"Nama saya Deryza Matthew, kalian bisa panggil saya Dery. Sepertinya kalian semua sudah tau perihal Esya yang menjadi saksi atas bunuh dirinya seorang pria paruh baya di rooftop rumah sakit dekat sini. Pria tersebut adalah ayah saya, Arveka Gerza. Saya saat itu sedang koma, adik dan bunda saya sudah meninggal. Saya sudah mendengar cerita Esya secara lengkap. Baik cerita tentang ayah saya yang putus asa lalu memilih bunuh diri, ataupun tentang hidupnya yang terabaikan."
Tatapan mata Dery nampak nyalang ketika mengatakan kalimat terakhirnya. Bukan apa, dirinya juga merasa amat bersalah karena pernah termasuk dalam salah satu orang yang mengabaikan Esya dulu.
"Dia bahkan rela merawat saya, sementara saat itu dirinya dalam keadaan demam tinggi. Saya tentu tau perlakuan kalian yang sudah kelewatan ini bisa saja diselesaikan lewat jalur hukum. Saya mengatakan hal itu pada Esya, tapi dia menolaknya keras. Ia hanya bilang bahwa dirinya memerlukan waktu untuk mengobati luka tak berdarahnya. Saya akui dia memang pengecut, tapi saya mendukungnya melakukan hal tersebut karena saya juga berpikir kalau ia memang perlu waktu."
"Sayangnya, saya memang tak mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk menyembuhkan luka tersebut. Ditambah psikisnya yang juga ikut terserang, bisa dibilang ia mempunyai trauma berat. Untungnya hal ini belum sampai membuatnya mempunyai penyakit mental yang parah. Kalau sampai pun, saya tak akan mau lagi menemui kalian. Saya bisa saja membawanya pergi sangat jauh dari jangkauan kalian."
Tatapan sinis Dery berikan, mau bagaimana pun dirinya menahan gejolak emosi yang hadir di setiap kata dalam ucapannya. Nyatanya emosi itu dapat menemukan titik kecil untuknya keluar.
Sementara Ayah Devan dan ketiga putranya hanya mendengarkan setiap kalimat yang terucap dari Dery, tanpa mau gegabah memotong penjelasan sang pemuda tersebut.
Walaupun sebenarnya mereka sempat terkejut dengan fakta awal, bahwa pemuda di hadapan mereka ini adalah putra dari pria paruh baya yang bunuh diri tepat di depan mata Nafesya.
"Namun, saya masih mempunyai akal untuk berpikir dan hati untuk merasakan. Kalian adalah keluarga kandung Esya dan kalian berhak atasnya. Sedangkan saya adalah orang asing yang kebetulan dijadikan rumah singgah oleh Esya dan mendapatkan panggilan abang yang telah lama saya rindukan. Hati nurani saya masih ada untuk meneriakkan bahwa saya tak boleh egois. Karena itu saya di sini sebagai perantara untuk kalian dan Esya."
Dery tersenyum paksa, memang hatinya menyuruhnya untuk tak egois agar Esya mendapatkan kebahagian yang sebenarnya. Yang nyata dan tak semu kembali.
Akan tetapi, jujur saja egonya juga berteriak keras bahwa ia pun kesakitan harus melepaskan Esya kembali pada keluarganya yang bisa kapan saja menyakitinya. Namun, ia pun membalikkan hal itu kepada dirinya sendiri.
Kalau begitu, aku pun dapat menyakitinya kembali bukan?, Begitulah pikirannya berjalan untuk menghentikan egonya memimpin.
"Tolong, jangan sampai kalian membuang kesempatan yang telah saya berikan ini. Karena ketika kalian kembali melukai Esya, baik fisik maupun batinnya, maka percayalah setelah itu kalian tak dapat menemuinya lagi. Bahkan jika kalian bersujud di kaki saya, saya tak akan membiarkan kalian menemuinya."
Anggukan yakin Dery dapatkan dari empat kepala di depannya. Dery beranjak dari duduknya, melangkahkan kakinya menuju ke arah tangga untuk memanggil sang adik.
"Saya akan panggilkan Esya, karena bagaimanapun keputusan ada padanya. Setelah itu, silahkan kalian meyakinkan Esya agar dapat mempercayai kalian kembali."
Keheningan menerpa ke empat lelaki tersebut, ke-empatnya merasakan hal yang sama. Mereka gugup ketika membayangkan Esya menolak mereka dan memilih tinggal bersama Dery untuk selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Esya {end}
RandomRenesya, gadis dengan senyum ramah walau takdir mempermainkannya dengan berbagai luka dihati. Bertransmigrasi ke tubuh tokoh favoritenya dengan takdir yang tak jauh beda, apakah ia sanggup menjalaninya? Kejanggalan mulai terjadi, alur novel pun beru...