Satu: Awal Mula

51 5 30
                                    

Ruang kastuba 4 mendadak ramai di kerubungi para pembesuk yang kebetulan lewat dan juga beberapa tenaga medis. Mereka tampak melotot kaget ke arah seorang gadis dengan baju pasien yang melekat di tubuhnya. Gadis itu tergeletak di lantai dengan pergelangan tangan bercucuran darah.

"Cepat bawakan brankar!"

Satu dari beberapa tenaga medis yang ada di sana langsung memelesat pergi, sementara yang lain melakukan pertolongan cepat ke pasien.

"Tolong keluar," instruksi seorang suster dengan lembut. Ia berusaha membubarkan kerumunan itu agar tidak menghalangi jalan. Dan, secara tak sengaja manik matanya saling beradu dengan sepasang manik mata cokelat milik pasien penghuni kastuba 3. Seolah ada magnet di sana.

Tak berselang lama kemudian, suara roda brankar yang beradu dengan lantai pun datang menambah kebisingan di lorong itu. Pasien tadi segera ditidurkan di atas brankar lalu dibawa pergi. Menyisakan hiruk-pikuk yang semakin jelas terdengar. Orang-orang terus bertanya-tanya apa yang terjadi sembari menerka alasan paling masuk akal.

"Apa dia lagi berusaha mengakhiri hidup?"

"Memangnya seberapa berat masalah anak umur 17 tahun begitu?"

"Paling juga tidak jauh-jauh dari percintaan."

"Anak jaman sekarang pada lebay."

Manusia adalah hakim paling kejam. Mereka hanya melihat secuil, namun merasa paling tahu segalanya.

Lorong perlahan mulai sepi, menyisakan seorang gadis dengan tiang penopang cairan infus di sebelahnya. Manik mata cokelat gadis itu terpaku pada pintu ruang rawat yang tepat berada di depannya.

Tatapannya kosong, namun semua kejadian mendebarkan tadi terekam jelas di sana. Terlalu cepat, sampai ia bahkan lupa berkedip.

"Casava?"

Gadis yang merasa namanya disebut itu menoleh dan mendapati seorang dokter tengah menatapnya.

"Dokter Meira," sapa Casava dengan senyum kecil.

"Kamu sedang apa di luar sini?"

Casava diam sejenak sambil menatap ke ruang Kastuba 4 yang kini tertutup rapat menyisakan kesunyian.

"Nggak, Dok. Cari angin aja," ujar gadis itu kemudian melangkah masuk ke ruangannya kembali seraya mendorong tiang penopang cairan infusnya.

Terhitung kali ini adalah pertama kalinya Casava dirawat di rumah sakit setelah lebih dari 7 kali bolak-balik karena alasan yang sama, GERD.

Casava sangat suka makanan pedas dan dia sudah dihimbau untuk menguranginya, namun sulit. Ia merasa makanannya hambar tanpa sambal.

Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang, tak ada raut bosan sama sekali karena ia memang sangat suka tidur. Andai bisa, Casava hanya ingin tidur selama hidupnya tanpa melakukan apa pun. Pasti sangat nikmat.

"Bagaimana? Perut kamu masih sering sakit?" tanya dokter Meira.

"Sudah membaik, Dok," ungkap Casava.

Andai saja Casava bukan seorang INFP, ia pasti sudah sangat akrab dengan dokter Meira. Mengingat, pertemuan mereka yang hampir tiap minggu karena dialah yang selalu menangani Casava.

Sayangnya, gadis itu kesulitan memulai interaksi dengan orang baru. Ia cenderung memilih diam.

"Ada teman saya yang mau kenalan sama kamu." Dokter Meira mengulurkan sebuah amplop dengan senyum ramahnya yang sepertinya sudah bisa Casava tebak isinya. "Dia pendengar yang cukup baik. Alamatnya ada di dalam situ. Datanglah ke sana."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DESEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang