berlebihan. Lalu dengan seseorang yang berpendapat bahwa dunia tidak lama lagi segera hancur, dia berkata pada Prima seperti ini, "Bagaimana dengan klien kita yang kemarin?"

"Oke. Dan mereka sudah boking," jawab Prima.

Menegaskan bahwa dunia sebentar lagi hancur, Arlo berkata, "Gua butuh karyawan buat bantu-bantu elo."

"Kenapa? Selama ini gua bisa, kok, kerja sendirian."

"Sangat sombong. Di dunia ini tak ada yang hidup sendirian." Kata Arlo.

"Terus. Apa rencana selanjutnya?"

"Seperti yang gua bilang tadi, gua butuh karyawan dan mereka bisa membangun inovasi-inovasi yang berkarakter. Bukan Cuma omdo doang dan bacot di medsos." Arlo menghampiri Prima dan mengusirnya, "Gua mau duduk dan bekerja. Dan elo, kan, udah punya kursi dan meja kerja, ngapain juga duduk di sini!"

"Sombong banget, lo, Cuma duduk doang aja di kursi." Prima bangkit sambil menatap Arlo seperti yang baru kenal.

"Timeismoney. Sekarang gua minta secepatnya, elo harus dapatkan karwayan!" Seru Arlo

"Kriterianya?"

"Bawa aja dulu ke sini, biar gua yang langsung interview. Yaudah jangan ngobrol lagi, gua mau kerja." Kemudian Arlo fokus pada dokumen di atas meja.

Tidak banyak jenis lelaki seperti Arlo dan sebab akibatnya memang bukan sesuatu yang pantas diperdebatkan. Ketika dunia mulai membuat frustrasi, Arlo tetap dingin Seperti kutub Utara dan menjalankan pekerjaannya dengan baik. Untuk urusan pekerjaan seperti orang yang banyak diketahui orang, ada cara yang manis menghadapinya yaitu tetap fokus dan tenang.

Jam makan siang itu Arlo dan Prima makan di sebuah kantin di seberang kantor.

Arlo angkat bicara, Gimana. Udah dapat karwayannya?

"Belum, lah, kurang sehat itu mendapatkan karyawan sesuai yang elo mau."

Arlo berkata setelah menenggak makanan ke kerongkongan, "Jangan sampai salah karyawan, ya!"

"Maksudnya?" Prima heran.

"Gua butuh karyawan yang menempatkan ide dan gagasannya dengan sempurna, bukan setengah-setengah. Udah, ya, jangan ajak gua bicara lagi, gua mau makan. Oh ya, nanti setelah makan kita solatd zuhur."

Pencarian karyawan berlanjut. Intinya, Prima menyebarkan informasi lowongan pekerjaan melalui media sosial dan terkadang dia tersenyum menang saat mendapati seseorang yang bersedia diwawancarai. Namun ketika orang itu berhadapan dengan Arlo, mendadak mundur dan enggan bekerja di perusahaan travel tersebut. Ketika pelamar kerja berpapasan dengan Prima di pintu keluar kantor, lelaki itu heran melihat ekspresi wajahnya yang murung.

Prima masuk ke kantor Arlo dan berkata, "Kenapa pelamar kerja yang barusan keluar itu, kok wajahnya murung gitu? Elo marahin ya?" Tanya Prima sambil nyengir.

Arlo menjawab, "Nggak gua marahin kok. Gua Cuma kasih sedikit dorongan tentang gagasan-gagasan yang harus dibentuk saat bekerja di perusahaan gua."

"Tapi, kok, dia murung begitu, ya?"

"Mana gua tahu! Oke cari lagi, ya, orang yang mau kerja di sini." Kata Arlo.

"Sudah gua sebarkan info lowongan pekerjaan di media sosial."

"Begitu ya. Kalau gitu, elo keluar dulu. Gua mau fokus kerja lagi."

Setelah Prima keluar dari ruangan kerja, Arlo berhenti. Memikirkan orangtuanya dan dia rindu dengan sosok ayah. Entah itu apa yang akan terjadi jika perenungan tersebut membuatnya terus meratapi kesedihan. Ada banyak cara untuk membuat semuanya menjadi lebih oke. Tentu saja dengan berdzikir.

Di atas meja ada foto lelaki dan Aryo menatap foto itu seperti kerinduan tak ada ujung pangkalnya. Karena sosok lelaki itu adalah sang ayah yang lama meninggal. Dia ingat akan kenangan saat bersama ayahnya kala SMA yang sering menjemput dengan sepeda motor di depan gerbang sekolah dan Arlo juga masih ingat bayangan tentang bagaimana ayahnya Selalu memberikan nasihat-nasihat dunia dan akhirat.

Seprai bunga; tak layu  itu, indahnya di mata dunia. Barangkali Arlo mewujudkan almarhum sang ayah Seperti itu. Beberapa alasan bahwa kehadiran sang ayah pada masa lalu telah lama tersimpan lukanya, ada gerangan yang dirindukan lelaki tersebut; ingin mewujudkan ayahnya pergi umroh dan karena itu kesedihan serupa yang tak habisnya, Arlo meneteskan air mata dan banjir pipinya. Adalah tentang bagaimana dunia itu menjadi murung tatkala masa lalu membelenggu kehidupan Arlo saat ini—dan itu tak membuat lelaki itu menyerah. Dia hanya perlu maju terus seperti yang sudah dinasihati almarhum ayahnya.


Tabayyun CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang