Cuaca hari itu cukup terik saat rombongan pengusung jenazah almarhumah Mbak Fara ke lahan pekuburan di kampung aku yang berjarak lumayan jauh dari pemukiman penduduk. Prosesi pemakaman baru berakhir menjelang tengah hari dan satu per satu, para pelayat yang ikut serta ngantar jenazah ke liang kubur mulai pada pamitan pulang.
Dalam hitungan menit lahan pekuburan itu mulai tampak sepi, cuman ada Bang Imran, mama dan papa aku serta beberapa pelayat yang masih tinggal di sana. Berdoa dalam diam di depan kuburan almarhumah Mbak Fara yang masih tampak basah dan penuh taburan kembang tujuh rupa di atas makam beliau.
Menurut gosip yang sempat aku dengar dari beberapa pelayat wanita yang bertakziah ke rumah papa tadi pagi, mereka bilang kalo Mbak Fara meninggal karena tabrakan sama pelajar SMA kampung sebelah sehabis ngantar Dava sekolah, terus karena nggak pake helm karena jarak sekolahan Dava dan rumah papa nggak gitu jauh bikin Mbak Fara ngalamin cidera parah di bagian kepala. Sementara pelajar SMA itu selamat karena pake helm dan cuman ngalamin patah tulang kaki dan beberapa luka gores akibat gesekan sama aspal saat jatuh dari motor.
Pantesan ada lebam dan luka baret di muka Mbak Fara kayak yang aku lihat semalam. Pasti karena benturan keras sama aspal pas jatuh dari motor.
Ada juga yang bilang kalo belokan tempat tabrakan itu terjadi emang dikenal angker karena sering terjadi kecelakaan maut di sana. Meski aku lebih percaya kalo tabrakan itu bisa terjadi karena si pelajar SMA saja yang bangun kesiangan trus ngebut naik motor agar nggak telat masuk kelas, tapi bukannya sampe di sekolah malah berakhir di rumah sakit dengan sebelah kaki patah tulang.
Cuman segitu saja sih gosip yang aku dengar pagi itu sebelom ikut serta ngantar jenazah Mbak Fara ke lahan pekuburan dan kini berdiri di belakang Bang Imran yang lagi pimpin doa sambil jongkok di sisi kanan petak kuburan Mbak Fara. Sementara papa dan pelayat lain jongkok di sekitar petak kuburan baru itu.
Pikiran mesum aku auto traveling begitu tahu kalo siang itu Bang Imran nggak pake kancut karena aku lihat nggak ada cetakan kain kancut di balik sarung yang bungkus bokong lelaki itu waktu lagi jongkok di sebelah petak kuburan Mbak Fara.
Refleks melengos begitu sadar kalo titit aku mulai terasa rada ngaceng dan meski udah pake kancut, tetap saja bikin selangkangan aku jadi tampak sedikit ngejendol di balik kain sarung yang bungkus bagian bawah badan aku.
Dava mulai merengek minta pulang sambil narik-narik sebelah tangan aku saat hawa siang itu mulai terasa panas, terus karena takut rengekan bocah itu ganggu bacaan doa Bang Imran, aku pun segera ajak Dava balik ke rumah duluan. Padahal aku masih pengin nemenin Bang Imran di sana.
Setiba di rumah aku langsung ganti baju di kamar tidur ruang tengah dan tertegun begitu lihat notif pesan dan ada belasan kali panggilan nggak terjawab di layar ponsel yang tergeletak di meja nakas sebelah ranjang yang coba telepon aku saat aku lagi berada di lahan pekuburan tadi.
"Dimas? Tumben banget tuh anak telepon," gumamku begitu lihat nama si penelepon dan pengirim pesan itu terus langsung aku telepon balik setelah selesai ganti baju karena di pesan terakhir berisi suruhan agar segera telepon dia begitu aku baca pesan itu.
"Halo, Dim. Lama nggak ngobrol. Jadi ada masalah urgen apa sih sampe telepon aku berulang kali?" tanyaku begitu panggilan telepon itu tersambung pada dering ketiga. "Sori nggak aku angkat telepon kamu tadi karena aku tinggalin ponsel di rumah waktu ikut ngantar jenazah almarhumah Mbak Fara ke lahan pekuburan tadi pagi dan baru saja balik ke rumah siang ini."
"Jadi betul kalo Mbak Fara beneran udah meninggal kemarin, Al?" tanya Dimas kedengaran sedikit kaget setelah ucap doa istirja yang udah jadi reaksi umum dalam agama kami begitu dengar kabar kematian maupun musibah yang baru menimpa seseorang.
"Yah, tepatnya kemarin pagi sekitar pukul sepuluh. Kamu dengar kabar itu dari siapa?" tanyaku meski nggak begitu heran sih Dimas bisa tahu soal kematian Mbak Fara mengingat kami tinggal dalam satu kampung dan sempat berteman akrab waktu masih sekolah dulu dan mulai jarang komunikasi sejak lulus SMA karena lanjut kuliah di kampus yang beda meski sama-sama berada di luar kota.
"Lo masih gabung dalam komunitas penikmat pejuh duda nggak, Al?" tanya Dimas alih-alih jawab pertanyaan aku barusan.
"Masih gabung kok, tapi setahun belakangan udah jarang aktif di grup. Emang kenapa?"
"Huh, pantesan bisa sampe ketinggalan info penting kayak gini. Abang ipar lo noh, Bang Imran, baru masuk dalam daftar pria duda yang bakal mereka garap pekan ini."
"Se-serius kamu, Dim?"
"Beneran, Al. Gua sendiri juga sempat nggak percaya waktu baca info itu yang baru mereka posting kemarin di grup komunitas sebelom dengar kabar soal kematian Mbak Fara dari nyokap yang telepon gua sehabis takziahan ke rumah bokap lo tadi pagi. Makanya gua coba telepon lo buat konfirmasi soal kabar kematian itu karena nyokap gua udah rada pikun orangnya. Jadi gua takut kalo beliau udah salah kasih info," jelas Dimas dengan nada rada kesal sekaligus cemas akan nasib buruk yang bakalan menimpa Bang Imran dalam waktu sepekan ke depan.
"Oke, aku coba cek dulu soal postingan info itu. Siapa tahu duda yang ada dalam daftar mereka pekan ini bukan lah Bang Imran, melainkan pria lain yang kebetulan punya nama yang sama dengan abang ipar aku," kataku coba bersikap optimis sebelom memutus sambungan telepon itu setelah bilang makasih ke Dimas.
Dengan jari rada gemetaran aku pencet ikon telegram di layar ponsel terus begitu masuk ke aplikasi itu, aku langsung buka ruang obrolan grup komunitas penikmat pejuh duda yang ada pada urutan paling bawah karena jarang dibuka setelah jadi mahasiswa karena sibuk dengan tugas kuliah yang kebanyakan udah sita waktu aku.
Kebetulan postingan soal daftar duda yang jadi incaran mereka pekan ini udah di pinned, jadi bisa langsung aku klik tanpa perlu gulir layar ke bawah dan benar saja, ada semacam biodata singkat yang berisi nama, umur, profesi, serta alamat lengkap tempat tinggal si calon korban.
Setelah baca postingan info itu sebanyak tiga kali, aku baru percaya kalo beneran Bang Imran lah yang jadi incaran mereka karena alamat yang tercantum dalam biodata singkat itu emang betul alamat rumah papa aku.
Harapan aku yang masih tersisa seketika pupus begitu pencet tombol agar langsung lompat ke pesan balasan paling bawah dalam ruang obrolan grup itu yang berupa kiriman foto Bang Imran dalam balutan baju koko dan kain sarung yang baru diposting beberapa menit lalu dengan latar berupa lahan pekuburan yang tampak familier di mata aku.
Berani taruhan, foto itu pasti baru diambil tadi pagi karena baju koko dan kain sarung yang balut badan Bang Imran sama persis dengan yang lelaki itu pake saat ngantar jenazah almarhumah mbak Fara ke lahan pekuburan di kampung aku.
Darah aku langsung mendidih begitu baca caption yang tertulis di bawah foto tersebut, berbunyi:
'Bagi yang tinggal di sekitar lokasi, harap segera merapat agar kita bisa barengan gilir kontol duda ganteng beranak satu ini sehabis acara tahlilan di rumah mertua dia nanti malam.'
Brengsek, apa yang harus aku lakukan buat cegah aksi binal mereka nanti malam?
To be continued >>>
a/n:
Lanjutan ada di karyakarsa, silakan beli yg versi paket agar lbh murah. Maaf ga ada diskon kali 🙏
Link ada di bio profil saya. Makasih udh mampir baca :)