1. Cecilion X Carmilla

201 12 1
                                    

𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠💕

Quote of The Day: "Biola kugesek, gendang kupukul. Hai, Nona cantik, mana nomer WA-nya?" - Alucard

Now Showing: Death Messenger

Peperangan yang sejak dulu tidak berakhir, berdampak pada populasi manusia. Setiap malam, selalu dibutuhkan tubuh sebagai kelinci percobaan. Dengan dalih: demi mewujudkan manusia yang lebih kuat, andal dalam pertarungan yang berujung pada habisnya nyawa.

Konon, orang-orang dari laboratorium juga mengambil beberapa anak dari panti asuhan sebagai bahan eksperimen. Selepas banyaknya orang dewasa yang mesti dikorbankan demi janji perdamaian. Huh? Apakah harus dengan cara itu? Apa dosa yang telah diperbuat anak-anak itu? Mengapa mereka dibawa?

Tidak seorang pun memberi jawaban pasti. Telinga-telinga mulai tuli. Kejujuran nurani seakan tak dihargai di sini. Bahkan, kerap ada keluarga yang egois dengan membiarkan salah satu anaknya kepada orang-orang berhati keji itu demi menyelamatkan diri. Apalagi, setelah diiming-imingi imbalan yang melimpah.

Bertahun-tahun lamanya, eksperimen pada manusia masih dilakukan. Ilmuwan sinting itu bahkan diberi penghargaan dan jabatan atas keberhasilannya membuat manusia menjadi lebih kuat dan tangkas dalam arena pertarungan. Tapi, tunggu dulu. Dari mana mereka mendapat teknologi yang canggih dan lab yang jauh lebih besar itu?

Tentu, ada keluarga yang menginvestasikan setengah dari hartanya demi kelangsungan eksperimen itu. Dan salah satunya adalah Cecilion. Atau lebih tepatnya, keluarganya. Mereka yang memberi modal bagi para ilmuwan jahat itu tanpa mengetahui satu hal: banyak manusia yang gagal dan dibuang begitu saja layaknya sampah.

***

10 tahun berlalu...

Carmilla—wanita yang selalu terlihat putus asa dari sorot matanya itu mengalihkan maniknya dari jendela yang menayangkan eksistensi bulan. Pintu terbuka. Yang baru saja datang itu adalah majikannya, dan satu-satunya penghuni rumah selain dirinya. Cecilion.

"Selamat malam, Tuan." ucapnya sopan sambil membantu pria pucat itu melepas jas hitamnya. "Sepertinya, Anda selalu pulang larut akhir-akhir ini."

"Begitulah. Kasus pembunuhan yang datang setiap hari membuat Gusion kehilangan fokusnya."

Wanita bersurai putih itu tersenyum sendu. Kepalanya tertunduk. "Rasa-rasanya, kasus itu tidak pernah selesai. Kalau Tuan berkenan, saya bisa membantu." Ia memberi solusi.

Cecilion tertawa. "Tugasmu hanya menjaga rumahku, 'kan?"

"Lebih tepatnya menjaga Tuan," Carmilla meralat.

Setengah tahun terakhir, adalah masa berdarah di tanah yang mereka tempati. Pertama, seorang tokoh politik yang ditemukan tewas di mansionnya sendiri. Berlumurkan darah—tidak ada saksi mata dari pelayan maupun keluarga. Dan hari-hari kelam berlanjut sama.

Bahkan, belum ditemukan siapa pembunuhnya dan apa motifnya dalam menghabisi nyawa. Dendam? Mungkin saja, saat ini, alasan itulah yang paling masuk akal. Sayangnya, kasus itu terus terulang hingga berbulan-bulan lamanya.

Sebenarnya, Carmilla merasakan hawa buruk. Kalau pembunuhnya bergerak dalam suatu kelompok, maka pasti akan mudah bagi Gusion menangkapnya. Setidaknya, salah satu dari mereka. Tetapi, bagaimana kalau hanya seorang?

Ia menggeleng. Bukan urusannya, kan? Tugas Carmilla hanya menjaga rumah selama Cecilion pergi. Lagi pula, apa pentingnya ia berkontribusi? Carmilla tak lebih dari sekadar pelayan rumah.

***

"Kalau kau lelah, jangan dipaksakan. Tubuh dan pikiranmu perlu istirahat." kata seorang gadis berambut merah jambu sambil menaruh secangkir kopi di meja.

𝐏𝐥𝐚𝐲𝐞𝐫 𝐇𝐚𝐧𝐝𝐚𝐥 [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang